Pihak Thailand mempercayai bahwa perundingan ini tidak akan mungkin mendorong adanya pemberian kemerdekaan terhadap Pejuang Kemerdekaan Patani, karena pada dasarnya Jusuf Kalla selama ini pro terhadap otonomi daerah dan kontra terhadap tuntutan merdeka pihak Pejuang Kemerdekaan Patani. Namun, pihak Pejuang Kemerdekaan Patani percaya bahwa kesamaan identity Kemalayuan dan KeIslaman (antara Pejuang Patani dan mediator) akan menjadi pertimbangan mediator untuk tidak meninggalkan kepentingan umat Melayu Muslim di Selatan Thailand.
Pembicaraan damai antara Pemerintah kolonial Thailand dan Pejuang Kemerdekaan Patani Thailand Selatan bukanlah hal baru. Pembicaraan damai telah dirintis oleh pemerintah Thailand pada Pejuang Kemerdekaan Patani sudah dimulai pada era tahun 1980-an. Namun Pembicaraan damai dengan pihak Pejuang Kemerdekaan Patani selalu dirahasiakan pada publik oleh Pemerintah Thailand. Pemerintah Thailand beberapa kali mengunjungi beberapa negara-negara di Timur Tengah yang ditempati elit-elit Pejuang Kemerdekaan Patani Thailand Selatan untuk melakukan pembicaraan damai. Pertemuan tersebut bisa dikatakan cukup efektif, karena pihak Pejuang Kemerdekaan Patani akhirnya mau meletakan senjata pada pemerintah Thailand.
Pada priode tahun
1980-an merupakan priode di mana Thailand mengalami sebuah fase yang
paling baik dalam bidang politiknya, fase ini dikenal sebagai fase
“Demokrasi ala Thailand”. Dalam fase ini Pemerintah Thailand gencar
melakukan program-program pembangunan di Thailand Selatan. Harapan damai
saat itu dirintis oleh Pemerintah Thailand dengan membangun iklim
politik yang stabil berdasarkan dengan penetapan langkah-langkah
pembangunan administratif, pendidikan dan ekonomi di Thailand Selatan.
Pada priode tersebut
pemerintahan Thailand dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Jenderal Prem
Tinsulanonda (1980-1988) menerapkan konsep karnmeang nam karntahan (politik
memimpin militer) dan menjadikan konsep tersebut sebagai landasan
kestabilan negara. Penerapan konsep Prem tersebut bisa dilihat dalam
Undang-Undang No. 1 66/23 yang kemudian dikenal dengan sebutan 66/23.
Tak
hanya melahirkan UU 66/23 Pemerintahan Pram juga melahirkan peraturan
pemerintah No. 751/24 yang dikenal dengan sebutan peraturan Nayobay Thai Romyen (undang-undang aman damai). Dua
undang-undang tersebut menjadi dua dasar kebijakan dalam meredam
gerakan Pejuang Kemerdekaan Patani di Thailand Selatan. Undang-undang tersebut secara
tersirat menunjukan adanya perubahan persepsi pemerintah Thailand yang
awalnya menganggap Pejuang Kemerdekaan Patani di Thailand Selatan sebagai lawan dengan
adanya UU ini justru mereka lebih melihatkan sikap yang lebih
akomodatif.
Pada era kepemimpinan
Perdana Menteri Thaksin Shinawarta (2001-2006) kondisi damai di
Thailand Selatan dirusak dengan kebijakan pembubaran SBPAC (Southern Borders Provinces Administrative Centre) dan
memilih menggunakan senjata untuk menumpas gerakan Pejuang Kemerdekaan Patani di
Thailand Selatan. Baru setelah lima tahun Thanksin memimpin, pembicaraan
damai dengan Pejuang Kemerdekaan Patani di Thailand Selatan pun dirintis olehnya.
Pembicaraan damai tersebut dilakukannya di penghujung tahun 2005 di
Langkawi-Malaysia, akan tetapi pembicaraan ini harus gagal karena
situasi politik Thailand yang mengharuskan Thaksin mundur dari
jabatannya karena kasus korupsi.
