Sejak April 2004, Thailand Selatan (Kesultanan Muslim Patani di masa yang lalu) selalu bergolak akibat serangan pemberontak Muslim terhadap kekuatan bersenjata dan institusi-institusi pemerintah Thailand, dan juga serangan balasan yang dilancarkan pemerintah kepada mereka. Peledakan tahun 2004 dan kekerasan yang secara terus menerus berlangsung hingga sekarang datang sesudah satu dekade “tenang” di Selatan di mana kelompok-kelompok sempalan nationalism Islam berhenti melakukan serangan , dan beberapa orang Patani Muslim masuk dalam daftar electoral partai politik yang plural yang berkembang di Bangkok setelah beberapa dekade kudeta.
Sistem Thailand yang “diliberalkan” telah memiliki pencapaian2 yang kongkret di Thailand Selatan yang menawarkan beberapa kesempatan modernisasi bagi kaum Melayu Muslim di Patani. Hal itu bagaimanapun dapat menjadi jelas apabila kita meninjau kembali bahwa didalam dekad tahun2 1990an Sistim Pemerintahan Thai tidak sepenuhnya belajar kepada beberapa pelajaran: sistem pembatasan2 terhadap Islam amatlah mudah dalam beberapa hal, akan tetapi pemaksaan Negara Thailand agar bahasa Thai menjadi satu-satunya bahasa tulis sebagai ganti bahasa Melayu telah dibayar dengan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang Buddha Thai terus merupaykan kebanyakan pegawai kerajaan di Selatan di-Selatan Thailand.
Warga Melayu yang banyak di-Selatan Thailand (Patani) menginginkan solusi kompromis atas konflik, yang akan memelihara hal-hal positif dari dekad ketenangan seperti pembangunan infrastuktur, sebagaimana pemerintah Thailand telah memberikannya. Sistem Thailand pada period yang lebih liberal, di mana politisi sipil Thai lebih dominan daripada tentara, telah memberikan pendidikan secara massal dan modern kepada banyak warga Patani. (Perlu ditegaskan ini bukan pendidikan yang didesain untuk meninggalkan bahasa Melayu berwujud di-Patani dalam jangka panjang). Sebagaian orang Melayu dan Buddha menjadi kolega [rakan se-kerja] yang saling membangun. Orang-orang Patani moderat dan orang-orang Thailand moderat ingin mengamankan pencapaian2 ini dari gangguan kekerasan, para nasionalis ekstrem pemberontak, dan beberapa institusi pemerintah Thailand yang nationalist dan extrem juga. Kelompok Liberal dari kalangan Buddha melangkah maju ke arah perdamaian dengan Patani untuk keluar dari konflik , menuju kerjasama dan menyatukan komunitas Thai secara lebih serius masa-masa ini daripada wuktu yang lalu.
Lima tahun setelah pecahnya kekerasan di Thailand Selatan, proses membangunkan perdamaian mulai dipercepat. Hal ini tercermin secara baik dalam konferensi “Religions for Peace in Southern Thailand” (Agama-Agama untuk Perdamaian di Thailand Selatan) yang diselenggarakan di C.S. Hotel Kota Patani mulai 18-19 Mei 2009. Konferensi itu melibatkan lingkaran atas pimpinan agama Buddha dan Islam, serta pejabat pemerintah dan militer Thailand. Sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan kerajaan Thailand, konferensi itu terlaksana di bawah pengawasan the World Council of Religions for Peace (Majlis Agama-Agama untuk Chapaikan Perdamaian Dunia) sebuah badan yang berafiliasi kepada PBB yang selama 40 tahun berupaya untuk memberikan bantuan guna menciptakan perdamaian di negara-negara yang dilanda konflik. Peserta inti dalam konferensi itu melakukan launching sebuah badan Inter-Religious Council for Peace in Southern Thailand yang memiliki anggota 20 orang, dengan komposisi dua pertiganya adalah tokoh2 Agama Budha dan Islam dari Thailand Selatan.
Alasan pecahnya perang mini di Thailand Selatan sangat banyak dan kompleks. Umat Islam diwilayah itu mengalami kemiskinan dan pengangguran yang lebih tinggi daripada yang lain. Dan adanya arus-arus militan yang mengatasnamakan agama untuk mewajarkan diri, baik di kalangan Buddha maupun Muslim: semua itu menjadi faktor terjadinya perang. Beberapa analis Barat mengaitkan kekerasan itu dengan ajaran agama terutama konsep Jihad di dalam Islam. Satu isu penting dalam segi itu ialah, apakah forum konferensi ini dapat mendesak kalangan Islam dan Buddha untuk berbicara secara terus terang tentang tradisi agama mereka di Thailand, suatu hal yang dapat mengantarkan mereka keluar dari nasionalisme sempit dan kebencian antara satu pihak dengan yang lain.
Agamawan Budha
Agama Buddha di Thailand memiliki kepelbagaian yang tinggi. Selama berabad-abad, Sistem Thailand pecahan-pecahkan benang-benang dari Agama Buddha yang kemudian di-bentukkan sebagai wacana kesatuan yang memberikan justifikasi terhadap penaklukan-penaklukan dan kekuasaan tentera diatas kaum-kaum yang lain. Akan tetapi, kitab-kitab suci agama Buddha dapat menjadi perkakas yang bagus bagi analisis psikologis yang dapat memberikan kritik terhadap nasionalisme etnis. Agamawan Budha Phrakru Srijariyaporn mendedahkan ilusi konflik di forum tersebut: “masing-masing kelompok selalu memberikan kepada anggota-anggotanya informasi yang semakin keliru tentang yang lain bahwa mereka akan datang untuk melukai atau membunuh kita, menebar ketakutan yang dapat mengakibatkan penderitaan. Kita semua menginginkan kebahagiaan dan untuk itu diperlukan informasi yang benar, semua harus saling bertukar kebenaran yang seutuhnya agar dapat dimengerti oleh dua pihak kedua-duanya”.
Presentasi Srijariyaporn merupakan analisis yang objektif dan hebat. Ia dapat membidik gambaran psikologis kelompok-kelompok yang terlibat konflik di Thailand Selatan. Agama Buddha dapat mendorongnya keluar dari situasi kelompok yang merupakan asal-usulnya. Asumsinya bahwa semua konflik adalah ilusi, walapun itu membuatnya tidak dapat menyoroti konflik kepentingan2 ekonomi dan social, dan perjuangan kultur-kultur yang tidak cocok, akan tetapi “ilusi-ilusi” itu telah turut menyuburkan konflik antara Buddha dan Muslim di Thailand Selatan. Posisi ini sebenarnya dapat melemahkan potensi agamawan Budha yang tidak berpihak sebagai mediator konflik.
Pengalaman memediasi yang dilakukan para biarawan liberal Budha pada kesempatan sebelumnya barangkali tidak dapat membekali mereka untuk menghidupkan kembali perdamaian di Patani.
Agamawan Muslim
Isma’il Lutfi Capakiya, Rektor Universitas Islam Yala, selama bertahun-tahun lebih memilih bekerjasama dengan sistem di Thailand daripada melawannya. Hal itu telah menimbulkan kebencian bahkan ancaman kematian dari kalangan Muslim Patani yang menginginkan “Jihad untuk kemerdekaan”. Dalam tulisannya dalam bahasa Arab dan Melayu, dia berargumen bahwa Islam Klasik mengijinkan hubungan kerjasama antara Muslim dengan pemeluk agama Budha atau yang lain, kendati motif teks2 suci dan generasi pertama Islam yang di-petikkan oleh dia tidak cukup menunjukkan adanya bukti yang valid dalam membangun kebangsaan dengan penganut Buddha dalam satu kesatuan Negara yang benar-benar terintegrasi, didalam sejarah Islam.
