Selasa, 28 September 2010

Peringatan 6 Tahun Tragedi Tak Bai di Narathiwat, Thailand Selatan Ke-2

Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (2)
Disusun Oleh: Ben  (Sekedar Pemerhati konflik di Thailand Selatan) 


A. Faktor dan Peristiwa
Leletaknya Thailand Selatan sangat strategis dari sisi geopolitics. Berbatasan dengan Malaysia dan di mulut Selat Malaka. Dari perairan Thailand Selatan dapat dimonitor kapal-kapal yang berlayar dari Laut China Selatan menuju Selat Malaka.

Tak Bai, kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar 1.300 kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia
Peta Provinsi Narathiwat
 internasional setelah terjadi pembantaian pengunjuk rasa pada 25 Oktober 2004 bersamaan dalam bulan puasa Ramadhon. Jalan menuju Tak Bai hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai yang penting bagi lalu lintas perahu motor yang menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian Kelantan di Malaysia. Sebagian dari sekitar 10.000 penduduk Tak Bai yang majority muslim memburuh di Malaysia. Sebagian lagi bekerja sebagai nelayan, petani, pengojek, dan membuka warung. Denyut kehidupan ekonomi di sini jauh dari gemuruh sektor modern di Bangkok.

Semenjak kajatuhan Patani ketangan Kerajaan Siam (Thailand), orang-orang Melayu di Thailand Selatan menaruh dendam kesumat berkenaan dengan apa yang mereka anggap sebagai penggabungan secara paksa tanah air mereka dengan negara Thailand yang Buddhis dan berbahasa Thai. Bahwa orang-orang Melayu itu telah memberi reaction dengan berbagai cara, mulai dari protes sampai kepada perjuangan bersenjata (Surin Pitsuwan, 1989, 170)

Ketidakadilan yang dirasakan warga muslim inilah yang kerap memicu pertikaian dengan tentara pemerintah. Dan tindak kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan, menjadi tantangan bagi unsur politik dan sosial sebuah negara yang hendak menjaga kerukunan etnik warganya.

Muncul peristiwa Tak Bai sangat menjadi perhatian masyarakat internasional karena cara pembantaian yang dilakukan militer sangat mengerikan. Kebrutalan tentara Thailand menghadapi para demonstran Muslim bukan suatu yang salah prosedur, tetapi lebih merupakan simtom atau suatu perubahan dengan keadaan khusus kondisi masyarakat yang menunjukkan tanda-tanda adanya suatu penyakit dari sebuah bawah sadar bahwa kelompok Muslim Patani adalah musuh yang harus dibasmi. Demonstrasi hanya sekedar picu, bukan sebab utamanya, karena itu tanpa ada demonstrasi, pasukan Thailand akan berbuat kekarasan dengan alasan apapun. Bahkan demonstrasi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama bertahun-tahun.

Bahwa peristiwa di desa kecil ini (Tak Bai) bermula ketika 6 anggota Pertahanan Sipil (HANSIP) diantaranya termasuk empat orang ustaz dengan tuduhan menyerahkan senjata kepada kelompok pejuang Patani. Masyarakat yang tahu duduk perkaranya menuntut pembebasan keenam warga. Mereka mengatakan senjata anggota HANSIP itu memang benar-benar hilang dicuri orang. Aparat keamanan membantah keterangan masyarakat tersebut.

Menurut catatan setidaknya 10 senapan pemerintah dicuri dari para HANSIP dan penjaga keamanan di Patani. Sebuah serangan lain yang dilancarkan ke sebuah markas militer awal Januari 2004 yang mengakibatkan tewasnya empat tentara dan dirampoknya 414 pucuk senjata (Kompas, 13 November 2004)

Serangan-serangan itu bisa dipandang serius dari segi keamanan pada umumnya di wilayah Thailand Selatan yang majority penduduknya adalah muslim. Luasnya pembakaran sekolah serta dalam serangan-serangan terhadap gudang militer memberi kesan bahwa hal itu dilakukan oleh kelompok terorganisir. Di samping itu, juga terdapat sejumlah bukti adanya latihan militer dalam aksi-aksi itu.  Apabila mengamati insiden yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan, maka gelombang serangan terakhir ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Dari sisi itu, maka serangan terakhir ini tidaklah baru. Belum ada serangan besar lainnya di Asia Tenggara. Sejumlah kalangan mencoba menginternasionalisasikan masalah ini tanpa adanya bukti yang kuat. Memang serangan-serangan itu memiliki dimensi lokal dan internasional.

Bentrokan dalam demontrasi terjadi pada 25 Oktober 2004, sekitar 2.000-3.000  Muslim di Tak Bai melakukan aksi demonstrasi di depan
 kantor polisi setempat. Demontrasi tersebut munculnya akibat penangkapan enam warga Muslim yang dituduh menyuplai persenjataan kepada para gerilyawan di wilayah selatan Thailand yang penduduknya mayoritas Muslim. Pada awal, petugas keamanan yang terdiri atas polisi dan tentara mencoba membubarkan para demonstran yang terus berteriak-teriak. Namun, mereka bukannya membubarkan diri. Malah, jumlah para  demonstran bertambah banyak.

Aparat pun kehilangan kesabaran dan mulai menembaki para demonstran dengan gas air mata, senjata api, dan senjata air. Militer Thailand juga menangkapi para demonstran dan memasukkannya ke dalam enam truk yang sudah disiapkan untuk dibawa ke kamp militer Inkayuth Bariharn, Pattani (www.icmi.org, http://www.icmi.or.id/ind/content/view/83/60/)

Peristiwa Tak Bai secara jelas menunjukkan aparat militer dan polisi menghajar  pengunjuk rasa dengan popor senjata, pukulan, dan
 tendangan. Kemudian para pengunjuk rasa dipaksa merangkak di jalan asphalt dengan bercelana kolor, Dan mereka dipaksa berkumpul dengan merangkak tanpa baju, di atas tanah berlumpur dengan kawalan ketat tentara. Darah mengucur di mana-mana, tetapi tidak mengurangi kebengisan aparat keamanan. Mereka juga menganiaya ibu-ibu dan anak-anak yang ditangkap dan dikumpulkan di kantor polisi Tak Bai. Dalam kondisi terikat dan berpuasa, tubuh-tubuh mereka dilemparkan ke atas truk militer, usai demonstrasi yang digagalkan aparat. Lelah dan siksa mengantarkan mereka menjemput maut.

Saksi mata mengatakan puluhan orang tewas di tempat setelah aparat keamanan mulai menembaki pengunjuk rasa, dan hingga sekarang
lebih dari 60 warga belum kembali ke rumah. Mereka lenyap dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, di Teluk Nangka, warga mengatakan 22 jasad pengunjuk rasa dikubur aparat militer di desa itu dan 38 warga yang cedera dilempar ke Sungai Nara (Maruli Tobing , Kompas,  20 Desember 2004).

Pada awalnya, angka korban dilaporkan hanya 6 orang, kemudian meningkat dengan mendadak kepada 84 orang. Menurut penduduk
 tempatan jumlah korban sebenar melebihi daripada 100 orang. Statistik yang diberikan oleh seorang pemerhatian bebas menjelaskan bahwa 6 orang mati serta merta terkena tembakan, 78 orang mati di hospital, 35 mayat ditemui terapung di dalam sungai dan 1298 orang mengalami kecederaan.

Tentara dan polisi juga melontarkan tembakan dan menyemprotkan air serta melemparkan ‘granat-granat’ gas air mata ke arah pengunjuk
 rasa (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2004). Kebanyakan para korban mati lemas dan beberapa di antaranya mengalami patah tulang leher (Pikiran Rakyat, 28 Oktober 2004).