Pasca
dikudetanya Thaksin, mantan kepala militer dan anggota Dewan Penasihat
Raja, Jenderal Surayud Chulanont diangkat menjadi Perdana Menteri
Sementara (2006-2008). Pada era kepemimpinan Surayud, jalan damai dengan Pejuang Kemerdekaan Patani Thailand Selatan kembali dibangun. Surayud secara
langsung meminta maaf pada rakyat di Thailand Selatan atas kekejaman
masa lalu yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat di Thailand
Selatan. Surayud pun melakukan permohonan rekonsiliasi pada masyarakat
Thailand Selatan. Permintaan maaf dan rekonsiliasi tersebut disambut
dengan baik oleh rakyat di Thailand Selatan, tetapi justru ditanggapi
secara dingin oleh birokrat Thailand dan masyarakat Melayu di Selatan secara
umum. Minimnya
dukungan internal dalam rekonsiliasi dengan rakyat Thailand Selatan
ditambah banyaknya persoalan internal pasca kudeta membuat pembicaraan
damai menjadi tidak efektif.
Pada era pemerintahan
Perdana Menteri Samak Sundaravej (2008), Thailand sedang dalam masa
yang tidak menentu di bidang politik. Thailand sedang dilanda
instabilitas politik dengan bermunculannya demonstrasi-demonstrasi
besar. Situasi domestik di Thailand yang tidak menentu tidak membuat
Perdana Menteri Samak Sundaravej jera untuk merajut jalan damai dengan Pejuang Kemerdekaan Patani di Thailand Selatan. Perdana Menteri Samak Sundaravej
kemudian memberi lampu hijau pada Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla
untuk memediasi pertemuan antara delegasi militer Thailand dengan
pemimpin Pejuang Kemerdekaan Patani.
Perundingan Damai di Istana Bogor
Perundingan damai
antara Pemerintah Thailand dengan tokoh-tokoh Pejuang Kemerdekaan Patani
di Istana Bogor berlangsung selama dua hari (20-21 September 2008) dan
mengalami hasil yang positif. Hasil positif disini menyangkut
komitmen-komitmen kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik. Hasil
positif perundingan yang dimediatori oleh Jusuf Kalla ini sayang harus
kandas ditengah jalan akibat statement-statement yang dikeluarkan oleh
Juru Bicara Kepresidenan Urusan Luar Negeri yaitu Dino Pati Jalal pada
media-media, baik media nasional maupun media internasional.
Perundingan yang
dipimpin Jusuf Kalla ini awalnya berlangsung dengan baik, pihak-pihak
yang bertikai berunding dengan membicarakan persoalan-persoalan yang
selama ini menyebabkan konflik berkepanjangan di Thailand Selatan. Sikap
netral yang ditunjukan Jusuf Kalla membuat kedua belah pihak merasa
nyaman dan mereka mudah menyesuaikan diri dalam perundingan.
Penulis menilai ada
dua alasan yang menyebabkan pihak-pihak yang bertikai merasa nyaman
dalam merundingkan masalah-masalah dasar yang menyebabkan mereka
berkonflik selama ini. Pertama, dari pihak Thailand mempercayai bahwa
perundingan ini tidak akan mungkin mendorong adanya pemberian
kemerdekaan terhadap Pejuang Kemerdekaan Patani, karena pada dasarnya Jusuf Kalla
selama ini pro terhadap otonomi daerah dan kontra terhadap tuntutan
merdeka pihak Pejuang Kemerdekaan Patani. Kedua, pihak Pejuang Kemerdekaan Patani percaya bahwa kesamaan
identity Kemalayuan dan KeIslaman (antara Pejuang Patani dan mediator) akan menjadi
pertimbangan mediator untuk tidak meninggalkan kepentingan umat Melayu Muslim
di Selatan Thailand.
Pada hari pertama
perundingan belum ada media nasional yang datang untuk meliput
perundingan. Akan tetapi ada satu kamera di depan Istana Bogor yang
memperhatikan jalannya perundingan. Menurut kabar yang ada, satu kamera
tersebut merupakan kamera dari media asing. Baru pada hari kedua
perundingan, media-media nasional mulai berbondong-bondong datang ke
tempat perundingan. Kecurigaan bocornya informasi bahwa ada perundingan
di Istana Bogor pada media nasional itu dari media asing yang pada hari
pertama sudah memata-matai perundingan dari luar Istana.
Pada
saat media datang meliput perundingan, Jusuf Kalla sempat bertanya pada
pihak-pihak yang berunding apakah mereka ingin bicara pada pers.
Pihak-pihak yang berunding pun menyatakan keberatan untuk bicara pada
pers. Jusuf
Kalla pun enggan mengomentari isi perundingan pada wartawan yang datang
mencari informasi terkait perundingan. Saat ditanya oleh pers terkait
perudingan, Jusuf Kalla hanya mengomentari hal-hal normatif terkait
teknis dan kondisi perundingan tanpa mengomentari isi perundingan.
