Laporan oleh: Anton Sumantri
Tidak banyak yang tahu bahwa muslim Patani pernah menjadi sebuah kerajaan Islam di daerah yang kini menjadi bagian dari Thailand. Tidak pula banyak yang tahu bahwa muslim Patani terpaksa menjadi bagian dari Thailand. Sejarah Patani yang kini tak banyak diketahui saudara sesama muslim dunia, khususnya di Asia Tenggara tak lepas dari kontribusi pemerintah Thailand.
“Sejarahnya, dahulu pada 1457, daerah Patani (sekarang menjadi Pattani) yang mayoritas adalah Melayu muslim, merupakan kerajaan Islam. Kondisi Patani tersebut sama seperti daerah tetangganya Perlis, Kelantan, dll. di daerah Malaysia Utara. Namun pada 1875 Patani diduduki Thailand. Kemudian datanglah Inggris ke semenanjung Malaka. Dalam perjanjian antara Inggris dengan Thailand, Patani menjadi bagian dari Thailand. Sedangkan Perlis dll, menjadi bagian dari jajahan Inggris (sekarang Malaysia). Muslim Patani tidak mempunyai pilihan, mereka dipaksa menjadi bagian dari kerajaan Siam (Thailand). Sejak itu terjadi pergolakan di daerah Pattani hingga sekarang, karena menurut sejarah, muslim Patani dijajah oleh kerajaan Siam,” ungkap Mr. Mahamad Ahmad (Universiti Kebangsaan Malaysia) mengawali pembicaraan.
Perbincangan mengenai muslim Patani di daerah Pattani (Thailand selatan) tersebut tertuang dalam Seminar Antar Bangsa “The Recent Development of the South Thailand: A Political Communication Perspective” dilakukan di Aula Moestopo, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Unpad kampus Jatinangor. Seminar yang dipandu oleh Dra. Siti Karlinah, M.Si., tersebut menghadirkan Mr. Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar Nik Mahmud (Institut Alam dan Tamadun Melayu, UKM), Mr. Dr. Nik Mat bin Hadji Seri (Universiti Islam Antar Bangsa), Mr. Lili Yulyadi Arnakim (Fakulti Sastera dan Sains Sosial Universiti Malaya), Mr. Mahamad Ahmad (Universiti Kebangsaan Malaysia) sebagai pembicara. Terlihat Guru Besar Fikom, Prof. Dr. Hj. Nina Syam, Pembantu Ketua Program Fikom Kampus Bandung, Dra. Hj. Kismiyati El Karimah, M.Si., dan sejumlah sivitas akademika Unpad hadir mengikuti seminar ini.
Beranjak dari sejarah tersebut, terjadi banyak sekali pergerakan untuk membebaskan Patani dari cengkeraman Thailand. Hal ini memunculkan berbagai kelompok pergerakan yang umumnya dimotori oleh ulama Patani. Namun menurut Dr. Nik Mat bin Hadji Seri, setidaknya ada 3 golongan ulama. Ulama yang pertama adalah mereka yang terjun langsung mengangkat senjata. “Di siang hari, mereka berprofesi sebagai pendidik, pengacara, pebisnis atau profesi lainnya. Namun pada malam hari mereka menenteng senjata dan terjun langsung ke medan pertempuran” jelasnya.
Ulama yang kedua adalah mereka yang pro terhadap pemerintah Thailand. Hal ini dilandasi prinsip bahwa mereka tidak merasa ditindas oleh kerajaan Siam. “Thailand menganut sistem bebas menganut agama apapun. Ritual peribadatan juga dibolehkan di sana. Kemudian tipe ulama yang ketiga adalah mereka yang berada di antara dua kelompok ulama lainnya. Mereka akan bereaksi menentang pemerintah Thailand jika terjadi pembantaian terhadap muslim. Namun mereka akan diam jika merasa tidak terjadi apa-apa,” sambungnya. Dari penelitian yang dilakukannya, Dr. Nik Mat menemukan fakta bahwa tidak ada seorangpun yang secara terang-terangan mengaku menjadi pejuang, perjuangan dilakukan secara sembunyi-sembunyi (underground).