Sekitar 1.300 pengunjuk rasa diangkut dengan enam truk dengan tangan terikat ke belakang. Para tawanan itu bertindihan hingga lima lapis. Tidak cukup hanya itu, truk ditutup lagi dengan terpal selama perjalanan 5,5 jam menuju Markas Komando Militer IV Wilayah Selatan (Maruli Tobing , Op.Cit).

Pembataian di Tak Bai hanyalah salah satu peristiwa yang dialami masyarakat Muslim. Sebelumnya, 28 April 2004 telah 113 pemuda dan remaja muslim tewas dibantai aparat militer dan polisi karena mencoba menyerang pos-pos keamanan dengan menggunakan senjata tajam.

Munurut wartwan Kompas Maruli Tobing, dari Narthiwat, Thailand Selatan menginvestigasikan bahwa:

Dalam peristiwa yang mirip ‘amok’ tersebut, sebanyak 34 remaja dan pemuda yang berlindung di Masjid Kre Se, Pattani, ikut terbunuh.Dalam kekerasan ini pasukan Thailand juga diperkirakan telah bertindak berlebihan terhadap 113 pemuda Muslim yang tewas. Sekelompok anak muda bersenjatakan parang dihadapi dengan persenjataan berat karena diduga akan menyerang kantor polisi (Maruli Tobing, Op.Cit.).

 Masjid tua peninggalan abad ke-17 ini hancur karena aparat keamanan menembakinya sejak pukul 05.00 pagi hingga 14.10 petang. Ny Sema dan warga lain mengaku menyaksikan helikopter meraung-raung sambil melepaskan tembakan di atas masjid seluas 20 x 25 meter itu. Sementara kendaraan lapis baja menutup rapat jalan masuk dan keluar. Lebih dari 100 anggota militer dan polisi ikut menembaki masjid bersejarah itu.

Peristiwa di Masjid Kre Se dan Tak Bai merupakan cermin bahwa hukum telah mati suri di wilayah selatan. Tetapi ini bukanlah fenomena baru. sejak lama Thailand Selatan mirip daerah tidak bertuan. Di sini yang berlaku hanyalah hukum rimba.

Seperti dikemukakan seorang warga Jerman yang ditemui Kompas di Narathiwat, “keadaannya hampir sama seperti 35 tahun silam”. Warga Jerman ini pernah menjadi pekerja sosial di bidang konstruksi di Thailand selatan tahun 1970-an (Ibid).

Peristiwa Tak Bai bisa dikatakan sebagai puncak kekerasan yang ditempuh pemerintahan Thailand dan sekaligus menjadi titik balik bagi perjalanan sejarah umat Islam di Thailand Selatan. Rentetan kekerasan sebelumnya juga sudah menewaskan puluhan warga Muslim. Yang terbesar adalah penyerangan ke Masjid Krue Se, April tahun 2004, yang menewaskan 113 orang Melayu Muslim.

Wali Kota Pattani Panya Kittikul, mengungkapkan, para relawan anggota regu pengamanan desa dan Pertahanan Sipil HANSIP di provinsi itu sudah mulai menyerahkan kembali senjata inventory yang sebelumnya dibagikan pemerintah kepada mereka. Alasan pengembalian adalah untuk menjaga agar senjata-senjata itu tidak sampai jatuh ke tangan kaum geriliyawan. Demi keselamatan mereka sendiri, mereka menyatakan ingin menyimpan saja senjata itu di kantor distrik (Kompas, 13 November 2004). Alasannya yang lain, pengembalian senjata itu membuat mereka lebih merasa aman bagi dirinya baik dari perompakan sejata dari geriliya maupun tuduhan pemerintahan terhadap mereka dengan mengatakan mereka bersekongkol sama geriliyawan dengan menyerahkan senjata kepada Pejuang Patani.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Thailand mendistribusikan lebih dari 4.000 pucuk rifle dan amunisi dalam jumlah besar kepada para relawan pertahanan sipil, kepala desa, dan para penjaga keamanan di provinsi-provinsi selatan yang dekat dengan Malaysia. Namun, banyak di antara senjata-senjata itu yang dicuri oleh para gerilyawan Patani.


B. Sikap Pemerintah Thailand dan Kritikan Dunia Internasional

Unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan dan tewasnya sekitar 84 warga muslim Thailand (Siam) di Provinsi Narathiwat, Thailand Selatan, cukup memprihatinkan dan setidaknya pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat telah menyampaikan duka mereka dan berharap pemerintah Thailand di bawah Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dapat menyelesaikan masalah ini dengan lebih bijak dan tanpa kekerasan.

Setakat ini respons kerajaan Thai keatas dunia internasional adalah sangat bersikap keras. Para diplomat internasional kurang memuas atas laporan Menteri Luar Negeri Thailand daripada penjelasan itu. Adanya sesetengah diplomat Barat inginkan penjelasan pristiwa ini lebih lanjut secara detil mengenai tragedi Tak Bai.

Pada pertemuan Forum Keamanan di Bejing, 4 November 2004, yang dihadiri oleh wakil-wakil pertahanan dari forum Asean, delegasi dari Indonesia bertanya kepada Menteri Luar Negeri Thailand untuk memberi keterangan mengenai situasi di Selatan, tetapi pihak Thai mengatakan ini adalah masalah domestik (www.malaysiatoday.net).

Indonesia meng-investigation-kan bahwa Juru Bicara Departmen Luar Negeri (Deplu) -Thailand Sihasak Phuangketkeow yang ditemui di sela-sela pertemuan tingkat menteri luar negeri (AMM) ASEAN di gedung International Cooperation and Training Center (ICTC) di Vientiane, mengatakan pihaknya siap membicarakan dan memberi informasi mengenai isu tersebut dengan rakan-rakan ASEAN namun dengan catatan hal itu dilakukan secara bilateral.

Thaksin Shinawatra, secara mengejutkan 25 November 2004 di Bangkok menyatakan:

“Akan memboikot KTT ASEAN jika conference tingkat tinggi itu mengungkit-ungkit masalah di Thailand Selatan. Kalau isu kekerasan di Selatan diungkit dalam KTT ASEAN, PM Thaksin akan segera kembali pulang (ke Bangkok)”.

 Pernyataan boikot itu keluar beberapa hari sebelum kepala negara/pemerintahan 10 negara ASEAN dan empat mitra dialognya, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru memulai pertemuan puncak mereka di Vientiane pada 28-30 November 2004 (Media Indonesia, 28 November 2004).

Tentunya hal ehwal dalaman, tetapi di dalam hari-hari dan minggu yang akan datang akan adanya lonjakan paradigma. Thailand mestilah berani untuk menerangkan apa yang telah terjadi di selatan dan apakah jalan penyelesaiannya. Kerajaan Thai perlu belajar beberapa perkara dari pihak Indonesia dan Malaysia mengenai isu-isu sensitif. Pada beberapa kali kedua-duanya telah mengambil inisiatif untuk memberi penerangan kepada rakan-rakan Aseannya mengenai keadaan dalaman negara yang boleh merunsingkan jiran. Indonesia memberi penjelasan kepada kumpulan tersebut mengenai situasi di Aceh secara rela hati dan selepas itu meminta kerjasama.

Menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld yang dalam kunjungan satu hari ke Thailand ketika bertemu dengan PM Thailand Thaksin Shinawatra menerima penjelasan bahwa masalah konflik di tiga provinsi selatan Thailand dengan mengadakan pembicaraan selama sekitar 30 menit dengan PM Thailand Thaksin Shinawatra. Bahwa Thailand merupakan sekutu lama AS dan menjalin hubungan militer yang dekat dengan Washington.

PM Thaksin memberikan keterangan kepada Rumsfeld tentang aksi perlawanan kelompok Islam di Selatan Thailand yang mayoritas penduduknya warga Muslim dalam aksi kekerasan tersebut, yang menurut Thaksin, murni sebagai masalah dalam negeri dan tidak ada kaitannya dengan terorisme internasional (www.k)apanlagi.com.