Dalam sambutannya yang penuh semangat di konferensi itu, Lutfi bahkan mengembangkan lebih jauh ke arah komunitas humanis antara Muslim dan penganut Budha yang akan mempertemukan mereka pada titik yang dalam. Mereka semua yang datang disebut sebagai “saudaraku” olehnya. Mengembangkan proses perdamaian di Thailand Selatan sesuai dengan prinsip perdamaian yang Islam menuntut keterlibatan semua aspek kehidupan. ”Semua manusia adalah saudara, ciptaan Allah. Kitab2 Suci agama2 yang lain juga berpendirian seperti itu. Muhammad diutus sebagai nabi bukan hanya untuk umat Islam akan tetapi untuk semua manusia, yang semuanya adalah seperti anak-anak untuk Allah. Muslim yang menolak untuk berbicara dengan pemeluk agama lain berarti telah berdosa sebab mereka juga di-khalqkan oleh Tuhan. Qur’an memperkenankan Muslim untuk berperang hanya melawan musuh bersama yaitu setan, bukan manusia.
Ismail Luthfi menggunakan bahasa yang bergelombang untuk menarik semua orang di Thailand dalam projek itu. Apakah ia terbawa emosi ataukah terteror seperti semua faction2 yang ada di Thailand Selatan? Ketika saya berbicara dengannya saat ia hendak meninggalkan tempat acara, itu memperlihatkan bahwa dia adalah sosok yang sangat cerdas, kuat dan dingin intelegensinya, dan dengan mudah dapat menangkap hubungan politis-nya dengan saya sebagai seorang peneliti Barat yang sedang menulis satu buku tentang masalah bahasa dan identitas di negaranya. Dia amat cerdas sebagaimana terlihat sebelumnya.
Pidato Dr. Ismai’l Ali Rektor Fakulti Kajian2 Islam (Kulliat ud-Dirasat il-Islamiah) di Universitas Prince of Songkla Patani, berupaya mengaitkan sebab-sebab konflik dengan sistem Thailand yang harus diubah. Ia mengesampingkan explikasi biasa dari konflik itu. Agama tidak menyebabkan penderitaan di Patani akan tetapi diskriminasi dan pemisahan orang Islam oleh sistem Thailand dan di masyarakat Thailand yang telah terpecah: segi2 kezaliman ini dia yang merupakan penyebab penderitaan dan pergaduhan di Selatan Thailand. Umat Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk Islam, kerana Islam mengajarkan agar menghormati pemeluk agama lain. “Beberapa akademisi mengatakan bahwa konflik bersumber dari sejarah” [yaitu tentang cerita kejayaan dan kemuliaan Kesultanan Patani sebelum penaklukannya oleh Keraan Siam] “akan tetapi saya menyatakan bahwa sebab utama konflik ini adalah ketidakadilan yang terjadi di semua peringkat/level”. Untuk menyerukan agar Sistem Thailand memperlakukan Patani secara adil sebagaimana warga Thailand lain termasuk dalam anggaran/funding, Ismail Ali mengambil kesatuan nasionalisme Thailand: “Kita semua adalah bangsa Thailand”. Dia bagaimanapun menyadari bahwa kultur, bahasa, dan agama di antara mereka berbeda, “akan tetapi pemerintah mesti memperlakukan kita secara adil sebagaimana warga Thailand yang lain” dalam alokasi berbagai sumber2 dan peluangan2.
Ali meminta maaf kepada orang-orang Budha di Thailand Selatan atas kekerasan yang menimpa mereka: Umat Islam dahulu tidak pernah memiliki persoalan dengan agama lain dalam hal cara hidup. Di kataannya ini, Isma’il ‘Ali tidak mendengarkan tuntutan2 organisasi2 nasional Patani pada tahun 1970-an dan 1980-an bahwa kerajaan Bangkok harus menghentikan kirim para peneroka Budha kepada Patani. Pada akhirnya, Ali mengakui bahwa para pemberontak pada titik tetentu berhasil menciptakan konflik agama antara Muslim dan tetangganya yang beragama Buddha. Mereka berusaha menggunakan ajaran agama untuk menjustifikasi aksi-aksi kekerasan mereka. Pada titik ini mereka menyamai organisasi-organsasi di Irlandia yang membawa agama untuk menjustifikasi kejahatan politik antara penganut Katolik dan Protestan. Ismail Ali menghalangkan mereka dengan gagasan-gagasan Kristen atau Teosofi: barangkali prinsip2 Islam sama dengan sebagian prinsip2 yang ada dalam agama Budha: ia memiliki teman seorang biarawan Buddha.
Dr. Isma’il ‘Ali dan Dr. Isma’il Lutfi termasuk akademisi yang memperoleh didikan Arab Saudi dan yang berupaya mengembangkan sistem post modern (dalam IT dan bahasa Inggris) melaui membangunkan lembaga2 pendidikan tinggi Muslim di Thailand Selatan dengan bantuan Negara Thailand. Mereka tidak lagi mencari (barangkali tidak lagi diizinkan untuk mencari) bantuan dana dari Negara Arab guna membangun dan memperluaskan institusi2 mereka. Fakultas Kajian2 Islam yang mereka dirikan di Universiti Prince of Songkla dan Universii Islam baru Yala, dan pencarian beberapa wacana untuk masuk dalam Sistem Thailand daripada membuang-buang waktu untuk melawan Kerajaan itu, merupakan projek yang besar. Kendati demikian, mereka tetap mengakui bahwa wacana para pemberontak yang menyerukan Perang Suci untuk membebaskan Patani dari “belenggu” Thailand saat ini memperoleh perhatian yang lebih besar dari sebagian massa.
Pada gilirannya dalam konferensi itu, para pejabat pemerintah dan militer Thailand berupaya mengemukakan sungutan2 warga Muslim biasa di Thailand Selatan dan mengemukakan peningkatan keberhasilan di mana para pemberontak menawarkan “perjuangan yang Islami” untuk kemerdekaan sebagai jalan keluar.
Orang2 Pemerintah dan Militer
Krissada Boonratch Wakil Gubernur Yala dalam konferensi itu menyatakakan bahwa distorsi2 dari pelajaran2 agama Islam yang benar merupakan motivasi para pemberontak. Di beberapa sekolah agama yang diawasi dan dibiayai pemerintah, anak-anak berumur sepuluhan tahun memperoleh pelajaran bahwa Tuhan menginginkan agar mereka menempuh jalan Jihad.
Karena itu, para pemimpin Islam harus maju ke depan dan memberikan contoh yang benar mengenai Islam yang dapat mengesahkan dan menyokong Negara Thailand. Ajaran seperti itu akan mengurangi tindak kejahatan. (Perubahan yang terjadi ini akan ada sempatan untuk ‘ulama’ dan akademik2 Patani yang didikan Saudi untuk mereka dapat berkembang di bawah Sistem Negara Thailand sebagai partner junior). Akan tetapi, “kami masih menangkap lebih dari 4000 orang yang dicurigai, sebagian besar mereka berusia 35-40 tahun” (=mereka jelas bukan anak-anak belia yang masih mudah rangsang secara emosional, akan tetapi Muslim Melayu yang sudah matang yang memilih jalan hidupan mereka dengan pertimbangan pengalamannya selama bertahun-tahun dengan Kerajaan2 Thai dan orang Buddha).
Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach mengakui bahwa pemberontakan melibatkan nombor agak besar dari orang Melayu Muslim, dan bahkan setelah lima tahun berperang, tentaranya masih belum mengetahui siapa yang dilawan. Udomsak menunjukkan pikiran analitis yang sangat fleksibel: dia merasa bahagia lahir sebagai orang Budha akan tetapi ia juga belajar di sekolah Kristen dan juga di Kuil Budha, dan bahwa dia juga memiliki teman-teman Hindu dan Muslim. Watak konflik yang rumit telah mengganggu katagori-katagori pikirannya. Ia tahu bahwa agama yaitu Islam telah menjadi tempat berkumpul (rallying–point) di mana para pemberontak telah membawanya ke dalam konflik Selatan untuk menciptakan kebencian. Banyak penganut Buddha di Thailand lebih siap menyatakan bahwa Islam dalam bentuknya seperti di Timur Tengah dapat mendorong pemberontakan di Patani daripada mengakui identiti dan sejarah orang Melayu Patani yang khusuus. Bagi Udomsok sebagai orang Buddha Thai, pemberontakan tahun 2004 bukanlah didorong oleh impian menghidupkan kembali Kesultanan Patani Raya yang merdeka, yaitu kerajaan yang pernah dibasmikan Thailand pada pergantian menuju abad-20.
