Isnin, 15 Ogos 2011

بغسا فطاني: دريتا يغ تأ كونجوغ أوساي

Bangsa Patani: Derita Yang Tak Kunjung Usai
Di Susun Oleh: Zulaikho (Telah diedit Oleh Patani Fakta dan Opini)
“Bangsa Thai-Siam senantiasa dengan tipu dayanya mencoba memerangi Umat Melayu Muslim di Patani dengan berbagai kemaupuan yang mereka miliki, baik secara halus dan tersembunyi maupun secara kasar dan terang-terangan”.
       
“Pembantaian demi pembantaian terhadap umat Muslim di Thailand Selatan bukan cerita baru, inilah demdam kesumat bangsa kolonialisme Thai-Siam Budha yang tidak pernah pudar terhadap Umat Muslim yang berbangsa Melayu di Patani, Thailand Selatan”.
Banyak yang tidak mengira, bangsa colonial Thai-Siam memendam kebencian  yang luar biasa terhadap umat Muslimin Patani.  “telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi…” (ali-imran: 188).

Di hati mereka sudah tertanam kebencian. Artinya, mereka sudah punya target, umat Melayu Patani harus dimusnahkan dari bumi ‘serambi Mekah’ atau Patani Darussalam. Jadi, pembataian itu target mereka. Sedang-kan target terakhirnya adalah meng-siamkan umat Melayu Patani dari berbagai sudut kehidupan, dari sudut budaya, bahasa maupun sudut agama  yang mereka anuti.