Rasa prihatin juga diungkapkan Pemerintah Amerika Serikat. Juru bicara Deplu AS, Edgar Vasquez, mengatakan:

“Amerika Serikat sangat menyesal berlanjutnya kekerasan berdarah di Thailand Selatan. Dari Washington mendesak pihak berwenang Thailand bertanggung jawab atas perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para tawanannya dan mendesak pemeritah Bangkok agar melakukan penyelidikan sepenuhnya atas peristiwa penangkapan 1.300 Muslim yang menyebabkan tewasnya umat Muslim itu yang berakhir dengan kematian 78 warga Muslim” (Pikiran Rakyat,  28 Oktober 2004).

Keprihatin Malaysia atas insiden yang terjadi di Thailand Selatan. PM Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi juga menawarkan bantuan apabila diperlukan untuk meredakan konflik di Thailand Selatan antara rakyat setempat dengan pihak penguasa daerah dan mengharapkan Pemerintah Thailand dapat segera mengatasi krisis tersebut. Demikian juga PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi menginstruksikan Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar untuk mencari informasi mengenai hal itu (Ibid).

Pemerintah Indonesia menyatakan berduka atas kematian 78 orang setelah terjadi unjuk rasa di Provinsi Narathiwat, Thailand dan peristiwa ini mendapat perhatian besar di dalam negeri. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Marty Natalegawa, mengatakan:

“Pemerintah Indonesia berharap dan percaya Pemerintah Thailand akan melakukan investigasi atas peristiwa ini. Proses seperti itu sangat penting, karena Indonesia tidak ingin melihat adanya lingkaran kekerasan, atau munculnya masalah baru sebagai akibat tindakan repressive Pemerintah Thailand”.

PP Muhammadiyah mengutuk keras perlakuan aparat Thailand itu. Mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, menyatakan:

“Tragedi pada Ramadhan itu harus disebutkan sebagai kejahatan kemanusiaan. Muhammadiyah mendesak Thailand agar menindak keras dan concrete aparat keamanannya yang telah melakukan pembantaian” (Ibid).

Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Shihab mengutuk terjadinya peristiwa itu. Menurutnya:

 “Thaksin harus minta maaf kepada dunia muslim. Bahwa yang terjadi di Narathiwat itu bukan kejadian tidak sengaja. Kalau ini yang pertama kali, bisa dikatakan hanya insiden, ini sudah yang ke berapa kali, ini berarti kesengajaan untuk membantai umat muslim di Thailand Selatan” (Tempo, 05 November 2004).

Usman Hamid, Coordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk tindakan authority keamanan Thailand terhadap warga Patani Thailand Selatan, dengan mengungkapkan bahwa:

“Kasus pembunuhan massal terjadi di Thailand Selatan yang menewaskan sekitar 78 warga Patani tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan juga bisa dilihat sebagai genocide. Kejahatan seperti ini masuk dalam jangkauan jurisdicy universal. Oleh karena itu, kejahatan ini harus diajukan ke Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court-ICC) guna menuntut pertanggung- jawaban criminal PM Thakshin” (www.kontras.org).

KontraS mengecam pernyataan authority Thailand yang menyatakan bahwa kematian 78 warga Thailand Selatan merupakan kebrutalan aparat keamanan. Sama sekali tidak masuk akal juga menyatakan alasan penyebab kematian adalah akibat sesak napas. Apalagi kematian itu terjadi dalam jumlah yang besar.

Kebijakan-kebijakan Thaksin dianggap kurang adil terhadap warga dan merembet memengaruhi kehidupan relation keagamaan antara penganut Islam dan penganut Buddha yang selama ini cukup baik. Bahkan, ketidakmampuan Thaksin menghentikan segera tindak kekerasan di Thailand Selatan sempat membuat “ketegangan politik baru” dan menodai kebersamaan ASEAN dalam memerangi terorisme yang segera diprotes Kuala Lumpur dan Jakarta, ketika menuduh bahwa para militan Islam di Thailand Selatan mendapat latihan dan dikendalikan dari pemimpin yang ada di Malaysia dan Indonesia (Kompas, 7 Febuari 2005).

C. Pandangan Domestic Terhadap Tragedi Tak Bai
            1. Tanggapan Pemerintah
Di tengah kecaman itu, PM Thailand Thaksin Shinawatra memperbaiki pernyataannya dengan mengatakan pasukan keamanan telah membuat kesalahan dalam mengatasi demonstrasi ribuan umat Muslim di Thailand Selatan itu. Tapi, Thaksin tetap meyakini pernyataannya semula bahwa kematian 84 warga muslim melakukan aksi demonstrasi di depan kantor (balai) polisi Tak Bai itu karena puasa.

Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, langsung meninjau lokasi kejadian didampingi Menteri Pertahanan Jenderal Sumpan Boonyanun, Menteri Dalam Negeri Bhokin Bhalakula, dan Sekretaris Perdana Menteri, Yongyut Tiyapirat. Kata PM Thaksin kepada wartawan setibanya di Pattani:

“Ini biasa seperti ini (this is typical), ini mengenai tubuh-tubuh (orang) yang dibuat lemah karena puasa. Tidak ada yang melukai mereka” (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2004).

Thaksin juga menolak minta maaf untuk tragedi ini, tapi menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban tewas (www.gatra.com). Hal demikian juga PM Thaksin mengatakan kepada Muslim Thailand:

“Bahwa saya Perdana Menteri tahu semua yang terjadi di selatan, dan Saya tidak mendukung secara absolute penyiksaan warga. Namun warga harus menuruti aturan” (Kompas, 27 Oktober 2004).

Sebagian dari pejabat pemerintahan Thailand juga menyatakan bahwa:

“Para korban tewas bukan akibat kekerasan karena tidak ada bukti kekerasan pada jasad korban”.

PM Thailand meminta pembentukan sebuah commission independent untuk meneliti sebab-sebab terjadinya tragedi Tak-Bai, dan tidak akan ada seorang pun pejabat resmi pemerintah yang akan menjadi anggota dalam komisi tersebut. Komisi ini akan menyerahkan hasil-hasil penelitiannya selama satu bulan setelah kejadian tragedi tersebut.

Bahwa PM Thaksin Sinawatra hanya memenuhi ambition politik ketika menindas minority muslim Patani, tidak berdasar semangat Budhis yang cinta damai. Thaksin juga pandai bermuka manis untuk menutupi kekuasaannya yang bertangan besi. Misalnya beberapa hari setelah peristiwa Tak Bai menyebarkan ribuan “burung kertas” dari pesawat udara untuk mengkampanyekan perdamaian di Thailand Selatan. Jutaan origami berterbangan dari sejumlah pesawat tempur di angkasa provinsi-provinsi selatan Thailand, seiring tuntasnya misi perdamaian Pasukan AU Kerajaan Thailand di wilayah tersebut. Kerajinan tangan origami berbentuk burung Merpati, yang terbuat dari kertas-kertas yang dilipat cantik dan menarik itu mengekspresikan harapan segera berakhirnya kekerasan di wilayah Thailand selatan yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Pemerintah juga mengklaim-ada sekitar 120 juta burung Merpati yang melambangkan perdamaian dan reconciliation, dibuat dari lipatan-lipatan kertas. Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, terkait dilancarkannya kampanye damai itu, mengaku telah memperoleh efek psikologis yang positif dari upayanya untuk meyakinkan warga provinsi-provinsi selatan Thailand bahwa:

 “Mereka adalah bagian dari masyarakat Thai dan pemerintah perduli terhadap mereka”. Thaksin juga mengatakan: “Akan lebih mudah saat ini bagi pemerintah untuk memulihkan perdamaian di kawasan yang diwarnai pergolakan itu”.