Segi serius dan sungguh di-dalam posisi2 Udomsak Thamsarorach terhadap perdamaian, kini, justru menjauhi Islam dan kekhususan Melayu, yaitu ciri-ciri khusus kebudayaan Patani, yang hujungnya membuat konflik menguat. Konflik sesungguhnya berasal dari persoalan yang juga terjadi di propinsi lain di Thailand yaitu meliputi distribusi Negara atas kekayaan dan keterbelakangan yang berlangsung hingga bertahun-tahun didalam Selatan. (Kondisi ini misalnya terjadi di kawasan Timur Laut Thailand dimana berduduk Isan yang bercakap di-bahasa Lao: satu golongan yang sudah menderita kemiskinan dan diskriminasi untuk waktu yang panjang melalui dekad-dekad). Sebuah perasaan bahwa mereka mengalami diskriminasi, menjadikan sebagian orang Patani mengangkat senjata untuk melawan demi keadilan, sebagaimana yang lihat Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach itu. Kata dia bahwa semua staf dalam angkatan bersenjata Thai ingin menemukan solusi melalui cara-cara yang damai: “kita melakukan yang terbaik mungkin untuk menyelesaikan persoalan keamanan”. Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach dalam hal ini percaya bahwa sebuah sumber pokok dari kebencian adalah kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi Thailand di-atas orang Islam. Tentara harus dapat membuat kerjasama yang kongkret dengan para penduduk biasa yang masih membisu, dengan jalan mengenakan kontrol yang tegas terhadap tentara dan orang-orang pemerintah. “Jika praktek-praktek yang salah masih terjadi maka harus ada hukuman untuk menghentikan kesalahan2 itu. Masing-masing harus memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini”.
Akan tetapi, mampukah tentara, polisi dan agen pemerintah Thailand membuat langkah-langkah seperti itu agar orang Patani bersedia bernegosiasi? Pengadilan dan hukuman2 yang sama untuk orang Melayu dan orang Buddha dia jalan yang satu-satunya untuk meyakinkan banyak Muslim agar mereka merasa “bermakna” untuk memanggil dirinya sebagai orang Thailand.
Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach merasai keazaman pemberontak yang seperti batu granit dan tidak ambil berat kepentingan2 duniawi dan korban2. Para pemberontak memiliki strategi jangka panjang bahwa mereka tidak menginginkan otonomi, tetapi bantuan internasional untuk memisahkan diri dari Kerajaan Thailand (=Negara2 Arab dan Islam dan Negara Asia Tenggara yang menggunakan Melayu sebagai bahasa komunikasi). Mereka berupaya menciptakan aktor dan faktor sebanyak mungkin. Untuk meningkatkan saling kebencian antara Melayu dan Buddha di Thailand Selatan mereka menyebarkan ajaran jihad “yang telah di-memutarbelitkan” untuk memberikan justifikasi pemisahan diri dari Thailand.
Mereka (orang pemberontok) secara sengaja memotong kepala orang-orang Buddha untuk menciptakan histeria. Negara Thailand tidak mudah mengkonter distorsi2 ajaran2 agama semacam ini. Pemerintah Thailand dan organisasi yang berkaitan denganya seharusnya memperkuat produksi literatur2 dari agamawan Muslim yang kooperatif agar teks-teks keislaman ini dapat memberikan justifikasi terhadap kedaulatan Negara Thailand. Akan tetapi, banyak penduduk di daerah pedalaman desa tidak dapat membaca, sehingga meskipun berbagai booklet itu didistribusikan kepada rakyat jelita di bawah di kampung2, dan itu sangat sulit dilakukan, hal itu mumkin tetap akan gagal untuk meyakinkan kepada audience yang dituju mengenai ajaran Islam yang benar yang mensyaratkan Muslim menerima pemerintahan
Di atas semua itu, Udomsak adalah orang yang sangat realistis, dan kadang2 liberal. Kaji selidiknya yang umum menunjukkan bahwa tentara Thailand tahun 2009 ini perangkan melawan gerakan nasionalis Melayu Islam sebagai suatu yang mencengangkan —- mereka tidak faham musuh Muslim mereka.
Siripong Hudsiri datang dari Pusat Administerasi Propinsi perbatasan Selatan (SBPAC), penerus sebuah institusi sebelumnya yang didesain untuk membawa pegawai badan2 intelejen, askar2 dan police dan beberapa eks-nasionalis Melayu bersama-sama untuk bekerjasama dalam berbagai kegiatan dan kepentingan: umpamanya seludup dan pengenalan pemuda nasionalist yang baru. Siripong Hudsiri berupaya mendeligitimasi kelompok pemberontak sebagai kelompok yang sangat kecil. Rakyat biasa mendengar bom dan desingan peluru setiap hari, akan tetapi semua itu sesungguhnya bukan suara mereka, akan tetapi suara segelintir orang saja. SBPAC telah melakukan berbagai dialog dengan penduduk Muslim. Tetapi, Siripong juga mengambil kesimpulan bahwa rakyat yang para pemberontak bergerak diantaranya juga semakin marah dengan kemiskinan mereka dan rendahnya tingat pendidikan di-Selatan: sebagian ada yang merasa bahwa Negara Thailand tidak memperlakukan mereka secara adil.
Begitu demikian, Siripong berpindah dari (a) keyakinan bahwa pemberontak yang jumlahnya sangat kecil yang menimbulkan persoalan, ke arah (b) penjelasan2 dan huraian2 struktural tentang konflik dan kekerasan di Patani. Sebagian dari otaknya mengetahui bahwa sekelompok dari penduduk petani yang telah di-targetkan tengah ditarik untuk solusi yang menawarkan kaum mujahid itu, yaitu untuk membangun lain kali komunitas Muslim yang humanis dan positif dan juga untuk melawan kekufuran. Masyarakat perkampungan telah mengalami perpecahan. dan penghancuran. Para pemuda mulai meninggalkan agama dan menjadi penagih dadah2. Orang tua yang khawatir dengan kondisi tersebut menginginkan semacam institusi masyarakat yang menyatukan kembali komunitas Islam dan masyarakat tradisional. Pemerintah Thailand tidak mampu menghadapi persoalan2 tersebut secara efektif. Hal ini menyisakan kekosongan bagi kelompok lain untuk maju ke depan, Siripong menilai. Karena itulah, beberapa orang tua dapat menerima para pemberontak yang menawarkan pembangunan kembali komunitas social keagamaan.
Rakyat Kecil
>Banyak orang penting diatang pada konferensi “Agama untuk Perdamaian di Thailand Selatan”. Tetapi, momen yang paling istimewa adalah ketika seorang Muslimah muda mengambil mikrofon. Saudara perempuannya sudah orang biasa yang tidak menyokong pemberontak atau kerajaan tetapi di-bunuhkan “dengan tidak sengaja” di-perang yang kecil ini. Saudaranya tengah pergi ke sekolah di motorkar ketika dua orang teroris yang mengendarai sepeda motor berhenti di belakangnya. Sebuah motorkar besar melaju ke-depan dan menembakkan peluru motor sepeda: tetapi saudaranya tewas akibat tembakan yang nyasar tersebut. Jadi, usaha2 pemerintah untuk memburu para pemberontak harus memakan korban nyawa orang lain yang tidak bersalah. Pemudi yang biasa ini sudah kehilangan sekarang jumlah empat anggota keluarganya. Dia merayukan kepada anggota konferensi agar “mencari solusi, untuk membantu kami”. Dia menyeru kepada hadirin agar “mencoba mendengar suara masayarakat kecil di Thailand Selatan”.