Selama menjalankan kolonisasi, Kerajaan Thailand memberi hak-hak istimewa kepada masyarakat Budha yang didiami di bahgian selatan Negara itu. Buah perilaku kerajaan Thai itu tetap terasa ketika Bangsa Melayu di bawah penjajah Siam. Seluruh masyarakat Islam Patani tidak mendapat keistimewaan di kediaman-nya, padahal mereka adalah penduduk asli. Yang pasti membalurkan warna suram bagi masa depan masyarakat Melayu Patani. Belum lagi kerugian immatiriil berupa rasa sakit hati yang sangat dalam menusuk perasaan yang entah dengan cara apa dapat dihapuskan.
Kini berkembang menjadi  “bakar, bunuh muslim.” Sampai disini adalah cukup beralasan bila disebut ini sebagai ‘moslem cleansing’, pembersihan komunitas muslim.  Selain rumah-rumah mereka dikepong, jiwa mereka pun diancam bunuh. Yang lebih mengagetkan lagi adalah upaya transmigrasi oleh Pemerintah Thailand yang ingin mentransmigrasikan sebagaian besar masyarakat Budha Siam dari Utara ke Selatan.
 Tragedi Masjid Fur'qon
Ada perumpamaan tentang pergeseran sosiologis di Patani yang menimbulkan percikan api. Masyarakat Siam Budha diumpamakan sebagai tuan dan Melayu Patani muslim diumpamakan jongos. Setelah kerajaan Siam menakluk Patani dan dampak pembangunan serta kegigihan untuk berubah, kini jingos telah kaya dan si tuan justru tertinggal.
Thailand Selatan sebagai daerah yang subur, Patani dijuluki “emas hijau” yang akan mengundang kedatangan kaum imigran Budha dari Utara Thailand ke Selatan sejak berabad lalu. Kerajaan membagun desa untuk kaum imigran Budha dengan sebuah nama "Nikom" terdiri di beberapa daerah bahgian propinsi selatan.
 Tragedi Tanjung Lima
Roda kehidupan terus berputar. Manusia-manusia yang di perangi, dibantai, dan dijagal kerana keimanannya, masih berlanjut. Sikap bangsa Kolonial tidak akan pernah padam dari waktu kewaktu. Ibarat api dalam sekam yang tersimpan di dada mereka hingga suatu saat dimana bara itu bisa berubah menjadi api yang sangat dahsyat, dan etnik Melayu Patani di bahgian propinsi selatan akan di hapuskan.
Pengawai kerajaan menjelaskan kepada pers bahwa awal kerusuhan hanya sebahgain kecil golongan yang tidak pendidikan. Sanggahan dari masyarakat Melayu Patani sudah dilakukan sehubungan dengan perantaan Pengawai kerajaan tersebut. Akan tetapi, mulut pengawai atasan jelas jauh lebih besar dibandingkan mulut-mulut kecil muslim Patani yang biasa bagi pers yang menjadi penyebar utama omongan pengawai itu. Anehnya salah seorang Pemerintah Kerajaan Thailand juga menganggap krisis di Thailand Selatan sebagai perang kemiskinan, narkotik, narkoba, mafia” Ini  omong kosong.
 Tragedi Tak Bai
Demikian juga terdapat ungkapan di pihak pengawai Pemerintah Thailand bahwa tidak ada konflik agama, atau etnik di bahgian propinsi Thailand Selatan, padahal lembaga pengawas HAM yang beroperasi di New York semacam Human Rights Watch saja menganggap Kejadian Konflik di Thailand Selatan itu tidak setakat konflik Historis, Suku, Etnik, dan kesenjangan Ekonomi, tetapi sudah bermotif Agama.
Ada yang berpendapat bahwa Konflik PATANI Selatan Thailand adalah murni SARA, ada juga yang berpendapat kerena pertarungan antar Pemerintah Kolonial Thailand dengan sebuah gerakan ‘Barisan Revolusi’ Patani yang sedang berjalan, bahkan ada yang mengaitkannya dengan isu mesianisme (ajaran Budhis Siam-Thai untuk “membersihkan” wilayah – wilayah Muslim di Thailand Selatan yang akan  menjadi tempat kehadiran Thailandisasi dan Siamisasi).
Ini merupakan koflik horizontal antara Islam dan Budhis – Melayu Patani dan Siam Thailand. Sehingga koflik horizontal murni antara kedua-duanya ini akhirnya di bawah benar-benar perang.
Adapun tentang pemahaman dokrin itu (mesianisme), bisa jadi seperti itu. Isu mesianisme bisa juga. Justru menambah pemahanan akidah yang siap mati bagi Pejuang Pembebasan Melayu Patani. Dan, Patani ini kalau kita perhatikan, mempunyai potensi konflik ideology sudah dalam , sudah lama, yaitu sejak kejatuhan Kerajaan Patani di bawah penjajah Siam (Thailand) pada tahun 1785.
 Tokoh HAM Sonchai danKiayi Haji Sulong 'dihilangkan' jejak
Kalau sampai saat ini, efektivitasnya belum tampak riil walaupun sedikit sudah dirasakan oleh Masyarakat Melayu Patani. Memang arah menuju perbaikan memang ada, tetapi ini akan menyelesaikan masalah apabila tidak di berengi dengan unsure-unsur yang lain. Itu baru sisi masalah keamanan. Dan, keamanan sendiri belum bisa menjamin sepenuhnya kerena umat Melayu di bahgian Selatan Thailand sendiri masih merasa tidak aman. Sementara, kepercayaan kepada aparat telah pudar, kerena track record pertama itu pihak parat justru membantai umat Melayu Islam (Tragedi Kresik, Tragedi Tak Bai, Tragedi Tanjung Lima, Tragedi Air Temapayan, dan beberapa tragedy dan peristiwa kejadian lain lagi).                                    

Jadi, Memang Ada Koflik Ideologi.

Konflik di Patani Selatan Thailand jelas SARA, tidak perlu dengan istilah-istilah lain seperti “perang kemiskinan” agar tidak menyebar luas. Mengapa harus menutup nutupi barang busuk. Kerajaan Thailand memang pandai dalam mengarah ‘cover” dengan istilah-istilah pemanis, tapi lama kelamaan terbongkar juga borok-boroknya. Dulu, Thailand dikenal sebagai Negara yang paling tinggi tingkat heterogenitasnya yang terkenal ‘the land of smile’ walaupun berbagai suku dan agama, sehingga mendapat penghargaan dari luar negara.