Dari pandangan masyarakat muslim di Selatan Thai, mungkin baik karena burung kertas berbentuk merpati itu dimaksudkan sebagai ajakan
perdamaian. Namun, bagi warga setempat yang mayoritas Muslim, hal itu bisa dipahami lain. Ribuan burung kertas yang dijatuhkan dari udara bisa dianggap sebagai pernyataan perang. Bisa merujuk pada Surat Al-Fiil dalam Alquran yang bercerita soal burung Ababil yang menjatuhkan batu dari neraka untuk memusnahkan pasukan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka'bah.

          2. Tanggapan Para Ulama dan Aktivis Islam
Anggota masyarakat Islam mengutuk langkah-langkah pasukan keamanan dalam menangani kerusuhan. Para aktivis Islam juga menuduh pasukan keamanan Thailand menggunakan taktik penanganan yang terlalu keras di wilayah selatan, termasuk menyerang masjid yang mengakibatkan 32 warga Muslim tewas dalam kerusuhan 28 April 2004.

Sejumlah tokoh dan aktivis Islam yang diwawancarai Kompas (Maruli Tobing, www.kompas.com) di Provinsi Yala dan Narathiwat berpendapat dengan mengatakan bahwa:

“Keadaan demikian sudah dirasakan rakyat di wilayah selatan Thailand sejak kerajaan Siam mencaplok kerajaan Pattani tahun 1902. Kami adalah bangsa dengan identity Melayu yang sangat berbeda dengan bangsa Siam. Ini merupakan fakta sosio-historis dan sudah ada jauh sebelum terbentuknya kerajaan Thailand”, ujarAbdul Samad.
  
“Bahwa watak kolonial pemerintah pusat terhadap rakyat di wilayah selatan, tampak kasatmata dalam penanganan unjuk rasa di Tak Bai. Manusia disusun bertindihan hingga lima lapis. Mereka memperlakukan warga turunan Melayu melebihi binatang. Hal yang mustahil mereka perbuat terhadap warga Siam, tutur seorang aktivis Islam lulusan al-Azhar, Cairo.

“Namun agar hubungan tersebut tetap tampak serasi dari luar, Pemerintah Thailand menggunakan teror terhadap warga yang mempertanyakan hak-haknya. Setiap saat warga bisa dijemput pada malam hari. Rumahnya dikepung puluhan aparat keamanan dengan tuduhan separatis Islam. Peristiwa seperti ini menimbulkan ketakutan bagi warga lainnya”, tutur seorang aktivis Islam lulusan IAIN Yogyakarta.

Demikian juga ungkapan pemimpin agama dari Desa Teluk Manak, Narathiwat, Qori Abdullah berusia 60 tahun, mengatakan:

“Permintaan maaf Thaksin tidak berarti karena beratus-ratus umat Islam telah dibunuh dengan kejam. Bahwa pada saat ini kepercayaan umat Islam terhadap kerajaan Thaksin semakin genting karena mereka keliru dengan tindakan kebrutalan aparat keamanan yang tidak berperikemanusiaan” (Zukiflee Bakar, http://www.mail-archive.com/it-kelantan@yahoogroups.com/msg00615.htm). 

          3.  Tanggapan Tokoh Akademik - Politik
Hari-hari ini, nama wilayah Patani menjadi bahan pemberitaan hangat di surat-surat kabar, radio maupun televisi di banyak negara. Adalah insiden yang terjadi menewaskan sekitar 84 penduduk Muslim Patani membuat perhatian di dalam negeri dan macanegara sontak beralih ke kawasan di selatan Thailand tersebut.

Sebenarnya gejolak di Patani sudah berlangsung lama. Umat Muslim sebagai kaum minority di negeri Gajah Putih--dan banyak mendiami Patani, Yala dan Narathiwa--sejak lama mengeluhkan adanya diskriminasi dalam sektor bisnis, pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Kendati sudah menempati wilayah itu berabad-abad, mereka tetap mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat.
Menurut Chayan Vaddhanaphuti, tokoh antropologi dari Universitas Chiang Mai di Utara Thailand memberikan bukti bahwa:

“Pemerintah tidak harus memaksakan kebijakan yang berlaku untuk kelompok minority lainnya dapat diterima oleh warga Muslim di Thailand Selatan. Mereka mempunyai sejarah khusus dan merupakan mayority di sana. Mereka kurang mengembangkan tolerance dalam soal ini. Bahwa pejabat pemerintah dan para bureaucrat punya andil dalam membuat kegelisahan warga Muslim di negara itu yang menyinggung kepekaan budaya dan agamanya” (Republika, 5 Nopember 2004).

Beberapa tokoh akademik Thailand berpendapat bahwa pemerintah perlu membuat peraturan yang mengatur perpaduan sosial dan etnik jika Thailand ingin memelihara citranya sebagai negara yang tolerant di antara negara tetangganya seperti Myanmar, Indonesia, Malaysia bahkan Filipina. Memang sejauh ini tidak terjadi kerusuhan antar etnik di Thailand, namun terjadi sejumlah kasus yang mirip kerusahan antar suku.

Direktur Pusat Informasi Perdamaian di Universitas Thammasat di Bangkok Chaiwat Sath-Anand, mengatakan:

“Bahwa Pemerintah Thailand harus kembali kepada karakter masyarakat Thailand yang lentur untuk meng-accommodation perbedaan sosial dan budaya tersebut. Bagaimana pun, Pemerintah Thailand harus memutuskan tiang utama kebijakannya mengenai kelompok minority dalam hal assimilation dan integration untuk suatu kebijakan dimana warga Muslim diterima sebagai warga dengan identity budaya berbeda yang hidup di Thailand” (Ibid).

Consequence-nya, warga Muslim di Selatan merasa budaya mereka selama ini ditekan dan mereka mengasingkan diri. Demikian menurut mantan Menteri Luar Negeri Thailand, Surin Pitsuwan dengan mengatakan:

“Penting untuk memberikan jaminan kepada warga Muslim di Selatan bahwa budaya mereka akan dihormati, agama dan tradisi mereka dilindungi dan partisipasi mereka diharapkan. Mungkin itu akan menyelesaikan masalah” (Ibid).  

Menurut Direktur Eksekutif Partai Demokrat Surin Pitsuwan (Kompas, 22 Mei 2004) menilai pembunuhan yang terjadi di Thailand selatan terhadap kaum Muslim merupakan bentuk ketidakpekaan dari pemerintah. Sejak lama pihak oposisi sudah mengingatkan tentang adanya kesalahan penanganan di Thailand selatan, tetapi peringatan itu dianggap angin lalu oleh pihak PM Thaksin. Ujar Surin, yang juga mantan Menteri Luar Negeri Thailand, mengatakan: 

“Kalau kita lihat dari sejarah, Patani merupakan daerah yang sejak awal independen. Masyarakat di sana sebenarnya tidak anti terhadap pembangunan. Hanya saja, mereka menginginkan agar pembangunan itu dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan mereka agar masyarakat di sana tidak hanya menjadi penonton pada akhirnya”.

Oleh karena itu, Surin berpendapat, apa yang seharusnya dilakukan di Thailand selatan bukanlah sekadar pembangunan, tetapi kemauan dari pemerintah untuk mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat di sana dan apa yang mereka butuhkan, adalah pengertian, simpati, dan sensitivity dari pemerintah tentang apa yang mereka butuhkan.

Surin melihat, apa yang hendak dilakukan PM Thaksin murni hanya pendekatan seorang chief executive officer (CEO). Persoalan yang muncul ke permukaan hanya dilihat dari kacamata bisnis, tanpa mau memerhatikan persoalan psikologis apa yang terjadi di sana.
Menurut Surin bahwa:

“Pemerintahan Thaksin cenderung populist. Ia cenderung memberikan apa yang ia pikir diinginkan masyarakat, tanpa memerhatikan consequence yang mungkin ditimbulkan”.