Hal mengejutkan
justru terjadi setelah perundingan berlangsung, Juru Bicara Presiden
Urusan Luar Negeri Dino Patti Djalal berbicara pada media terkait
perundingan di Istana Negara. Secara mengejutkan Dino memberitahu media
isi perundingan tersebut pada media. Menurut Dino, ada tiga kesepakatan
penting yang lahir dari perundingan tersebut. Pertama, kedua belah pihak
yang berkonflik sepakat akan menyelesaikan konflik dalam koridor
konstitusi Thailand. Kedua, kedua belah pihak sepakat untuk menjaga
keutuhan integritas wilayah Thailand. Ketiga, kedua belah pihak yang
berkonflik siap melanjutkan perundingan ronde kedua yang akan
berlangsung pada pertengahan November di Istana Bogor.
Pernyataan Dino Patti
Djalal tersebut sontak mengagetkan banyak pihak, baik pihak yang
berunding maupun Jusuf Kalla sebagai mediator. Pihak Kementerian Luar
Negeri Thailand langsung merespon pernyataan Dino Patti Djalal terkait
perundingan di Istana Bogor dengan mengatakan Pemerintah Thailand
membantah terlibat dalam perundingan damai yang dilakukan di Istana
Bogor. Dengan tegas Pemerintah Thailand membantah bahwa mereka telah
meminta pertolongan Indonesia untuk menyelesaikan konflik internal
mereka.
Pernyataan keras
Kementerian Luar Negeri Thailand bahwa perundingan di Istana Bogor
adalah ilegal dibantah oleh Jusuf Kalla. Jusuf Kalla menyatakan bahwa
perundingan ini adalah legal, karena delegasi Pemerintah Thailand yang
ikut berunding di Bogor memiliki mandat dari Pemerintah Thailand. Bahkan
Duta Besar Thailand untuk Indonesia sempat datang ke kantor Wakil
Presiden beberapa saat sebelum perundingan berlangsung.
Mandat
tersebut diberikan langsung oleh Perdana Menteri Samak Sundaravej yang
memberi lampu hijau pada Jusuf Kalla untuk memediasi konflik Thailand
Selatan. Jusuf
Kalla justru mengkritik pernyataan Kementerian Luar Negeri Thailand
yang memberi pernyataan yang tidak perlu tersebut, menurut Jusuf Kalla
konflik yang dimediasinya merupakan konflik internal Thailand jadi jika
Deplu Thailand ikut bersuara terkait hal ini justru akan terkesan
menjadikan isu menjadi masalah luar negeri.
Gagalnya Proses Mediasi
Pernyataan Dino Patti
Djalal di media membuat kecewa Jusuf Kalla sebagai mediator perundingan
damai ini. Pernyataan Dino Patti Jalal jelas berdampak pada bubarnya
perundingan damai yang dirintis oleh Jusuf Kalla. Jusuf Kalla pada itu
menjelaskan pada media bahwa pernyataan Dino itu merupakan pelanggaran
pada etika mediasi dan dirinya tidak pernah mengintruksikan Dino untuk
membeberkan isi perundingan pada media.
Jusuf Kalla sangat sadar pada prinsip mediasi di mana pihak ketiga merupakan pihak yang menjadi bridging trust atau jembatan perundingan dimana secara etika tidak boleh membocorkan isi perundingan. Hal ini sesuai dengan teori “prinsip mediasi” yang dipaparkan oleh Ruth Charlton bahwa mediator harus menjujung tinggi prinsip confidentiality (kerahasiaan) di mana segala sesuatu yang terjadi di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan disputants (pihak-pihak yang bertikai) bersifat rahasia dan tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak.
Penulis
beranggapan bahwa bocornya isi perundingan ke telinga Dino Patti Jalal
merupakan bentuk kelalaian Jusuf Kalla dalam menjaga dokumentasi isi
perundingan. Meski di sebuah media Jusuf Kalla mengklarifikasi bahwa recording (merekam
pembicaraaan dalam perundingan) diperkenankan untuk kepentingan
dokumentasi sehingga jika berhasil semua pihak bisa mengetahuinya dari
awal sebagai pelajaran, bukan untuk dipublikasikan. Akan
tetapi disini terdapat kecerobohan Jusuf Kalla yang tidak memprediksi
faktor lain yang bisa menjadi hambatan proses mediasi, khususnya
kebocoran isi perundingan itu sendiri.