Tentu saja, Masyarakat Melayu Patani yang sebagian besar muslim mempertanyakan, mengapa Konflik di Patani yang memakan korban jiwa cukup besar tidak “dilirik” oleh kerajaan Bangkok?

Sebaliknya, mereka (masyarakat Melayu Patani) juga mempertanyakan, mengapa jika seorang atau dua orang yang beragama Budha terbunuh di bahgian tiga propinsi selatan, Patani, Yala, Narathiwat dan sebagian propinsi Songkla, Kerajaan sangat cepat bertindak tanpa harus didorong oleh pihak lain. Bahkan, kalau perlu, kerajaan membentuk tim pencari fakta untuk menuntaskan kasus tersebut.
          
Kalau dilihat dari pelanggaran hak asasi manusia, tragedy pembantaian orang Melayu Islam di tiga propinsi selatan jauh lebih tragis dibandingkan dengan orang Budha. Jumlah korban terbunuh di bahgian Selatan mangsa adalah orang Melayu Islam jauh lebih banyak.

Maka di sini tidak aneh lagi sekira seorang Ustaz sekolah Agama Islam di tembak tewas maka akan disusul pula seorang guru Budha yang tewas, seorang Pak Kiayi (Ulama) di tembak tewas maka disusul pula seorang Biksu, seorang masyarakat sipil Melayu Muslim di tembak tewas maka akan terus pula seorang sipil Budha tertewas. Ini telah terjadi percaturan konflik yang sedang berlanjutan di sini.

Sikap tidak puas terhadap peran komnas HAM Thailand dan ini merasa bingung mengapa harusya menang ‘diam’. Padahal kasus Pembantaian, Pembunuhan, Mangsa Keganasan, Pemerkosaan, Mangsa di Penjara, Mangsa Tewas di Tembak, Mangsa di Hilangkan menunjuk angka yang begitu besar. Jumlah korban begitu banyak. Hanya begitu terpukul dengan kasus-kasusu yang terjadi di Selatan nagara Thai ini, tetapi kenapa tidak ada reaksi yang begitu keras terhadap kasus- kasus semua ini.

Bahwa Komnas HAM Thailand tidak acuh terhadap konflik di Thailand Selatan. Komnas HAM Thailand sudah mengirim orang ke Selatan dan berusaha mendorong untuk menyelesaikan. Komnas HAM tidak perlu melakukan duplikasi pekerjaan. Sebab, kalau datang kesana (Thailand Selatan) hanya untuk meninjau, hanya dilihat sebagai peninjau amatir. Hanya untuk mengumpulkan data kemudian kembali ke Bangkok. Lalu, apalagi yang diharapkan???

Peristiwa dan kejadian yang berlaku ini  tidak hanya membuat kita  sangat prihatin, tapi juga sekaligus memperkeruh persoalan konflik yang berkepanjangan dan memperpanjang pertanyaan masyarakat Malayu di Selatan Thai: Apa yang sesungguhnya dilakukan aparat keamanan dan sejauh mana tangung jawap yang bisa menjamin kehidupan umat Melayu Patani disini?

Apa yang terjadi di Patani Selatan Thailand tidak dapat dianggap sederhana dan local, kerena dampaknya pasti sangat serius. Kerusuhan di Patani bukan lagi angka-angka tentang berapa jumlah manusia yang tewas, berapa rumah ibadah ditembak. Kerusuhan tentangan antar Etnis Melayu Vs Siam, dan Islam Vs Badha yang sedang terus berjalan di ‘the land of smile’ Gajah Putih’ini...!!!