          4. Tanggapan Keluarga Korban dalam Tragedi Tak Bai
Tindakan aparat keamanan sudah membunuh ribuan umat Muslim Melayu dengan berkeinginan untuk menghalang masyarakat muslim dalam melakukan suatu perlawanan atas perlakuan aparat yang jelas sudah berada jauh dari batas kemanusiaan.

Keluarga korban yang tewas dalam tragedi Tak Bai akibatkan pambantaian antara aparat keamanan dengan masyarakat yang berdemontrasi di depan kantor distrik, mereka menolak permohonan maaf Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Mereka menganggap tindakan aparat keamanan sebagai kebrutalan yang tidak bisa dimaafkan.

Dari Email Protected menginvestigasikan bahwa rakyat muslim tidak bisa menerima atas peristiwa dalam kejadian itu dan ini merupakan kezaliman yang pantas untuk tidak dimaafkan, sebagaimana ungkapan-ungkapan keluarga terkorban dalam tragedi tersebut berpandapat bahwa, Daud Tok Chu, 63, dari Desa Gajah Mati yang kehilangan dua orang anak dalam peristiwa itu dengan tegas berkata:

“Masyarakat Muslim Melayu tidak akan percaya terhadap pernyataan Thaksin bahwa siasat akan dilanjutkan untuk mengetahui puncak dan penyebab kematian dalam tragedy tersebut. Apa yang perlu disiasatkan? jika semua korban yang tewas terdapat luka-luka dipukul dan terdapat bekas luka tembakan, termasuk kedua jenazah anak saya terdapat cedera serius dan tubuh terkena tembakan’.

Mat, 65, berkata:

“Peristiwa di Masjid Krisek sebelum ini, Thaksin pernah meminta maaf atas kejadian itu, tetapi tidak berapa waktu berselang aparat keamanan sudah mengulangi lagi kekerasan yang menewaskan umat Muslim. Bahwa permintaan maaf Thaksin atas kejadian ini merupakan sandiwara semata-mata demi melindungi kesalahan oleh aparat keamanan”.

Adapun seorang korban yang berhasil diselamatkan dalam peristiwa berdarah ini mengatakan bahwa:

“Polis dan tentara telah bertindak brutal terhadap para demonstran dan memasukkan mereka ‘seperti batu-bata’ ke dalam truck yang telah memakan waktu selama lima jam dalam perjalanan. Semua orang dipaksa untuk tiarap di belakang truk. Kami saling bertindihan antar satu sama lain tanpa ada ruang untuk bernafas”.
    
Menuurt Maudin Awae, 20, menceritakan pengalaman yang mengerikan tersebut:
     
“Bahwa dia berada di lapisan kedua antara lima lapisan tahanan demontrasi di dalam sebuah truck yang lain. Banyak tahanan yang menjerit meminta pertolongan. Mereka meminta kebenaran untuk berdiri tetapi pihak aparat keamanan tidak mempedulikan sedikitpun. Mereka menginjak-injak kami,” kata Maudin (Zukiflee Bakar, Op.Cit ). 
Insyaallah Akan ada sembungan berikut ke- (3)

sumbur: Patani Fakta Dan Opini 
http://www.facebook.com/notes/patani-fakta-dan-opini/peringatan-6-tahun-tragedi-tak-bai-di-narathiwat-thailand-selatan-ke-2/155248254498563

Penrigatan 6 Tahun Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (1)

Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (1)
Disusun Oleh: Ben  (Sekedar Pemerhati konflik di Thailand Selatan) 

MOTTO
Right Of Self Determination:
“hak anda untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini di duduki asing.
 Alasan anda benar. Keinginan anda pasti terwujud. Insya Allah’’

PERSEMBAHAN
Ku persembahkan tulisan ini untuk kedua orang tua ku yang selalu ku sayangi, ku kasihi, kupuja dengan segenap jiwa dan perasaan ku. Segala pengorbanan dan ketulusan senantiasa terukir indah dalam kasih mereka, tanpanya ku lelah, tanpanya ku seakan kehilangan pelita yang hadir berikan cahaya kehidupan atas roh ku. Dan aku ingin ungkapkan “aku memujai mu Ibu-ku (tanah air) dan aku memujaimu bapak-ku (bangsa)”.

DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah

2. Tragedi Tak Bai
A. Faktor dan Peristiwa
B. Sikap Pemerintah Thailand dan Kritikan Dunia Internasional
C. Pandangan Domestik Terhadap Tragedi Tak Bai
             1. Tanggapan Pemerintah
             2. Tanggapan Para Ulama dan Aktivis Islam
             3.  Tanggapan Tokoh Akademik - Politik
             4. Tanggapan Keluarga Korban dalam Tragedi Tak Bai

3. Pasca Tragedi Tak Bai
A. Pasca Tragedi Tak Bai,
             1. Kebijakan Pemeritah
             2. Daftar Hitam Warga Muslim
             3. Amnesty International Mendesak Pemerintah Thailand
B. Tuntut Warga Menyelidiki yang ‘dihilangkan’
C. Eksodus Massal 131 Orang Penduduk Melayu Muslim di Thailand Selatan
            1. Penyebab
            2. Tuduhan Pemerintahan Bangkok Terhadap Pengungsi
            3.  Tanggapan Malaysia Terhadap Pengungsi Muslim Melayu dari Thailand Selatan

4.Kesimpulan


1.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah      
         
Dalam reality kehidupan masyarakat muslim sebagai golongan minority, maupun mayority baik di Barat maupun di Asia Tenggara selalu dipandang sebagai masalah.

Sekolompok mayority akan selalu menindas minority. Tampaknya telah menjadi sebuah hukum alam. Walaupun asumsi di atas, masih harus dipertanyakan kebenaran. Tapi, pada kenyataannya kondisi tersebut sesuai dengan reality yang ada. Seperti yang dialami masyarakat Patani. Patani sebuah wilayah yang terletak di Thailand Selatan. Dengan mayority penduduknya beragama Islam mengalami tekanan-tekanan agar menerapkan beberapa kebijakan yang disodorkan pemerintah.

Dalam hal ini pemerintah yang ada di Thailand di dominasi oleh agama Buhda. Sehingga tidaklah menghiraukan apabila kebijakan-kebijakan yang ambil dilandasi dengan sentiment keagamaan Thailand yang mayority penduduk beragama Budha berusaha merubah system atau tataran kehidupan rakyat Patani dan menjauhkan mereka dari social cultural yang telah mereka aplikasi selama ini.

Di wilayah perbatasan Thailand Selatan sendiri tercatat pernah terjadi pemberontakan bersenjata, beragam faksi perlawanan Patani. Setelah sempat padam tahun 1990-an, aktivity perlawanan Patani mulai muncul kembali awal tahun 2004. Apa yang terjadi di Thailand Selatan jelas tidak lepas dari pergolakan di Indochina sejak pertengahan tahun 1950 hingga 1980-an. Termasuk perang Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sedangkan Myanmar hingga sekarang masih terus bergolak.

Bahwa pada awal, Selatan Thailand merupakan Kerajaan Patani Merdeka, yang kemudian dicaplok Kerajaan Siam tahun 1902 dan diintegrasikan sebagai bagian dari Thailand (Maruli Tobing, Kompas, 8 Desember 2004).

Dalam perspektif demikian, lambannya pembangunan di wilayah selatan dilihat sebagai diskriminasi terhadap rakyat keturunan Melayu. Diskriminasi yang selalu melekat dalam struktur penjajahan. Termasuk dalam kesempatan kerja di pemerintahan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi. Situasi demikian jelas rawan dan explosive. Pemerintah Thailand meresponsnya seperti halnya penjajah terhadap rakyat jajahan. Bahwa wilayah Thailand selatan dulu merupakan kesultanan merdeka bernama Patani sebelum Bangkok menguasainya seabad lalu. Penduduk di perbatasan memiliki kebudayaan dan agama sama dengan Malaysia. Perang gerilya untuk memperoleh kemerdekaan di Thailand Selatan berlangusng tahun 1970-an dan 1980-an.