Upaya Mengkonsepsikan Persoalan Seiring Terbatasnya Waktu
>Pada sesi kelompok kecil yang dibuat pada konferensi itu, menjadi semakin jelas bahwa dengan berbagai penderitaan orang-orang Thailand penganut Buddha merasakan hilangnya kontrol Negara mereka atas sebagian besar dari kaum Patani (yaitu wilayah2 kecil Patani, Yala dan Narathiwat yang di-kenakan oleh kerajaan Thai), tetapi mereka masih sangat sulit menerima identitas dan tuntutan orang-orang Melayu itu. Berbagai penjelasan sosial dan ekonomi, yang sementara dapat dipandang benar didalam dirinya, dapat membantu orang-orang Buddha untuk menghindari berbagai ciri khusus kaum Melayu Patani yang harus diberi resources untuk berkembang di dalam Negara Thailand, jika orang Melayu secara sukarela menerima Negara Thailand.
>Di-titik ini, yang paling tidak diterima oleh orang nasionalist Thai adalah bahasa — bahwa bahasa Melayu harus menjadi bahasa rasmi Negara di samping bahasa Thai di-Patani. Diantara Melayu Islam Patani, ada kemarahan dalam institusi-institusi pendidikan yang tinggi, baik sekuler maupun Islam, terhadap “kelaparan” dan “pembunuhan” bahasa Melayu melalui proses sistemik dan panjang selama beberapa dekad oleh Negara Thailand. Sisi positifnya, konferensi untuk pembangunan perdamaian ini telah menawarkan penerjemahan berbagai cerama yang dibacakan dalam bahasa Thai itu ke dalam bahasa Melayu secara simultan. Sudah seperti menjadi keharusan bahwa pemerintah Thailand paksa dari 2008 untuk memasang papan pengumuman yang di samping bahasa Thai juga bertuliskan Melayu-Arab dan beberapa ayat al-Qur’an untuk mengirimkan pesan bahwa memberontak melawan Negara Thailand juga berarti mengingkari kehendak Allah. Ini merupakan tindakan prakmatis dari Negara, untuk mencadangkan bahwa dia tidak musuh Bahasa Melayu. Akan tetapi dalam beberapa tahun barangkali proses menyesuaikan akan menjadi penerimaan yang tulus terhadap keaslian bahasa Melayu Patani yang dipakai Negara — penggunaan rasmi yang bahkan mungkin menghentikan konflik. Hal itu barangkali dapat mengurangi konflik secara signifikan.
Selama dua hari konferensi tentang “membangun perdamaian antara Buddha dan Muslim” itu tidak ada satu pun pembicara yang mengangkat isu agar pemerintah Thailand menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi tulis pemerintah di samping bahasa Thai sendiri. Tuntutan ini oleh para pemuda terdidik yang diyakini dapat menjadi orang 2 nasionalis juga tidak muncul dalam diskusi kelompok kecil di-konferensi. Didalam kumpulan kecil satu yang saya duduk didalamnya, seorang biarawan Buddha mengemukakan se-pintas lalu bahwa sebagian orang di Selatan masih berbicara bahasa Melayu, dan barangkali bahasa tersebut seharusnya diajarkan sebagai mata pelajaran di lingungan satu sekolah Buddha yang lokal untuk membekali para biarawan di Selatan Thailand dalam melakukan dialog dengan Melayu Muslim tetangga mereka dalam kehidupan sehari-hari.
>Bagi sebagian orang Budha Liberal, nampaknya sulit untuk melangkah lebih jauh dan mengkonsepsikan bahasa Melayu sebagai bahasa tulis yang menawarkan khazanah Islam klasik dan literatur modern yang pada tingkat tertentu akan menyaingi khazanah Thailand yang terdiri dari peradaban orang2 Buddha multi bahasa. Setelah satu abad berupaya menggilas bahasa Melayu, menjadi kepentingan pemerintah Thailand sendiri dalam banyak hal untuk menawarkan hubungan patronase dan menfasilitasi bahasa Melayu dengan huruf Arab agar bahasa Thai dan bahasa Melayu Jawi tumbuh bersama-sama sebagai bahasa2 tercetak di era postmodern ini, dan masing-masing orang Melayu dan Budha justru dapat saling belajar dari yang lainnya.
>Akan tetapi ini bukan sekedar persoalan menjelaskan kepada orang-orang Patani bahwa dendam tutun temurun dari Phibul Songram terhadap bahasa Melayu berhuruf Arab telah berakhir. Penyelesaian kompromis untuk rekonsiliasi harus berhujung kepada dirikan penggunaan dua bahasa dalam sekolah-sekolah kerajaan dan berbagai departemen-departemen pemerintahan. Hal itu bukan hanya akan berarti bahwa orang-orang Melayu diberikan kesempatan untuk belajar bahasa Melayu sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah negeri, akan tetapi juga murid-murid Budha di sana harus pula mempelajarinya sejajar dengan bahasa Thai untuk kepentingan penggunaan praktis dalam profesi2 sesudah menyelesaikan sekolah. Patani sesudah proses rekonsiliasi akan menyerupai Quebec didalam federasi Canada: yakni minoritas penutur Inggris yang harus hidup di lingkungan negara Prancis itu di-paksa mengguna bahasa itu di-dalam kehidupannya seharian. Bilingualisme (penggunaan dua bahasa) adalah suatu cara kehidupan yang radikal.
Sikap lemah lembut, dan kemampuan untuk menyeberang batas-batas loyaliti2 pada unit-unit komunal, merupakan ciri khas Budha Thailand yang barangkali dapat berguna bagi mencapai kompromi perdamaian di Patani. Akan tetapi, biarawan-biarawan Liberal barangkali terlalu yakin bahwa pengalaman masa lalu mereka sebagai mediator dalam upaya perdamaian cukup membantu perdamaian dengan orang Islam Patani yang sebenarnya sangat berbeda dari kelompok-kelompok pinggiran manapun yang pernah dibantu mereka untuk melakukan rekonsiliasi pada dekad-dekad sebelumnya. Para agamawan Budha Liberal sangat bangga dengan peranan2 mereka sebagai mediator di Timur Laut Thailand yaitu di wilayah yang sangat miskin yang terisolasi dari Bangkok dalam waktu yang amat panjang. Di sana, biarawan2 membantu menyelesaikan pertikaian antar klan lokal dalam persoalan air dan sumber daya alam yang lain. Para biarawan juga telah membantu rekonsiliasi antara Suku Isan di Timur Laut Thailand dengan pemerintah yang sebelumnya selalu “membabat” mereka di bawah payung Field Marshal Phibul Songgram. Akan tetapi, Suku Isan berbicara dalam suatu bentuk bahasa Lao yang sangat mirip dengan bahasa Thai, yang pemerintah Thailand telah mengganti tuturan lokal bahasa itu dalam beberapa dekad: tentu jauh lebih mudah untuk membangun rekonsiliasi yang konstruktif dengan mereka daripada dengan Patani yang tidak memiliki kedekatan apapun dalam hal bahasa dan agama. Setelah ketegangan yang panjang, sistem Thailand dapat menggabungkan kaum Isan dengan baik dalam Negara mono-kultural yang mereka membangunkan, dan orang2 Isan menjadi anggota2 setia didalamnya.
>Dapatkah sistem Thailand melakukan hal serupa dalam kasus Patani? Kata-kata Ismail Lutfi Chapakia yang tulus bahwa “Orang Thailand Budha dan Muslim sebagai saudara” adalah kemajuan utama dalam pemikiran komunitasnya menuju identifikasi bangsa Thailand yang sejati. Pada sisi yang lain, banyak agamawan Muslim yang bergabung dengan sistem Thailand membawa harapan2 terbatas dengan mereka. Pidato Rektor Isma’il Ali telah menunjukkan betapa lancar dia sekarang di-bahasa kesusasteraan Thai yang sudah menimbulkan kesulitan untuknya di-zaman mudanya. Akan tetapi ia tetap memberikan karakter kepada sistem Thailand sebagai sangat diskriminatif dan melakukan kesalahan terhadap orang Patani hingga sekarang. Ia berupaya memberikan shock terapi kepada orang Thailand liberal.
Beberapa biarawan Budha, aparat pemerintah Thailand, dan militer memahami bahwa beberapa perubahan harus dilakukan. Ini adalah segi positif dari konferensi itu yang menurut ukuran Thailand amat radikal. Akan tetapi, kita harus wait and see apakah mereka dapat menangkap persoalan secara utuh — isu penerimaan kepelbagaian agama dan bahasa, terutama untuk membuat beberapa perubahan segera sebelum Thailand Selatan mencapai satu titik tidak mungkin mengembalikan aman-damai kepada Thailand.