Rabu, 10 Ogos 2011

بغكوك بري سموا.. كجوالي هركا ديري دان كمرديكأن

Bangkok Beri Semua, Kecuali Harga Diri dan Kemerdekaan
by jawa pos

Jawa Pos – Mengunjungi Pattani, Jantung Komunitas Muslim Melayu di Thailand yang Sedang Bergolak. Sudah puluhan tahun Bangkok mengerahkan tentara besar-besaran dan dana miliaran baht ke Thailand Selatan, namun kekerasan masih terus terjadi. Sejumlah tokoh yang ditemui di Pattani berpendapat, konflik tak berhenti karena memang bukan itu yang diperlukan.
Laporan oleh: Abdul Rokhim dari Pattani, Thailand
Mengelilingi Kota Pattani, satu hal yang harus diakui, infrastruktur amatlah baik. Jalan luas dan mulus. Sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, dan fasilitas umum dibangun dengan megah. Di kota berpenduduk tak sampai satu juta itu tersedia pusat perbelanjaan Big C Superstore dan puluhan diler mobil serta kedai seluler. Namun, apa yang tampak di mata itu bisa menipu. Beberapa warga Pattani dari kalangan pengusaha, mahasiswa, dan tokoh masyarakat yang ditemui Jawa Pos mengaku resah dengan naiknya eskalasi konflik akhir-akhir ini.
Nattapong Suwanmongkol, 56, pengusaha penjual mobil bekas, mengakui konflik Patani secara tak langsung mengusir warga Thai nonmuslim keluar dari Pattani dan kota-kota yang bergolak lain, seperti Yala dan Narathiwat. Mereka takut terhadap tindak kekerasan, termasuk kepada warga nonmuslim, yang terus meningkat. “Rasa curiga membakar warga karena pemerintah tak pernah menjelaskan siapa pelakunya. Kami seperti diikuti bayang-bayang gelap yang bisa merusak bisnis dan membunuh keluarga kami setiap saat,” keluh penganut Buddhis itu saat ditemui di tempat usahanya, Minggu (23/3).
Nattapong yang pernah dilibatkan dalam tim nasional rekonsiliasi Thailand Selatan bentukan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra itu menilai, ada kesan tentara menangkap orang hanya untuk menenangkan warga dan menunjukkan bahwa mereka mampu. “Tapi, setelah penangkapan, kekerasan semakin sering. Sekarang orang tak percaya lagi. Setelah bom di Hotel CS Pattani, bisnis terus memburuk,” kata Nattapong yang gerai dilernya berada di dekat Hotel CS Pattani. Saat ini Nattapong hanya menjual tiga sampai lima mobil dalam seminggu. Padahal, sebelum 2004, saat konflik meluas akibat tragedi Tak Bai dan darurat militer, jumlah itu dulu ludes hanya dalam satu hari. “Beberapa teman sudah menutup usaha dan pergi ke utara. Jika tak ada tanda-tanda membaik, sebaiknya saya juga pindah,” kata bapak empat anak itu.
Apa yang dirasakan Nattapong sesuai dengan data Pemerintah Thailand. Tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi di selatan hanya 1,8 persen tahun lalu. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional 4,3 persen. Ada 108 pabrik tutup sejak 2004 dan 10,8 persen penduduk selatan berada di bawah garis kemiskinan. Bukan hanya di sektor bisnis. Kemunduran juga terjadi di bidang pendidikan. Kampus Prince of Songkhla University (PSU), universitas terbesar di Pattani, mencatat kini 90 persen mahasiswanya muslim. Padahal, dulu sebelum konflik, mahasiswa dari seantero Thai yang berbeda agama datang studi ke sana. Tak heran, pemandangan di kampus PSU Pattani sekarang mirip dengan kampus Indonesia. Banyak mahasiswi berjilbab, ada masjid, ada banyak tempat salat, serta makanan semua halal. Sangat berbeda dengan wajah kampus-kampus di Bangkok. “Mahasiswa nonmuslim yang bertahan di sini umumnya juga hanya menghabiskan sisa waktu belajar. Sedangkan mahasiswa baru nonmuslim belakangan ini hampir tak ada,” kata Nur Imani, 21, mahasiswi tingkat akhir Jurusan Fisika, saat ditemui sedang browsing internet di taman kampus PSU.