Mayority warga di tiga provinsi Patani, Yala dan Narathiwat, adalah warga Muslim keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta penduduk Muslim di Thailand. Penduduk negeri Gajah Putih ini berkisar 63 juta jiwa. Tidak mudah memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu pihak rakyat di wilayah Selatan tidak pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut ber competition dalam politik nasional.

Di Thailand Selatan terdapat minority Muslim yang pada masa yang lalu kurang mendapat  perhatian dari pemerintah pusat (Sutopo A.R. Soesastro Hadi, 1981, 387). Seperti halnya juga rakyat Thailand Selatan selalu merasa diabaikan pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam aktivity pembangunan, tetapi saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah Selatan, hal ini tidak segera dibenahi.

Thailand Selatan tetap seperti beberapa dekade silam. Dalam hal ini, persoalannya bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti perception pada Thailand Selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah. perception inilah yang menyebabkan daerah Selatan makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan. Situasi demikian menyebabkan rakyat teralienation (a) dan tidak merasa bagian dari Thailand.

Kesan bahwa tidak banyak yang berubah diperkuat oleh kenyataan bahwa agama Buddha Thai di bagian-bagian selebihnya negeri itu masih menganggap bagian Selatan sebagai wilayah perbatasan terpencil.  Dari perspective Bangkok hingga saat ini wilayah itu tetap merupakan Thailand’s Deep South, provinsi terpecil di selatan, atau Far South, selatan yang jauh, semua istilah-istilah ini banyak digunakan dalam koran-koran dan media Thailand.

Apa yang terjadi di Thailand Selatan merupakan suatu rasa benci dan kecurigaan yang sudah lama membubung kembali selama perang melawan terorisme yang diumumkan setelah tanggal 11 September 2001 dan penangkapan sejumlah Muslim Thai yang dicurigai sebagai anggota Jemaah Islamiah di Thailand. Kaum Melayu Patani yakin bahwa pemerintah dalam kenyataan sebenarnya melancarkan perang atas agama mereka dan sekolah-sekolah agama mereka atau yakin bahwa Bangkok mengorbankan mereka untuk menjaga hubungan baik dengan Washington (Masri Maris, 2005, 216).

Tak Bai adalah kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar 1.300 kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia internasional setelah terjadi pembantaian pengunjuk rasa pada 25 Oktober 2004. Jalan menuju Tak Bai hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai yang penting bagi lalu lintas perahu motor yang menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian Kelantan di Malaysia.

Pascatragedi kemanusiaan di Tak Bai, Narathiwat, yang menelan korban nyawa sekitar 80-an demonstran, ada beragam pandangan terhadap kepemimpinan Pemerintahan Thailand, baik pandangan politik domestik setempat maupun kritikan internasional karena dianggap menempuh cara-cara repressive dalam menghadapi demonstrasi warganya.

Tindakan repressive pemerintah Thailand terhadap demonstrasi Tak Bai di Narathiwat Selatan Thailand merupakan bentuk pengingkaran Pemerintah Thailand tersebut atas hak-hak masyarakat minority Muslim di Thailand Selatan. Tindakan ini juga merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk meminggirkan minority Muslim Melayu Selatan Thailand dari sistem produksi mereka. Sekaligus merupakan bentuk diskriminasi kepada komuniti masyarakat etnis Melayu yang manority Muslim. Karena penduduk Muslim setempat tersebut merupakan bagian dari masyarakat minority di Thailand, yang seharusnya mendapatkan jaminan hukum dan perlindungan keamanan dari tindak diskriminasi apalagi pemusnahan.

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Mengikut Pasal 5: Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghina (A.Rahman Zainuddin, 1994, xxviii-xxix).

Kebiadaban tentara Thailand terhadap umat Islam di Patani sebenar telah mengakar sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut ketegangan budaya tetapi soal ketegangan beragama. Bangsa Thai yang mayority beragama Budha kelihatannya belum menerima orang Patani sebagai masyarakat sebangsa. Secara giografis Patani di claim sebagai wilayah kerajaan Thai, tetapi sebaliknya secara demografis dan cultural Patani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang kehadiran di anggap mengangu keutuhan bangsa itu, akibatnya mareka didiskriminasi karena berbeda ras dan berebeda agama dengan demikian juga beda kultur. Perbedaan itu yang membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan cenderung diexpressionkan dengan tindakan kekerasan maupun masal.

Sikap inteleransi pemerintah Thailand dan masyarakat budha di negeri itu pada umumnya terhadap comonity muslim terjadi karena mereka tidak bisa menerima plurality, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme. Sikap terungkap secara sadar atau tidak mengelola politik diprovinsi dibagian selatan yang terdiri dari ras melayu itu kemelayuan dan keislaman rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat disitu, ini terjadi kerana belum tuntas orientation kemanusiaan dikalangan mereka sehingga cenderung rasialis.

Sistem demokrasi Kerajaan Thailand yang terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter terhadap minority Melayu di bagian Selatan Thailand. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi bangsa Patani bagaikan negara yang aristocracy atau sejenisnya.

Adapun awal perkembangan politik Thailand di Selatan (Patani) berdasarkan pada mendelegitimasikan bangsa Patani dan berusaha melegitimasikan atas haknya. Jadi jelas bahwa Kerajaan Thai bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan hak atas bangsa Patani, baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu simbol yang tak dapat dihindarkan.

Jadi, apa yang terjadi pada hari Senin, 25 Oktober 2004 di depan kantor polisi di distrik Tak Bai, Narathiwat terhadap para pengunjuk rasa yang memprotes penangkapan warga Patani Muslim yang oleh polisi dituduh telah menyediakan senjata untuk gerakan geriliya Patani, sehingga 6 orang mati tewas kena tembakan, sedangkan 78 warga Patani lainnya tewas ketika sekitar 1300 orang dijejalkan ke dalam 6 truk polisi yang tidak cukup mendapakan oksigen untuk bernapas ketika diangkut ketempat penjara yang memerlukan 5 jam waktu perjalanan. Bahwa demontransi hanya sekadar picu, bukan sebab utamanya karena itu tanpa ada demontransi, pasukan Thailand akan berbuat dengan alasan apapun. Bahkan demontransi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama bertahun-tahun.

Hal-hal di atas inilah yang menjadikan ketertarikan dan keingintahuan penulis untuk melakukan penelitian dalam bentuk penulisan dengan judul: “TRAGEDI TAK BAI DI NARATHIWAT, THAILAND SELATAN”.

Akan ada sembungan berikut ke- (2)
(a). Teralienasi: Keadaan merasa terasing atau terisolasi. Konsep ini di gunakan oleh Karl Marx untuk nenunjukan keterasingan menusia yang disebabkan oleh adanya persaiangan dan sikap egoisme, sehingga orang tidak lagi saling menghargai tetapi saling memanfaatkan. Lihat dalam Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2002, hlm.16.


References

A.Rahman Zainuddin, Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.xxviii-xxix.

Maruli Tobing, “Thailand Selatan, dari Konflik Identitas Menuju Benturan Peradaban”, Kompas, 8 Desember 2004.

Masri Maris, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Yayasan Obor Indonesia, MOST-LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV-Jakarta, 2005, hlm.216.