Penerjemah Dr. Ibnu Burdah
Pusat Studi Timur Tengah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Sistem Thailand yang “diliberalkan” telah memiliki pencapaian2 yang kongkret di Thailand Selatan yang menawarkan beberapa kesempatan modernisasi bagi kaum Melayu Muslim di Patani. Hal itu bagaimanapun dapat menjadi jelas apabila kita meninjau kembali bahwa didalam dekad tahun2 1990an Sistim Pemerintahan Thai tidak sepenuhnya belajar kepada beberapa pelajaran: sistem pembatasan2 terhadap Islam amatlah mudah dalam beberapa hal, akan tetapi pemaksaan Negara Thailand agar bahasa Thai menjadi satu-satunya bahasa tulis sebagai ganti bahasa Melayu telah dibayar dengan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang Buddha Thai terus merupaykan kebanyakan pegawai kerajaan di Selatan di-Selatan Thailand.
Warga Melayu yang banyak di-Selatan Thailand (Patani) menginginkan solusi kompromis atas konflik, yang akan memelihara hal-hal positif dari dekad ketenangan seperti pembangunan infrastuktur, sebagaimana pemerintah Thailand telah memberikannya. Sistem Thailand pada period yang lebih liberal, di mana politisi sipil Thai lebih dominan daripada tentara, telah memberikan pendidikan secara massal dan modern kepada banyak warga Patani. (Perlu ditegaskan ini bukan pendidikan yang didesain untuk meninggalkan bahasa Melayu berwujud di-Patani dalam jangka panjang). Sebagaian orang Melayu dan Buddha menjadi kolega [rakan se-kerja] yang saling membangun. Orang-orang Patani moderat dan orang-orang Thailand moderat ingin mengamankan pencapaian2 ini dari gangguan kekerasan, para nasionalis ekstrem pemberontak, dan beberapa institusi pemerintah Thailand yang nationalist dan extrem juga. Kelompok Liberal dari kalangan Buddha melangkah maju ke arah perdamaian dengan Patani untuk keluar dari konflik , menuju kerjasama dan menyatukan komunitas Thai secara lebih serius masa-masa ini daripada wuktu yang lalu.
Lima tahun setelah pecahnya kekerasan di Thailand Selatan, proses membangunkan perdamaian mulai dipercepat. Hal ini tercermin secara baik dalam konferensi “Religions for Peace in Southern Thailand” (Agama-Agama untuk Perdamaian di Thailand Selatan) yang diselenggarakan di C.S. Hotel Kota Patani mulai 18-19 Mei 2009. Konferensi itu melibatkan lingkaran atas pimpinan agama Buddha dan Islam, serta pejabat pemerintah dan militer Thailand. Sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan kerajaan Thailand, konferensi itu terlaksana di bawah pengawasan the World Council of Religions for Peace (Majlis Agama-Agama untuk Chapaikan Perdamaian Dunia) sebuah badan yang berafiliasi kepada PBB yang selama 40 tahun berupaya untuk memberikan bantuan guna menciptakan perdamaian di negara-negara yang dilanda konflik. Peserta inti dalam konferensi itu melakukan launching sebuah badan Inter-Religious Council for Peace in Southern Thailand yang memiliki anggota 20 orang, dengan komposisi dua pertiganya adalah tokoh2 Agama Budha dan Islam dari Thailand Selatan.
Alasan pecahnya perang mini di Thailand Selatan sangat banyak dan kompleks. Umat Islam diwilayah itu mengalami kemiskinan dan pengangguran yang lebih tinggi daripada yang lain. Dan adanya arus-arus militan yang mengatasnamakan agama untuk mewajarkan diri, baik di kalangan Buddha maupun Muslim: semua itu menjadi faktor terjadinya perang. Beberapa analis Barat mengaitkan kekerasan itu dengan ajaran agama terutama konsep Jihad di dalam Islam. Satu isu penting dalam segi itu ialah, apakah forum konferensi ini dapat mendesak kalangan Islam dan Buddha untuk berbicara secara terus terang tentang tradisi agama mereka di Thailand, suatu hal yang dapat mengantarkan mereka keluar dari nasionalisme sempit dan kebencian antara satu pihak dengan yang lain.
Agamawan Budha
Agama Buddha di Thailand memiliki kepelbagaian yang tinggi. Selama berabad-abad, Sistem Thailand pecahan-pecahkan benang-benang dari Agama Buddha yang kemudian di-bentukkan sebagai wacana kesatuan yang memberikan justifikasi terhadap penaklukan-penaklukan dan kekuasaan tentera diatas kaum-kaum yang lain. Akan tetapi, kitab-kitab suci agama Buddha dapat menjadi perkakas yang bagus bagi analisis psikologis yang dapat memberikan kritik terhadap nasionalisme etnis. Agamawan Budha Phrakru Srijariyaporn mendedahkan ilusi konflik di forum tersebut: “masing-masing kelompok selalu memberikan kepada anggota-anggotanya informasi yang semakin keliru tentang yang lain bahwa mereka akan datang untuk melukai atau membunuh kita, menebar ketakutan yang dapat mengakibatkan penderitaan. Kita semua menginginkan kebahagiaan dan untuk itu diperlukan informasi yang benar, semua harus saling bertukar kebenaran yang seutuhnya agar dapat dimengerti oleh dua pihak kedua-duanya”.
Presentasi Srijariyaporn merupakan analisis yang objektif dan hebat. Ia dapat membidik gambaran psikologis kelompok-kelompok yang terlibat konflik di Thailand Selatan. Agama Buddha dapat mendorongnya keluar dari situasi kelompok yang merupakan asal-usulnya. Asumsinya bahwa semua konflik adalah ilusi, walapun itu membuatnya tidak dapat menyoroti konflik kepentingan2 ekonomi dan social, dan perjuangan kultur-kultur yang tidak cocok, akan tetapi “ilusi-ilusi” itu telah turut menyuburkan konflik antara Buddha dan Muslim di Thailand Selatan. Posisi ini sebenarnya dapat melemahkan potensi agamawan Budha yang tidak berpihak sebagai mediator konflik.
Pengalaman memediasi yang dilakukan para biarawan liberal Budha pada kesempatan sebelumnya barangkali tidak dapat membekali mereka untuk menghidupkan kembali perdamaian di Patani.
Agamawan Muslim
Isma’il Lutfi Capakiya, Rektor Universitas Islam Yala, selama bertahun-tahun lebih memilih bekerjasama dengan sistem di Thailand daripada melawannya. Hal itu telah menimbulkan kebencian bahkan ancaman kematian dari kalangan Muslim Patani yang menginginkan “Jihad untuk kemerdekaan”. Dalam tulisannya dalam bahasa Arab dan Melayu, dia berargumen bahwa Islam Klasik mengijinkan hubungan kerjasama antara Muslim dengan pemeluk agama Budha atau yang lain, kendati motif teks2 suci dan generasi pertama Islam yang di-petikkan oleh dia tidak cukup menunjukkan adanya bukti yang valid dalam membangun kebangsaan dengan penganut Buddha dalam satu kesatuan Negara yang benar-benar terintegrasi, didalam sejarah Islam.
Dalam sambutannya yang penuh semangat di konferensi itu, Lutfi bahkan mengembangkan lebih jauh ke arah komunitas humanis antara Muslim dan penganut Budha yang akan mempertemukan mereka pada titik yang dalam. Mereka semua yang datang disebut sebagai “saudaraku” olehnya. Mengembangkan proses perdamaian di Thailand Selatan sesuai dengan prinsip perdamaian yang Islam menuntut keterlibatan semua aspek kehidupan. ”Semua manusia adalah saudara, ciptaan Allah. Kitab2 Suci agama2 yang lain juga berpendirian seperti itu. Muhammad diutus sebagai nabi bukan hanya untuk umat Islam akan tetapi untuk semua manusia, yang semuanya adalah seperti anak-anak untuk Allah. Muslim yang menolak untuk berbicara dengan pemeluk agama lain berarti telah berdosa sebab mereka juga di-khalqkan oleh Tuhan. Qur’an memperkenankan Muslim untuk berperang hanya melawan musuh bersama yaitu setan, bukan manusia.