Ismail Ali, 37, seorang dosen PSU ditemui di tempat yang sama membenarkan adanya rasa takut yang menghantui mahasiswa nonmuslim. “Sebelum 2004, orang Melayu dan Siam biasa hidup berdampingan. Baru setelah itu (Insiden Tak Bai yang menewaskan banyak warga muslim), rasa saling curiga berkembang di antara kedua golongan. Apalagi jika mereka tak saling kenal,” kata direktur kajian Islam PSU yang mengaku sering diajak berdialog pemerintah Thailand itu. Rusdi Tayeh, 51, timbalan (wakil) ketua Majelis Umat Islam Pattani, mengungkapkan, keadaan sekarang sebetulnya bukan hanya membuat tak nyaman warga nonmuslim. “Kalau boleh, muslim di sini juga ingin pergi. Tapi, ke mana? Ke Bangkok tak lebih baik karena tak merasa sebagai negeri sendiri. Ke Malaysia kendati agama dan budaya sama juga mengundang masalah, karena negaranya berbeda. Apalagi, Malaysia cukup tegas terhadap pendatang haram,” katanya saat ditemui di kantornya, belakang masjid besar Pattani yang berdiri megah.
Rusdi yang pernah menjadi takmir masjid di kompleks Polri Jogjakarta (saat menuntut ilmu di IAIN Sunan Kalijaga) itu mengatakan, pemerintah Thailand berusaha men-Siam-kan rakyat Melayu di Thailand Selatan yang berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa dari sekitar 63 juta penduduk Thailand. Menghadapi kebijakan itu, kata dia, rakyat keturunan Melayu dengan identitas budaya dan agama berbeda melihatnya sebagai bentuk penindasan kolonial. “Kami adalah bangsa dengan identitas Melayu yang sangat berbeda dengan bangsa Siam. Ini fakta sosio-historis dan sudah ada jauh sebelum terbentuknya kerajaan Thailand,” ujar Rusdi merujuk penyerahan wilayah Thailand Selatan yang dikuasai Kerajaan Pattani kepada Kerajaan Siam oleh Inggris pada 1902.
Menurut Ahmad Khamil, 45, kepala sekolah Islam Mahad Attarbiyah, Pondok Bandar, Pattani, karena Kerajaan Pattani diserahkan secara paksa kepada Kerajaan Siam, dengan sendirinya bentuk hubungan kerajaan Thailand dengan rakyat di bekas Kerajaan Pattani (Pattani, Yala, dan Narathiwat), tidak berbeda dengan kekuasaan penjajah atas rakyat yang dijajah. “Hak-hak rakyat di negeri jajahan diabaikan. Lowongan kerja di pemerintahan hanya terbuka untuk pegawai rendahan. Sedangkan pembangunan sekadar lipstik yang menyentuh daerah ini,” kata Khamil yang pernah menjadi staf Prof Dr Amien Rais saat riset doktor di UGM Jogjakarta dulu.
Untuk mengekspresikan agama dan budayanya, lanjut Khamil, rakyat Melayu selalu mendapat halangan. “Untuk bekerja di jawatan rumah sakit, muslimah kami dilarang keras memakai jilbab. Bahkan, saat menghadiri pertemuan nasional di Bangkok, selalu ada imbauan untuk tidak memakai kerudung, peci, atau baju muslim,” kata pengelola sekolah yang mendidik 2.500 murid itu. Menurut Khamil, bangsa Siam selalu menganggap masyarakat muslim Melayu sebagai warga bodoh dan terbelakang, hanya karena kami memakai sarung, berkopiah, atau menggunakan serban. “Padahal, itulah identitas kami dan kami juga lulusan perguruan tinggi,” kata calon peraih gelar PhD dari Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Islam Antara Bangsa Malaysia, bahkan dari timur tengah Universitas al-Azhar, Madinah pun ada, itu dengan nada tinggi.