Sutopo A.R. Soesastro Hadi, Strategi Dan Hubungan Internasional Indonesia Di Kawasan Asia Asia –Pasifik, CSIS: Centre For Strategic And International Studies, Jakarta, 1981, hlm.387

sumbur: Patani Fakta Dan Opini
http://www.facebook.com/notes/patani-fakta-dan-opini/penrigatan-6-tahun-tragedi-tak-bai-di-narathiwat-thailand-selatan-1/154749684548420

Isnin, 27 September 2010

Beda beza Futuhad dan Penjajahan

Jihad sering diidentikan dengan tindakan barbarian dan keganasan. Bahkan futûhât (penaklukan sejumlah wilayah) ke berbagai penjuru dunia yang dilakukan kaum Muslim dengan jihad dianggap sebagai tindakan biadab yang tak berbeda dengan ketamakan negara-negara imperialis Eropa pada Abad 19. Namun demikian, menyamakan futûhât dengan pejajahan merupakan tuduhan yang tidak berdasar dan ahistoris setidaknya ditinjau dari tiga aspek: motif, metode dan implikasi yang ditimbulkan.

Motif
Imperialisme atau penjajahan (al-isti’mâr) oleh Syaikh an-Nabhani didefinisikan sebagai dominasi politik, ekonomi, militer dan budaya terhadap suatu negara sehingga negara tersebut dapat dieksploitasi.1
Penjajahan telah menjadi metode baku bagi negara-negara Kapitalis untuk menyebarluaskan ideologinya. Dengan penjajahan negara-negara tersebut dapat mengontrol sumberdaya ekonomi negara jajahan seperti bahan mentah yang melimpah dan tenaga kerja murah. Penjajahan juga merupakan jalan untuk mencari dan menguasai pasar bagi produk-produk mereka yang meningkat drastis terutama pasca Revolusi Industri.2
Motif penjajahan berbeda jauh dengan motif futûhât dalam Islam. Motif futûhât melalui dakwah dan jihad adalah akidah. Jihad yang berarti perang melawan orang-orang kafir baik secara fisik, materi dan pemikiran yang berkaitan dengan perang merupakan metode (tharîqah) untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Jihad bukan untuk mendapatkan materi (ghanîmah) atau jizyah meski pemberian jizyah oleh orang-orang kafir menyebabkan serangan jihad dihentikan.3 Jihad juga bukan ajang untuk mendapatkan popularitas dan melampiaskan nafsu berkuasa.
Musa al-Asy’ari menyatakan bahwa seseorang pernah mendatangi Nabi saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang berada di jalan Allah; orang yang berperang karena ghanîmah, yang berperang karena ingin disebut-sebut, atau yang berperang karena ingin dihormati kedudukannya?” Rasulullah saw. menjawab: “Siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka ia berada di jalan Allah.” (HR Muslim). Maka membibaskan diri dari penjajah kafir adalah di jalan allah.
Dengan dakwah dan jihad kemuliaan dan keadilan Islam dapat tersebar dan menaungi umat manusia. Dakwah dan jihad membebaskan mereka dari kegelapan dan kehinaan di dunia dan akhirat. Paradigma inilah yang mendorong kaum Muslim sejak masa Rasulullah saw. dan era Kekhilafahan Islam selama berabad-abad terus melakukan futûhat ke berbagai penjuru dunia. Hal ini, misalnya, tampak pada Mughirah bin Syu’bah ketika diutus untuk berdialog dengan Rustum Jenderal Persia sebelum kaum Muslim menyerang Persia pada Perang Qadisiyah. Rustum berkata, “Sesunguhnya kalian adalah tetangga kami. Kami juga telah berbuat baik dan menghilangkan bahaya atas kalian. Oleh karena itu, kembalilah ke negeri kalian. Kami juga tidak akan menghalangi pedagang kalian masuk ke negeri kami.”
Mendengar pernyataan tersebut Mughirah menjawab, “Kami tidak mencari dunia. Yang kami cari dan kami harapkan hanyalah akhirat. Allah Swt. telah mengutus kepada kami seorang rasul yang dikatakan kepadanya, ’Aku murka dan akan menyiksa orang yang tidak mengikuti agama-Ku. Sebaliknya, Aku menjadikan mereka kuat selama mereka berpegang teguh padanya. Tidak seorang pun yang membencinya kecuali ia hina dan tidak seorang pun yang memegang-nya kecuali ia mendapatkan kemuliaan.’”
Rustum berkata: “Alangkah baiknya. Apalagi?” Mughirah menjawab, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada manusia ke penghambaan kepada Allah.”4

Metode
Karena motifnya yang materialistik dan dilandasi oleh ideologi yang mengabaikan aspek spiritual, kemanusiaan dan akhlak, negara-negara penjajah menempuh segala cara untuk melakukan ekspansi, eksploitasi dan dominasi di wilayah-wilayah yang ditaklukkan. Akibatnya, negara-negara jajahan kurus kering dihisap dan ditindas, sementara negara-negara penjajah makin makmur. Bukan hanya kekayaan alam yang dihisap, penduduknya juga disiksa sedemikian rupa demi memuaskan ambisi mereka. Sebagian mereka malah dijadikan sebagai komoditas. Mereka diperjual-belikan sebagai budak dan diperkerjakan secara paksa. Lord Darmounth, misalnya, menteri kolonial Kerajaan Inggris, pernah berkomentar tentang perbudakan yang dilakukan oleh Inggris, “Kami tidak akan pernah membiarkan wilayah-wilayah koloni tersebut merintangi sebuah aktivitas perdagangan yang bermanfaat bagi bangsa (Inggris).”5
Namun, setelah menguatnya propaganda anti imperialisme oleh negara-negara komunis pasca Perang Dunia II, imprealisme fisik secara langusng lambat-laun bergeser menjadi imperialisme tidak langsung. Salah satu caranya adalah memasang agen yang dianggap loyal di pucuk pemerintahan. Lalu struktur politik, ekonomi dan budaya negara koloni didesain sedemikian rupa agar tetap berkiblat kepada tuannya. Hingga kini, perebutan pengaruh dan dominasi antara negara-negara Eropa dan AS terus berlangsung meski dengan pola dan tensi yang terus berubah. Satu hal yang tak berubah: negara-negara terjajah terus berkubang dalam penderitaan.
Sebaliknya, konsep jihad berisi aturan yang detail sehingga prosesnya tidak ugal-ugalan layaknya penjajahan negara-negara kapitalis. Di dalam jihad, misalnya, tidak diperkenankan untuk membunuh wanita, anak-anak dan orang tua yang tidak terlibat sebagai kombatan dan bukan tali barut dan ejen2 kafir. Jihad juga merupakan opsi terakhir setelah seruan kepada orang-orang kafir untuk masuk Islam atau permintaan kepada mereka untuk membayar jizyah ditolak. Rasulullah saw. bersabda:
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ اغْزُوا وَلاَ تَغُلُّوا وَلاَ تَغْدِرُوا وَلاَ تَمْثُلُوا وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ…فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ
Berperanglah di jalan Allah dengan menyebut nama Allah. Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah dan jangan berkhianat, mencincang-cincang (musuh) dan membunuh anak-anak kecil. Jika kalian berhadapan dengan musuh-musuh kalian dari orang-orang musyrik, serulah mereka pada tiga perkara; apapun yang mereka pilih, terimalah. Serulah mereka masuk Islam; jika mereka setuju, terimalah dan lindungilah mereka….Jika mereka menolak, bebankan jizyah pada mereka. Jika mereka setuju, terimalah dan lindungilah mereka. Namun, jika mereka menolak, memohonlah kepada Allah dan perangilah mereka (HR Muslim).