Bocornya isi
perundingan pada media berdampak fatal bagi situasi dalam negeri
Thailand sendiri. Pasalnya, di Thailand Selatan sendiri pihak Pejuang Kemerdekaan Patani terdiri dari banyak faksi dan tidak semua faksi diikutkan
dalam proses perundingan ini. Ketika perundingan ini bocor faksi-faksi
yang tidak dilibatkan tersebut memprotes perundingan. Di sisi lain
pemerintah Thailand juga khawatir jika bocornya isi perundingan ke
media-media akan berdampak pada pengakuan mereka terhadap kelompok
pemberontak di mata dunia internasional. Untuk itu, pemerintah Thailand
tidak mengakui adanya perundingan damai di Istana Bogor dan sangat
menyayangkan bocornya perundingan tersebut.
Gagalnya perundingan damai yang dimediasi oleh Jusuf Kalla merupakan sebuah bentuk hilangnya entry point sebagai pihak ketiga. Hilangnya entry point yang
dimaksud disini terkait dengan hilangnya legitimasi yang didapatkan
oleh Jusuf Kalla dari Pemerintah Thailand. Sangat jelas bahwa hilangnya
legitimasi ini merupakan akibat hilangnya trust pemerintah Thailand pasca pernyataan Dino Patti Jalal di media. Tanpa adanya entry point tersebut
tentu Jusuf Kalla tidak bisa melanjutkan kembali agenda perundingan
selanjutnya. Dengan kata lain mediasi yang dilakukan oleh Jusuf Kalla
dalam penyelesaian konflik Thailand Selatan dinyatakan gagal.
Meskipun gagal, Jusuf
Kalla sempat mencoba untuk menawarkan kembali perundingan lanjutan pada
pihak Pemerintah Thailand. Akan tetapi upaya tersebut tidak membuahkan
hasil, pemerintah Thailand sudah tidak mau lagi melanjutkan perundingan.
Dari pihak Pejuang Kemerdekaan Patani Selatan Thailand sendiri pun sudah tidak
mau melanjutkan perundingan, karena pasca pernyataan Dino Patti Djalal
di media, faksi-faksi pejuang Patani di Thailand Selatan yang tidak diajak
berunding di Istana Bogor ramai memprotes mereka yang ikut berunding.
Terkait prilaku
pembeberkan isi perundingan di media oleh Dino Patti Djalal, ada
kemungkinan hal ini dimanfaatkan menjadi komoditas politik menjelang
pemilihan presiden 2009. Hal ini sempat dijelaskan dalam publikasi yang
dilakukan oleh Friedrich Nauman Stiftung (FNS) terkait
perundingan damai Thailand di Istana Bogor yang dimediasi oleh Jusuf
Kalla. FNS menyatakan bahwa ada kritikan bahwa perundingan ini
merupakan bagian dari kampanye dari beberapa politisi lokal untuk
meningkatkan profil mereka menjelang pemilihan umum atau ini merupakan public booster image.
Kegagalan perundingan
di Bogor tidak adil jika sepenuhnya menyalahkan kinerja Jusuf Kalla dan
tim. Memang betul berhentinya perundingan ini akibat adanya kebocoran
informasi di media, akan tetapi perlu dikaji kembali faktor lain yang
ikut menghambat perundingan damai tersebut. Faktor lain yang dimaksud
disini sempat dijelaskan oleh International Crisis Group (organisasi think-thank yang bermarkas di Brussel) sebelum terjadinya perundingan di Istana Bogor.
ICG menyatakan akan
sulit bagi Pemerintah Thailand untuk menerapkan pengalaman perdamaian di
Aceh sebagai model karena perbedaan antara kedua kasus. Perbedaan
mendasar adalah bahwa Pemerintah Thailand masih tidak yakin apakah para
pihak dalam pembicaraan yang akan dimediasi oleh Jusuf Kalla merupakan
perwakilan otoritatif pihak pejuang. Berbeda dengan kasus Aceh
dimana pasca Tsunami, Pemerintah Indonesia tahu siapa-siapa saja harus
berurusan dari mulai komandan pejuang di lapangan maupun elit mereka
di luar negeri, sehingga ini memudahkan mereka bernegosiasi.
Ketidakjelasan status
para wakil Pejuang yang akan dibawa untuk berunding nanti menjadi
fokus kritik dari ICG, karena mereka beranggapan bahwa hal ini sangat
krusial yang akan menjadi tolak ukur hasil perundingan nantinya. ICG
menjelaskan bahwa Pejuang Kemerdekaan Patani di Selatan Thailand sudah mengalami
desentralisasi gerakan yang mengakibatkan sulitnya mendeteksi
siapa-siapa atau kelompok-kelompok mana yang memiliki pengaruh secara
langsung terhadap proses perdamaian.
Dede Kurniawan, Mahasiswa University Paramadina