Karena itulah, sumber masalah di Thailand Selatan kini tidak lagi terbatas pada konflik antara kelompok miskin yang cemburu dengan kelompok kaya dan berkuasa di utara, tetapi sudah mencakup perlawanan terhadap penghapusan peradaban yang diyakini ratusan tahun.
Masuknya unsur agama dalam konflik ini merupakan hal yang tidak terhindarkan. “Identitas Melayu mencakup agama Islam, sementara pemerintah Siam beragama Buddha,” ujar Rusdi yang mengetuai bidang pendidikan di hampir 300 sekolah Islam di seluruh Pattani. Meski demikian, baik Khamil maupun Rusdi membantah bahwa konflik di wilayah Thailand Selatan sudah berubah menjadi perang agama. “Apa yang terjadi di sini semata-mata menyangkut perjuangan suatu bangsa yang ditindas,” ujar Khamil. Perjuangan rakyat Pattani, lanjut dia, mempunyai landasan historis, budaya, maupun etnis. Sebab, di Thailand Selatan, baik agama, budaya, maupun bahasa rakyat Pattani berbeda dengan masyarakat Siam yang berkuasa. Ini berbeda dengan kasus Aceh yang ingin memisahkan diri dari negara yang pemimpinnya juga muslim serta sama-sama menggunakan bahasa Indonesia.
Lantas apa solusi terbaik untuk konflik di Thailand Selatan? Tiga intelektual muslim Pattani mempunyai pandangan hampir sama. Ismail Ali mengatakan, pemerintah Thailand harus mulai realistis. Hingga Januari 2001, kata Ismail, pemerintah masih yakin tak ada gerakan separatis di Thailand Selatan. Semua baru terkejut setelah terjadi serangan dan perampokan senjata dalam jumlah besar di sebuah markas tentara, 4 Januari 2004, lalu dilanjutkan serangan masif dan terkoordinasi pada 28 April. “Pemerintah tak lagi bisa membantah, serangan-serangan itu dilancarkan kaum pemberontak dan bermotif politik untuk merdeka,” ujarnya.
Khamil dan Rusdi menambahkan, persepsi masyarakat muslim telanjur mengalami transformasi akibat berbagai peristiwa kekejaman yang dilakukan rezim Bangkok selama ratusan tahun. “Kami melihat sendiri ribuan pengunjuk rasa di Tak Bai diangkut dengan posisi tiarap dan tangan terikat ke belakang disusun bertindihan hingga lima lapis dalam satu truk menuju markas militer di Songhkhla,” cerita Rusdi. “Mereka memperlakukan warga keturunan Melayu melebihi binatang. Hal yang mustahil mereka perbuat terhadap warga Siam. Kami ingin semua ini berakhir. Satu-satunya cara adalah dengan kemerdekaan,” lanjutnya.


Khamil mengakui, tragedi Tak Bai beberapa lalu merupakan kebangkitan kesadaran rakyat keturunan Melayu di Thailand Selatan atas penindasan yang dialami mereka selama ini. “Mereka bisa memberi kami semua jalan yang lebar dan gedung-gedung megah, tapi kami tidak diberi kemerdekaan dan harga diri,” ungkapnya. Tragedi Tak Bai yang mengakibatkan 80 lebih warga muslim tewas membuat rakyat Thailand Selatan menuntut kemerdekaan. Mereka menagih dengan bom, serangan sporadis, bahkan pembunuhan pejabat.
Aparat keamanan Thailand mencatat ada 2.633 serangan terhadap personel militer di kawasan selatan sepanjang tahun lalu. Angka itu meningkat dari jumlah serangan tahun sebelumnya yang hanya 1.324. Untuk meredam serangan, aparat keamanan Thailand sudah menahan 3.000 orang.(Jawa Pos)