Ismail Luthfi menggunakan bahasa yang bergelombang untuk menarik semua orang di Thailand dalam projek itu. Apakah ia terbawa emosi ataukah terteror seperti semua faction2 yang ada di Thailand Selatan? Ketika saya berbicara dengannya saat ia hendak meninggalkan tempat acara, itu memperlihatkan bahwa dia adalah sosok yang sangat cerdas, kuat dan dingin intelegensinya, dan dengan mudah dapat menangkap hubungan politis-nya dengan saya sebagai seorang peneliti Barat yang sedang menulis satu buku tentang masalah bahasa dan identitas di negaranya. Dia amat cerdas sebagaimana terlihat sebelumnya.
Pidato Dr. Ismai’l Ali Rektor Fakulti Kajian2 Islam (Kulliat ud-Dirasat il-Islamiah) di Universitas Prince of Songkla Patani, berupaya mengaitkan sebab-sebab konflik dengan sistem Thailand yang harus diubah. Ia mengesampingkan explikasi biasa dari konflik itu. Agama tidak menyebabkan penderitaan di Patani akan tetapi diskriminasi dan pemisahan orang Islam oleh sistem Thailand dan di masyarakat Thailand yang telah terpecah: segi2 kezaliman ini dia yang merupakan penyebab penderitaan dan pergaduhan di Selatan Thailand. Umat Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk Islam, kerana Islam mengajarkan agar menghormati pemeluk agama lain. “Beberapa akademisi mengatakan bahwa konflik bersumber dari sejarah” [yaitu tentang cerita kejayaan dan kemuliaan Kesultanan Patani sebelum penaklukannya oleh Keraan Siam] “akan tetapi saya menyatakan bahwa sebab utama konflik ini adalah ketidakadilan yang terjadi di semua peringkat/level”. Untuk menyerukan agar Sistem Thailand memperlakukan Patani secara adil sebagaimana warga Thailand lain termasuk dalam anggaran/funding, Ismail Ali mengambil kesatuan nasionalisme Thailand: “Kita semua adalah bangsa Thailand”. Dia bagaimanapun menyadari bahwa kultur, bahasa, dan agama di antara mereka berbeda, “akan tetapi pemerintah mesti memperlakukan kita secara adil sebagaimana warga Thailand yang lain” dalam alokasi berbagai sumber2 dan peluangan2.
Ali meminta maaf kepada orang-orang Budha di Thailand Selatan atas kekerasan yang menimpa mereka: Umat Islam dahulu tidak pernah memiliki persoalan dengan agama lain dalam hal cara hidup. Di kataannya ini, Isma’il ‘Ali tidak mendengarkan tuntutan2 organisasi2 nasional Patani pada tahun 1970-an dan 1980-an bahwa kerajaan Bangkok harus menghentikan kirim para peneroka Budha kepada Patani. Pada akhirnya, Ali mengakui bahwa para pemberontak pada titik tetentu berhasil menciptakan konflik agama antara Muslim dan tetangganya yang beragama Buddha. Mereka berusaha menggunakan ajaran agama untuk menjustifikasi aksi-aksi kekerasan mereka. Pada titik ini mereka menyamai organisasi-organsasi di Irlandia yang membawa agama untuk menjustifikasi kejahatan politik antara penganut Katolik dan Protestan. Ismail Ali menghalangkan mereka dengan gagasan-gagasan Kristen atau Teosofi: barangkali prinsip2 Islam sama dengan sebagian prinsip2 yang ada dalam agama Budha: ia memiliki teman seorang biarawan Buddha.
Dr. Isma’il ‘Ali dan Dr. Isma’il Lutfi termasuk akademisi yang memperoleh didikan Arab Saudi dan yang berupaya mengembangkan sistem post modern (dalam IT dan bahasa Inggris) melaui membangunkan lembaga2 pendidikan tinggi Muslim di Thailand Selatan dengan bantuan Negara Thailand. Mereka tidak lagi mencari (barangkali tidak lagi diizinkan untuk mencari) bantuan dana dari Negara Arab guna membangun dan memperluaskan institusi2 mereka. Fakultas Kajian2 Islam yang mereka dirikan di Universiti Prince of Songkla dan Universii Islam baru Yala, dan pencarian beberapa wacana untuk masuk dalam Sistem Thailand daripada membuang-buang waktu untuk melawan Kerajaan itu, merupakan projek yang besar. Kendati demikian, mereka tetap mengakui bahwa wacana para pemberontak yang menyerukan Perang Suci untuk membebaskan Patani dari “belenggu” Thailand saat ini memperoleh perhatian yang lebih besar dari sebagian massa.
Pada gilirannya dalam konferensi itu, para pejabat pemerintah dan militer Thailand berupaya mengemukakan sungutan2 warga Muslim biasa di Thailand Selatan dan mengemukakan peningkatan keberhasilan di mana para pemberontak menawarkan “perjuangan yang Islami” untuk kemerdekaan sebagai jalan keluar.
Orang2 Pemerintah dan Militer
Krissada Boonratch Wakil Gubernur Yala dalam konferensi itu menyatakakan bahwa distorsi2 dari pelajaran2 agama Islam yang benar merupakan motivasi para pemberontak. Di beberapa sekolah agama yang diawasi dan dibiayai pemerintah, anak-anak berumur sepuluhan tahun memperoleh pelajaran bahwa Tuhan menginginkan agar mereka menempuh jalan Jihad.
Karena itu, para pemimpin Islam harus maju ke depan dan memberikan contoh yang benar mengenai Islam yang dapat mengesahkan dan menyokong Negara Thailand. Ajaran seperti itu akan mengurangi tindak kejahatan. (Perubahan yang terjadi ini akan ada sempatan untuk ‘ulama’ dan akademik2 Patani yang didikan Saudi untuk mereka dapat berkembang di bawah Sistem Negara Thailand sebagai partner junior). Akan tetapi, “kami masih menangkap lebih dari 4000 orang yang dicurigai, sebagian besar mereka berusia 35-40 tahun” (=mereka jelas bukan anak-anak belia yang masih mudah rangsang secara emosional, akan tetapi Muslim Melayu yang sudah matang yang memilih jalan hidupan mereka dengan pertimbangan pengalamannya selama bertahun-tahun dengan Kerajaan2 Thai dan orang Buddha).
Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach mengakui bahwa pemberontakan melibatkan nombor agak besar dari orang Melayu Muslim, dan bahkan setelah lima tahun berperang, tentaranya masih belum mengetahui siapa yang dilawan. Udomsak menunjukkan pikiran analitis yang sangat fleksibel: dia merasa bahagia lahir sebagai orang Budha akan tetapi ia juga belajar di sekolah Kristen dan juga di Kuil Budha, dan bahwa dia juga memiliki teman-teman Hindu dan Muslim. Watak konflik yang rumit telah mengganggu katagori-katagori pikirannya. Ia tahu bahwa agama yaitu Islam telah menjadi tempat berkumpul (rallying–point) di mana para pemberontak telah membawanya ke dalam konflik Selatan untuk menciptakan kebencian. Banyak penganut Buddha di Thailand lebih siap menyatakan bahwa Islam dalam bentuknya seperti di Timur Tengah dapat mendorong pemberontakan di Patani daripada mengakui identiti dan sejarah orang Melayu Patani yang khusuus. Bagi Udomsok sebagai orang Buddha Thai, pemberontakan tahun 2004 bukanlah didorong oleh impian menghidupkan kembali Kesultanan Patani Raya yang merdeka, yaitu kerajaan yang pernah dibasmikan Thailand pada pergantian menuju abad-20.