Dr. Nik Mat juga menambahkan, ciri-ciri dari kelompok ulama pertama adalah, mereka menitikberatkan pada ajaran-ajaran (ayat-ayat) yang mengandung Jihad. Mereka juga menolak pembangunan atau rencana pembangunan dari pemerintah Thailand. Kelompok ulama ini menjunjung tinggi pejuang-pejuang revolusi dunia, salah satu contohnya adalah Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Kelompok kedua, mereka memilih bekerja sama dengan Thailand, bahkan tidak jarang menjadi kaki tangan kerajaan Siam ketika ada rencana pembangunan di Provinsi Pattani. Mereka berpendirian bahwa Islam menjunjung tinggi perdamaian, sehingga menghindari konflik dengan pemerintah. Sementara itu, kelompok ketiga berada di antara kedua kelompok sebelumnya. Mereka setuju pada kelompok pertama dan kedua, namun mereka juga menghindari konflik dengan kedua kelompok ulama lainnya.Sementara itu, Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar Nik Mahmud (Institut Alam dan Tamadun Melayu, UKM) mengatakan, selama ini terjadi banyak pertumpahan darah di bumi Patani, namun tidak diberitakan. Hal ini tak lepas dari peran pemerintah Thailand yang mengatur laju informasi di Thailand. “Baru-baru ini pada 8 juni 2009, terjadi pembantaian terhadap muslim Patani. Mereka dibunuh ketika sedang shalat di Masjid Al-Furqon, Kampong Air Tempayan, Narathiwat, Pattani. Tentu saja tragedi berdarah ini menuai gejolak di Pattani. Rupanya informasi pembantaian ini terdengar oleh Organization of Islamic Conference (OIC) dan pihak OIC mengutuk tindak kekerasan tersebut dan meminta pemerintah Thailand untuk mengusut tuntas kasus ini.” paparnya.
Lili Yulyadi Arnakim (Fakulti Sastera dan Sains Sosial Universiti Malaya) mengatakan, dari penelitian yang dilakukannya mengenai persepsi masyarakat muslim terhadap konflik di Thailand selatan itu menunjukkan hasil yang mencengangkan. “Hampir 70% responden tidak tahu adanya konflik di Pattani. Padahal responden saya dari kalangan mahasiswa, akademisi, birokrat dan peneliti. Sedangkan 30% yang mengaku tahu adanya masalah di Pattani, menganggap bahwa hal itu adalah masalah internal negara tersebut. Malaysia sendiri tahu, namun mereka tidak membantu” ujarnya. Hal ini sangatlah kontras jika dibandingkan dengan perhatian muslim dunia untuk membebaskan tanah Palestina. Menurutnya, dampak dari konflik yang terjadi di Pattani tersebut mengakibatkan gelombang pengungsi yang tidak sedikit. Di Trengganu, Malaysia juga terdapat lebih dari 20.000 orang pengungsi Melayu dari Thailand selatan. Selain itu terdapat 50-100.000 jiwa yang diketahui mempunyai kartu identitas ganda, Malaysia dan Thailand. Di Pattani sendiri kerukunan antar agama menjadi sangat jarang terlihat. Seperti yang dicontohkan Lili bahwa dahulu, muslim Patani sering memberikan makanan kepada para Biksu. Namun kini hal itu tidak terjadi.
Menurut Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar, satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan di Patani adalah dengan mengadakan jajak pendapat atau pemungutan suara. “Self-Determination atau pemungutan suara harus dilakukan, namun perlu adanya pihak ketiga yang memprakarsai hal ini. Selama ini belum ada pihak ketiga yang mengambil jalan tengah itu karena informasi yang berhasil keluar mengenai keadaan muslim Patani sangat terbatas. Pemungutan suara akan memunculkan keinginan murni dari muslim Patani mengenai nasib dan masa depan mereka” jelasnya. (eh)*
الثورة الفطانية + الثورة السورية ......= الثورة المباركة الله أكبر
Tiada ulasan:
Catat Ulasan