Implikasi
Implikasi yang ditimbulkan oleh penjajahan juga sangat destruktif. Mark Curtis, seorang wartawan Luar Negeri Inggris, melaporkan bahwa dari tahun 1945 saja Inggris bertanggung jawab atas kematian lebih dari 10 juta orang baik di Nigeria, Indonesia, Arab, Uganda, Chile, Vietnam dan sebagainya. Pada bulan Oktober 1952, misalnya, Inggris telah memaksa ratusan ribu rakyat Kenya tinggal di kamp-kamp konsentrasi ala Nazi. Akibat kebijakan tersebut setidaknya 150.000 warga Kenya meninggal dunia.6
Irak merupakan contoh mutakhir kebuasan negara-negara kapitalis menghisap negara jajahannya. Negeri ‘seribu satu malam’ tersebut diinvasi oleh AS dan pasukan sekutu dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal. Meski hingga kini hal itu tidak terbukti, invasi terus berlangsung. Salah satu alasan sebenarnya: cadangan minyak di negara tersebut sangat melimpah. Saat invasi, pasukan AS menjaga ketat kilang-kilang minyak Irak yang belakangan kapasitas produksinya terus ditingkatkan. Sebaliknya, sekolah, rumah sakit, kantor pemerintahan, tempat ibadah dan pusat-pusat kebudayaan terus diluluh-lantakkan. Sejumlah perusahan raksasa yang membonceng pasukan AS dan sekutu seperti Halliburton, Lockheed Martin, Boeing dan Northrop Grumman mengaku mendapatkan keuntungan yang berlipat dari invasi-invasi yang dilakukan oleh AS. Perusahaan jasa keamanan saja, misalnya, memperoleh keuntungan US$ 100 miliar setahun dari Irak dan Afganistan.7
Lebih dari itu, AS di bawah Paul Bremer pada tahun 2004 juga telah menetapkan sejumlah kebijakan yang liberal, diantaraya proses privatisasi terhadap 200 BUMN Irak, boleh orang asing menguasai 100 persen bisnis di Irak, pembebasan pajak keuntungan dan lisensi kepemilikan selama 40 tahun.8 Pada saat yang sama rakyat Irak terus dihujani mesiu dan bom seraya diadu-domba satu sama lain. Jumlah pengungsi, pengangguan dan kemiskinan terus bertambah. Hal yang sama juga terjadi di Afganistan, Somalia, dan sejumlah negara-negara di Afrika. Sikap AS seakan menjadi pembenar pernyataan Socrates: “All wars are fought for money (Semua perang dilakukan demi uang).”
Berbeda dengan itu, perlakuan kaum Muslim kepada penduduk negara taklukan, termasuk kepada ahludz-dzimmah, sangat terhormat. Ahludz-dzimmah setiap tahunnya memang diwajibkan membayar jizyah. Namun demikian, aturan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Orang fakir, orang tua jompo, orang buta dan orang sakit tidak dikenakan jizyah.9 Mereka juga tidak dibebani apapun kecuali tunduk dan patuh pada hukum-hukum Islam yang bersifat publik. Adapun aturan mengenai ibadah, pernikahan, makanan dan minuman dikembalikan pada agama mereka.
Para khalifah juga sangat memperhatikan kondisi penduduk dzimmah. Meski berbeda keyakinan, mereka tetap diperhatikan dan dilayani dengan baik. Khalifah Umar bin al-Khaththab, misalnya, selalu menanyakan keadaan ahludz-dizmmah kepada delegasi dari wilayah-wilayah Kekhilafahan yang datang kepada beliau. Diriwayatkan oleh at-Thabrani bahwa Khalifah Umar ra. pernah bertanya kepada seorang delegasi, “Apakah orang-orang Muslim telah melakukan tindakan yang menyakiti ahludz-dzimmah atau hal-hal yang dapat membuat mereka melepaskan diri dari kalian?” Mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui kecuali kaum Muslim bersikap baik kepada mereka.”10
Tidak aneh jika kehadiran Islam membuat keadaan penduduk di wilayah futûhât menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Phlips K Hitti, sejarahwan dari Princetton University, misalnya, mengakui bahwa penaklukan orang-orang Islam ke Spanyol telah memberikan keuntungan bagi penduduknya.
Masyarakat Kristen mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan kepercayaannya dan mengikuti hukum Kristiani yang tidak melibatkan umat Islam. Penaklukan tersebut juga menghancurkan hegemoni kelas atas, termasuk para bangsawan dan pendeta, yang sebelumnya memiliki hak-hak istimewa, memperbaiki kondisi kelas bawah dan mengembalikan hak properti tuan tanah Kristen yang sebelumnya tidak diakui ketika bangsa Gotik Barat berkuasa.11
Dari sisi pemerintahan, hak dan kewajiban wilayah-wilayah futûhât yang telah dikuasai Khilafah Islam sama dengan wilayah-wilayah Islam lainnya. Hal ini karena wilayah tersebut telah menjadi bagian integral dari Negara Islam yang sistem pemerintahannya berbentuk kesatuan. 12 Islam tidak mengenal istilah negara periphery, koloni ataupun protektorat yang diposisikan secara marginal oleh negara pusat.
Dari aspek ekonomi, perhatian dan pelayanan negara terhadap wilayah-wilayah tersebut juga sama dengan wilayah lainnya tanpa mempertimbangkan besar-kecilnya pendapatan mereka. Jika belanja pemerintahannya melebihi pemasukannya maka subsidi anggaran mengucur dari Baitul Mal (Kas Negara). Sebaliknya, jika berlebih maka ditarik ke Baitul Maal dan didistribusikan ke wilayah yang kekurangan.
Afrika, misalnya, yang kini mayoritas penduduknya masih berada di bawah garis kemiskinan akibat penjajahan, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. telah menikmati kondisi perekonomian yang cukup mapan. Jika angka penerima zakat dijadikan sebagai indikator kemiskinan maka diwilayah Afrika yang dikuasai Islam pada masa itu justru kemiskinan tidak ada. Yahya bin Said menuturkan:
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus saya untuk mengumpulkan zakat di Afrika. Saya lalu mencari orang-orang miskin, namun saya tidak menemukannya; juga tidak seorang pun yang datang kepada saya untuk mengambil zakat. Ini karena Umar bin Abdul Aziz telah membuat mereka berkecukupan. Akhirnya, (atas permintaan Umar) saya menggunakan harta zakat tersebut untuk membeli budak. Lalu saya merdekakan budak itu dan menjadikan mereka sebagai maula kaum Muslim.”13
Dengan konsep tersebut setelah melihat keagungan Islam secara faktual, tidak aneh jika penduduk ahludz-dzimmah berbondong-bondong menganut Islam secara sukarela. Berbeda dengan cara orang Kristen Spanyol yang memaksa umat Islam masuk Kristen dengan ancaman inkuisisi. Juga berkebalikan dengan semangat AS dan Eropa untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi di negeri-negeri Islam dengan uang dan teror.
Alhasil, perbedaan penjajahan dengan futûhât ibarat langit dan bumi. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.[Muhammad Ishaq; Anggota Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI]
Catatan kaki:
1 Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Siyasiyyah li Hizbit Tahrir, Dar al-Ummah, hlm.13.
2 V.I. Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, Resistance Book, hlm.6
3 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, 146/II.
4 Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Maktabah Syâmilah, 46/VII.
5 Zahid Ivan Salam, Jihad dan Kebijakan Luar Negeri Daulah Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, hlm. 94.
6 “British Foreign Policy-A Real Sense of Grievance. Khilafah.com.
7 Hizbut Tahrir Britain, “Irak: New Way Forward.” hlm. 27.
8 “Iraq: The West’s colonial misadventure.” Khilafah.com
9 Ahkâm Ahli ad-Dzimmah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Dar Ibnu Hazm, hal. 160-161
10 At-Thabarani, Târîkh ar-Rusul wa l-Muluk, Maktabah Syâmilah, II/354.
11 Philiph K Hitti, History of The Arab, Serambi, hlm. 649.
12 Taqiyuddin an-Nabahany, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, hlm. 159.
13 Ash-Shalabi, Ad-Dawlah al-Umawiyyah, Maktabah Syâmilah, hlm. 199.

Sumbur: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/06/beda-futuhad-dan-penjajahan/