Segi serius dan sungguh di-dalam posisi2 Udomsak Thamsarorach terhadap perdamaian, kini, justru menjauhi Islam dan kekhususan Melayu, yaitu ciri-ciri khusus kebudayaan Patani, yang hujungnya membuat konflik menguat. Konflik sesungguhnya berasal dari persoalan yang juga terjadi di propinsi lain di Thailand yaitu meliputi distribusi Negara atas kekayaan dan keterbelakangan yang berlangsung hingga bertahun-tahun didalam Selatan. (Kondisi ini misalnya terjadi di kawasan Timur Laut Thailand dimana berduduk Isan yang bercakap di-bahasa Lao: satu golongan yang sudah menderita kemiskinan dan diskriminasi untuk waktu yang panjang melalui dekad-dekad). Sebuah perasaan bahwa mereka mengalami diskriminasi, menjadikan sebagian orang Patani mengangkat senjata untuk melawan demi keadilan, sebagaimana yang lihat Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach itu. Kata dia bahwa semua staf dalam angkatan bersenjata Thai ingin menemukan solusi melalui cara-cara yang damai: “kita melakukan yang terbaik mungkin untuk menyelesaikan persoalan keamanan”. Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach dalam hal ini percaya bahwa sebuah sumber pokok dari kebencian adalah kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi Thailand di-atas orang Islam. Tentara harus dapat membuat kerjasama yang kongkret dengan para penduduk biasa yang masih membisu, dengan jalan mengenakan kontrol yang tegas terhadap tentara dan orang-orang pemerintah. “Jika praktek-praktek yang salah masih terjadi maka harus ada hukuman untuk menghentikan kesalahan2 itu. Masing-masing harus memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini”.
Akan tetapi, mampukah tentara, polisi dan agen pemerintah Thailand membuat langkah-langkah seperti itu agar orang Patani bersedia bernegosiasi? Pengadilan dan hukuman2 yang sama untuk orang Melayu dan orang Buddha dia jalan yang satu-satunya untuk meyakinkan banyak Muslim agar mereka merasa “bermakna” untuk memanggil dirinya sebagai orang Thailand.
Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach merasai keazaman pemberontak yang seperti batu granit dan tidak ambil berat kepentingan2 duniawi dan korban2. Para pemberontak memiliki strategi jangka panjang bahwa mereka tidak menginginkan otonomi, tetapi bantuan internasional untuk memisahkan diri dari Kerajaan Thailand (=Negara2 Arab dan Islam dan Negara Asia Tenggara yang menggunakan Melayu sebagai bahasa komunikasi). Mereka berupaya menciptakan aktor dan faktor sebanyak mungkin. Untuk meningkatkan saling kebencian antara Melayu dan Buddha di Thailand Selatan mereka menyebarkan ajaran jihad “yang telah di-memutarbelitkan” untuk memberikan justifikasi pemisahan diri dari Thailand.
Mereka (orang pemberontok) secara sengaja memotong kepala orang-orang Buddha untuk menciptakan histeria. Negara Thailand tidak mudah mengkonter distorsi2 ajaran2 agama semacam ini. Pemerintah Thailand dan organisasi yang berkaitan denganya seharusnya memperkuat produksi literatur2 dari agamawan Muslim yang kooperatif agar teks-teks keislaman ini dapat memberikan justifikasi terhadap kedaulatan Negara Thailand. Akan tetapi, banyak penduduk di daerah pedalaman desa tidak dapat membaca, sehingga meskipun berbagai booklet itu didistribusikan kepada rakyat jelita di bawah di kampung2, dan itu sangat sulit dilakukan, hal itu mumkin tetap akan gagal untuk meyakinkan kepada audience yang dituju mengenai ajaran Islam yang benar yang mensyaratkan Muslim menerima pemerintahan
Di atas semua itu, Udomsak adalah orang yang sangat realistis, dan kadang2 liberal. Kaji selidiknya yang umum menunjukkan bahwa tentara Thailand tahun 2009 ini perangkan melawan gerakan nasionalis Melayu Islam sebagai suatu yang mencengangkan —- mereka tidak faham musuh Muslim mereka.
Siripong Hudsiri datang dari Pusat Administerasi Propinsi perbatasan Selatan (SBPAC), penerus sebuah institusi sebelumnya yang didesain untuk membawa pegawai badan2 intelejen, askar2 dan police dan beberapa eks-nasionalis Melayu bersama-sama untuk bekerjasama dalam berbagai kegiatan dan kepentingan: umpamanya seludup dan pengenalan pemuda nasionalist yang baru. Siripong Hudsiri berupaya mendeligitimasi kelompok pemberontak sebagai kelompok yang sangat kecil. Rakyat biasa mendengar bom dan desingan peluru setiap hari, akan tetapi semua itu sesungguhnya bukan suara mereka, akan tetapi suara segelintir orang saja. SBPAC telah melakukan berbagai dialog dengan penduduk Muslim. Tetapi, Siripong juga mengambil kesimpulan bahwa rakyat yang para pemberontak bergerak diantaranya juga semakin marah dengan kemiskinan mereka dan rendahnya tingat pendidikan di-Selatan: sebagian ada yang merasa bahwa Negara Thailand tidak memperlakukan mereka secara adil.
Begitu demikian, Siripong berpindah dari (a) keyakinan bahwa pemberontak yang jumlahnya sangat kecil yang menimbulkan persoalan, ke arah (b) penjelasan2 dan huraian2 struktural tentang konflik dan kekerasan di Patani. Sebagian dari otaknya mengetahui bahwa sekelompok dari penduduk petani yang telah di-targetkan tengah ditarik untuk solusi yang menawarkan kaum mujahid itu, yaitu untuk membangun lain kali komunitas Muslim yang humanis dan positif dan juga untuk melawan kekufuran. Masyarakat perkampungan telah mengalami perpecahan. dan penghancuran. Para pemuda mulai meninggalkan agama dan menjadi penagih dadah2. Orang tua yang khawatir dengan kondisi tersebut menginginkan semacam institusi masyarakat yang menyatukan kembali komunitas Islam dan masyarakat tradisional. Pemerintah Thailand tidak mampu menghadapi persoalan2 tersebut secara efektif. Hal ini menyisakan kekosongan bagi kelompok lain untuk maju ke depan, Siripong menilai. Karena itulah, beberapa orang tua dapat menerima para pemberontak yang menawarkan pembangunan kembali komunitas social keagamaan.
Rakyat Kecil
>Banyak orang penting diatang pada konferensi “Agama untuk Perdamaian di Thailand Selatan”. Tetapi, momen yang paling istimewa adalah ketika seorang Muslimah muda mengambil mikrofon. Saudara perempuannya sudah orang biasa yang tidak menyokong pemberontak atau kerajaan tetapi di-bunuhkan “dengan tidak sengaja” di-perang yang kecil ini. Saudaranya tengah pergi ke sekolah di motorkar ketika dua orang teroris yang mengendarai sepeda motor berhenti di belakangnya. Sebuah motorkar besar melaju ke-depan dan menembakkan peluru motor sepeda: tetapi saudaranya tewas akibat tembakan yang nyasar tersebut. Jadi, usaha2 pemerintah untuk memburu para pemberontak harus memakan korban nyawa orang lain yang tidak bersalah. Pemudi yang biasa ini sudah kehilangan sekarang jumlah empat anggota keluarganya. Dia merayukan kepada anggota konferensi agar “mencari solusi, untuk membantu kami”. Dia menyeru kepada hadirin agar “mencoba mendengar suara masayarakat kecil di Thailand Selatan”.
Upaya Mengkonsepsikan Persoalan Seiring Terbatasnya Waktu
>Pada sesi kelompok kecil yang dibuat pada konferensi itu, menjadi semakin jelas bahwa dengan berbagai penderitaan orang-orang Thailand penganut Buddha merasakan hilangnya kontrol Negara mereka atas sebagian besar dari kaum Patani (yaitu wilayah2 kecil Patani, Yala dan Narathiwat yang di-kenakan oleh kerajaan Thai), tetapi mereka masih sangat sulit menerima identitas dan tuntutan orang-orang Melayu itu. Berbagai penjelasan sosial dan ekonomi, yang sementara dapat dipandang benar didalam dirinya, dapat membantu orang-orang Buddha untuk menghindari berbagai ciri khusus kaum Melayu Patani yang harus diberi resources untuk berkembang di dalam Negara Thailand, jika orang Melayu secara sukarela menerima Negara Thailand.
