Disusun Oleh: Patani Fakta dan Opini
Pibul Songkram yang sangat digambarkan sebagai seorang pemimpin yang sangat “nationalistic” krismatik dari sebuah kelompak yang militaristic dalam lingkungan pimpinan nasional Thai dalam priode pasca-revolusi 1932. Bahwa Pibul benar-benar orang yang paling berkuasa dalam kedudukannya sebagai perdana menteri. Ia berhasil memaksa parlemen yang terpesona untuk memberikan kepadanya jabatan-jabatan Menteri Pertahanan, Dalam Negeri, Luar Negeri dan Pendidikan. Di samping itu, ia memegang jabatan Panglima Besar Angkatan Darat, Panglima Khusus Angkatan Laut, Pangliama Khusus Angkatan Udara, selain Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Sementara itu, Pibul tidak sekedar menempuh suatu politik diskriminasi keagamaan semata-semata terhadap golongan minority Melayu. Kebijakannya memang teridiri dari tindakan penindasan yang bertujuan untuk manghapus identiti golongan Melayu Islam Patani (Surin Pitsuwan, 1989, 68, 69,71,72).
Politik nationalist yang ditempuh oleh Pibul begitu menyeluruh, sehingga berbagai aspek kehidupan rakyat sehari-hari sekalipun, tidak lolos dari pengaruhnya. Orang Melayu tidak diperkenakan lagi mengenakan pakaian tradisionalnya, tidak boleh memakai nama Melayu-Arab dan mengunakan bahasa mereka sendiri.
Mengingat kebijakan semacam itu yang dijalankan oleh pemerintahan pusat, tidak mengherankan bila pemimpin tanpa kekuatan perlawanan Patani. Namun, hal itu ditambah dengan pendekatan persoalan yang tidak mau mengerti budaya dan aspirasi warga setempat. Muslim selatan itu tidak mau menghilangkan identity mereka, yang di sisi lain justru dipandang pemerintah pusat penting demi sebuah Thailand yang utuh.
Orang Siam mencoba sekuat tenaga untuk menyingkirkan agama Islam dari negeri ini, mencoba memaksa orang Melayu untuk menyembah Buddha. Mereka memerintah orang Melayu berpakaian seperti orang Siam—laki-laki mengenakan pants panjang, dan tidak peduli Haji atau Lebai, harus mengenakan topi helm atau topi Eropa untuk mengganti turban; sedangkan perempuan harus mengenakan rok atau gaun. Orang yang mengabaikan perturan-peraturan ini dihukum dengan cara bermacam-macam; mereka dihina dengan sepakan-sepakan kaki, dan sebagainya, perempuan dipaksa menanggalkan pakaian Melayunya dan dilarang melaporkan kepada pihak berwenang untuk mendapat keadilan tetapi harus berpakaian seperti diperintahkan (Masri Maris, 2005, 214).
Pibul juga menciptakan sebuah konsep yang meresahkan mengenai negara racist: negara untuk ras Thai (Thai Rathaniyum). Hanya ciri-ciri kebudayaan rakyat Thai di daerah pusat sajalah yang akan diizinkan dan bahkan dikembangkan. Golongan-golongan minority harus tunduk kepada norma-norma Thai. Nama negara itu diubah dari nama Siam diubah menjadi “Negeri Thai” (Thailand dengan tekanan pada Thai) dalam bulan Juni 1939. Gerakan ini dinamakan “Pan Thai” atau “Thai Raya” (Surin Pitsuwan, Op.Cit. 69).
Pada tahun 1961, Bangkok mendorong pelaksanaan pendekatan policy yang berdasarkan ‘Transmingrasi Policy ’ untuk merangsang migrasi penganut Buddha Thai ke Selatan yang bertempatan di daerah-daerah (Patani) itu dalam upaya untuk ‘membenahi kepincangan perimbangan antara penduduk Buddha Thai dan Muslim Malayu di Selatan Thailand.
Menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra bahwa pemerintah pusat Bangkok memonolitisme budaya Thai dengan mengorbankan budaya Melayu Muslim. Sejak 1970-an Pemerintah Thailand melakukan “Siamisasi” dengan mewajibkan orang-orang Muslim Patani menggunakan nama dan bahasa Thai (Azyumardi Azra, “Pondok Patani”, Republika, 2 Febuary 2006). Dengan bahasa Siam menjadi bahasa kebangsaan di kawasan Selatan dan di sekolah-sekolah merupakan bahasa resmi, juga tulisan Arab Melayu digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa.
Sebagian orang Melayu Islam di Selatan Thailand menganggap hal itu sebagai pemaksaan kehendak majority Budha terhadap mereka minority yang berugama islam dan berbangsa Melayu.
Pibul Songkram |
Sumbur: http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=158861134137275
Tiada ulasan:
Catat Ulasan