>Di-titik ini, yang paling tidak diterima oleh orang nasionalist Thai adalah bahasa — bahwa bahasa Melayu harus menjadi bahasa rasmi Negara di samping bahasa Thai di-Patani. Diantara Melayu Islam Patani, ada kemarahan dalam institusi-institusi pendidikan yang tinggi, baik sekuler maupun Islam, terhadap “kelaparan” dan “pembunuhan” bahasa Melayu melalui proses sistemik dan panjang selama beberapa dekad oleh Negara Thailand. Sisi positifnya, konferensi untuk pembangunan perdamaian ini telah menawarkan penerjemahan berbagai cerama yang dibacakan dalam bahasa Thai itu ke dalam bahasa Melayu secara simultan. Sudah seperti menjadi keharusan bahwa pemerintah Thailand paksa dari 2008 untuk memasang papan pengumuman yang di samping bahasa Thai juga bertuliskan Melayu-Arab dan beberapa ayat al-Qur’an untuk mengirimkan pesan bahwa memberontak melawan Negara Thailand juga berarti mengingkari kehendak Allah. Ini merupakan tindakan prakmatis dari Negara, untuk mencadangkan bahwa dia tidak musuh Bahasa Melayu. Akan tetapi dalam beberapa tahun barangkali proses menyesuaikan akan menjadi penerimaan yang tulus terhadap keaslian bahasa Melayu Patani yang dipakai Negara — penggunaan rasmi yang bahkan mungkin menghentikan konflik. Hal itu barangkali dapat mengurangi konflik secara signifikan.
Selama dua hari konferensi tentang “membangun perdamaian antara Buddha dan Muslim” itu tidak ada satu pun pembicara yang mengangkat isu agar pemerintah Thailand menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi tulis pemerintah di samping bahasa Thai sendiri. Tuntutan ini oleh para pemuda terdidik yang diyakini dapat menjadi orang 2 nasionalis juga tidak muncul dalam diskusi kelompok kecil di-konferensi. Didalam kumpulan kecil satu yang saya duduk didalamnya, seorang biarawan Buddha mengemukakan se-pintas lalu bahwa sebagian orang di Selatan masih berbicara bahasa Melayu, dan barangkali bahasa tersebut seharusnya diajarkan sebagai mata pelajaran di lingungan satu sekolah Buddha yang lokal untuk membekali para biarawan di Selatan Thailand dalam melakukan dialog dengan Melayu Muslim tetangga mereka dalam kehidupan sehari-hari.
>Bagi sebagian orang Budha Liberal, nampaknya sulit untuk melangkah lebih jauh dan mengkonsepsikan bahasa Melayu sebagai bahasa tulis yang menawarkan khazanah Islam klasik dan literatur modern yang pada tingkat tertentu akan menyaingi khazanah Thailand yang terdiri dari peradaban orang2 Buddha multi bahasa. Setelah satu abad berupaya menggilas bahasa Melayu, menjadi kepentingan pemerintah Thailand sendiri dalam banyak hal untuk menawarkan hubungan patronase dan menfasilitasi bahasa Melayu dengan huruf Arab agar bahasa Thai dan bahasa Melayu Jawi tumbuh bersama-sama sebagai bahasa2 tercetak di era postmodern ini, dan masing-masing orang Melayu dan Budha justru dapat saling belajar dari yang lainnya.
>Akan tetapi ini bukan sekedar persoalan menjelaskan kepada orang-orang Patani bahwa dendam tutun temurun dari Phibul Songram terhadap bahasa Melayu berhuruf Arab telah berakhir. Penyelesaian kompromis untuk rekonsiliasi harus berhujung kepada dirikan penggunaan dua bahasa dalam sekolah-sekolah kerajaan dan berbagai departemen-departemen pemerintahan. Hal itu bukan hanya akan berarti bahwa orang-orang Melayu diberikan kesempatan untuk belajar bahasa Melayu sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah negeri, akan tetapi juga murid-murid Budha di sana harus pula mempelajarinya sejajar dengan bahasa Thai untuk kepentingan penggunaan praktis dalam profesi2 sesudah menyelesaikan sekolah. Patani sesudah proses rekonsiliasi akan menyerupai Quebec didalam federasi Canada: yakni minoritas penutur Inggris yang harus hidup di lingkungan negara Prancis itu di-paksa mengguna bahasa itu di-dalam kehidupannya seharian. Bilingualisme (penggunaan dua bahasa) adalah suatu cara kehidupan yang radikal.
Sikap lemah lembut, dan kemampuan untuk menyeberang batas-batas loyaliti2 pada unit-unit komunal, merupakan ciri khas Budha Thailand yang barangkali dapat berguna bagi mencapai kompromi perdamaian di Patani. Akan tetapi, biarawan-biarawan Liberal barangkali terlalu yakin bahwa pengalaman masa lalu mereka sebagai mediator dalam upaya perdamaian cukup membantu perdamaian dengan orang Islam Patani yang sebenarnya sangat berbeda dari kelompok-kelompok pinggiran manapun yang pernah dibantu mereka untuk melakukan rekonsiliasi pada dekad-dekad sebelumnya. Para agamawan Budha Liberal sangat bangga dengan peranan2 mereka sebagai mediator di Timur Laut Thailand yaitu di wilayah yang sangat miskin yang terisolasi dari Bangkok dalam waktu yang amat panjang. Di sana, biarawan2 membantu menyelesaikan pertikaian antar klan lokal dalam persoalan air dan sumber daya alam yang lain. Para biarawan juga telah membantu rekonsiliasi antara Suku Isan di Timur Laut Thailand dengan pemerintah yang sebelumnya selalu “membabat” mereka di bawah payung Field Marshal Phibul Songgram. Akan tetapi, Suku Isan berbicara dalam suatu bentuk bahasa Lao yang sangat mirip dengan bahasa Thai, yang pemerintah Thailand telah mengganti tuturan lokal bahasa itu dalam beberapa dekad: tentu jauh lebih mudah untuk membangun rekonsiliasi yang konstruktif dengan mereka daripada dengan Patani yang tidak memiliki kedekatan apapun dalam hal bahasa dan agama. Setelah ketegangan yang panjang, sistem Thailand dapat menggabungkan kaum Isan dengan baik dalam Negara mono-kultural yang mereka membangunkan, dan orang2 Isan menjadi anggota2 setia didalamnya.
>Dapatkah sistem Thailand melakukan hal serupa dalam kasus Patani? Kata-kata Ismail Lutfi Chapakia yang tulus bahwa “Orang Thailand Budha dan Muslim sebagai saudara” adalah kemajuan utama dalam pemikiran komunitasnya menuju identifikasi bangsa Thailand yang sejati. Pada sisi yang lain, banyak agamawan Muslim yang bergabung dengan sistem Thailand membawa harapan2 terbatas dengan mereka. Pidato Rektor Isma’il Ali telah menunjukkan betapa lancar dia sekarang di-bahasa kesusasteraan Thai yang sudah menimbulkan kesulitan untuknya di-zaman mudanya. Akan tetapi ia tetap memberikan karakter kepada sistem Thailand sebagai sangat diskriminatif dan melakukan kesalahan terhadap orang Patani hingga sekarang. Ia berupaya memberikan shock terapi kepada orang Thailand liberal.
Beberapa biarawan Budha, aparat pemerintah Thailand, dan militer memahami bahwa beberapa perubahan harus dilakukan. Ini adalah segi positif dari konferensi itu yang menurut ukuran Thailand amat radikal. Akan tetapi, kita harus wait and see apakah mereka dapat menangkap persoalan secara utuh — isu penerimaan kepelbagaian agama dan bahasa, terutama untuk membuat beberapa perubahan segera sebelum Thailand Selatan mencapai satu titik tidak mungkin mengembalikan aman-damai kepada Thailand.
Penerjemah Dr. Ibnu Burdah
Pusat Studi Timur Tengah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Tiada ulasan:
Catat Ulasan