Selasa, 28 September 2010

Peringatan 6 Tahun Tragedi Tak Bai di Narathiwat, Thailand Selatan Ke-2

Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (2)
Disusun Oleh: Ben  (Sekedar Pemerhati konflik di Thailand Selatan) 


A. Faktor dan Peristiwa
Leletaknya Thailand Selatan sangat strategis dari sisi geopolitics. Berbatasan dengan Malaysia dan di mulut Selat Malaka. Dari perairan Thailand Selatan dapat dimonitor kapal-kapal yang berlayar dari Laut China Selatan menuju Selat Malaka.

Tak Bai, kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar 1.300 kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia
Peta Provinsi Narathiwat
 internasional setelah terjadi pembantaian pengunjuk rasa pada 25 Oktober 2004 bersamaan dalam bulan puasa Ramadhon. Jalan menuju Tak Bai hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai yang penting bagi lalu lintas perahu motor yang menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian Kelantan di Malaysia. Sebagian dari sekitar 10.000 penduduk Tak Bai yang majority muslim memburuh di Malaysia. Sebagian lagi bekerja sebagai nelayan, petani, pengojek, dan membuka warung. Denyut kehidupan ekonomi di sini jauh dari gemuruh sektor modern di Bangkok.

Semenjak kajatuhan Patani ketangan Kerajaan Siam (Thailand), orang-orang Melayu di Thailand Selatan menaruh dendam kesumat berkenaan dengan apa yang mereka anggap sebagai penggabungan secara paksa tanah air mereka dengan negara Thailand yang Buddhis dan berbahasa Thai. Bahwa orang-orang Melayu itu telah memberi reaction dengan berbagai cara, mulai dari protes sampai kepada perjuangan bersenjata (Surin Pitsuwan, 1989, 170)

Ketidakadilan yang dirasakan warga muslim inilah yang kerap memicu pertikaian dengan tentara pemerintah. Dan tindak kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan, menjadi tantangan bagi unsur politik dan sosial sebuah negara yang hendak menjaga kerukunan etnik warganya.

Muncul peristiwa Tak Bai sangat menjadi perhatian masyarakat internasional karena cara pembantaian yang dilakukan militer sangat mengerikan. Kebrutalan tentara Thailand menghadapi para demonstran Muslim bukan suatu yang salah prosedur, tetapi lebih merupakan simtom atau suatu perubahan dengan keadaan khusus kondisi masyarakat yang menunjukkan tanda-tanda adanya suatu penyakit dari sebuah bawah sadar bahwa kelompok Muslim Patani adalah musuh yang harus dibasmi. Demonstrasi hanya sekedar picu, bukan sebab utamanya, karena itu tanpa ada demonstrasi, pasukan Thailand akan berbuat kekarasan dengan alasan apapun. Bahkan demonstrasi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama bertahun-tahun.

Bahwa peristiwa di desa kecil ini (Tak Bai) bermula ketika 6 anggota Pertahanan Sipil (HANSIP) diantaranya termasuk empat orang ustaz dengan tuduhan menyerahkan senjata kepada kelompok pejuang Patani. Masyarakat yang tahu duduk perkaranya menuntut pembebasan keenam warga. Mereka mengatakan senjata anggota HANSIP itu memang benar-benar hilang dicuri orang. Aparat keamanan membantah keterangan masyarakat tersebut.

Menurut catatan setidaknya 10 senapan pemerintah dicuri dari para HANSIP dan penjaga keamanan di Patani. Sebuah serangan lain yang dilancarkan ke sebuah markas militer awal Januari 2004 yang mengakibatkan tewasnya empat tentara dan dirampoknya 414 pucuk senjata (Kompas, 13 November 2004)

Serangan-serangan itu bisa dipandang serius dari segi keamanan pada umumnya di wilayah Thailand Selatan yang majority penduduknya adalah muslim. Luasnya pembakaran sekolah serta dalam serangan-serangan terhadap gudang militer memberi kesan bahwa hal itu dilakukan oleh kelompok terorganisir. Di samping itu, juga terdapat sejumlah bukti adanya latihan militer dalam aksi-aksi itu.  Apabila mengamati insiden yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan, maka gelombang serangan terakhir ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Dari sisi itu, maka serangan terakhir ini tidaklah baru. Belum ada serangan besar lainnya di Asia Tenggara. Sejumlah kalangan mencoba menginternasionalisasikan masalah ini tanpa adanya bukti yang kuat. Memang serangan-serangan itu memiliki dimensi lokal dan internasional.

Bentrokan dalam demontrasi terjadi pada 25 Oktober 2004, sekitar 2.000-3.000  Muslim di Tak Bai melakukan aksi demonstrasi di depan
 kantor polisi setempat. Demontrasi tersebut munculnya akibat penangkapan enam warga Muslim yang dituduh menyuplai persenjataan kepada para gerilyawan di wilayah selatan Thailand yang penduduknya mayoritas Muslim. Pada awal, petugas keamanan yang terdiri atas polisi dan tentara mencoba membubarkan para demonstran yang terus berteriak-teriak. Namun, mereka bukannya membubarkan diri. Malah, jumlah para  demonstran bertambah banyak.

Aparat pun kehilangan kesabaran dan mulai menembaki para demonstran dengan gas air mata, senjata api, dan senjata air. Militer Thailand juga menangkapi para demonstran dan memasukkannya ke dalam enam truk yang sudah disiapkan untuk dibawa ke kamp militer Inkayuth Bariharn, Pattani (www.icmi.org, http://www.icmi.or.id/ind/content/view/83/60/)

Peristiwa Tak Bai secara jelas menunjukkan aparat militer dan polisi menghajar  pengunjuk rasa dengan popor senjata, pukulan, dan
 tendangan. Kemudian para pengunjuk rasa dipaksa merangkak di jalan asphalt dengan bercelana kolor, Dan mereka dipaksa berkumpul dengan merangkak tanpa baju, di atas tanah berlumpur dengan kawalan ketat tentara. Darah mengucur di mana-mana, tetapi tidak mengurangi kebengisan aparat keamanan. Mereka juga menganiaya ibu-ibu dan anak-anak yang ditangkap dan dikumpulkan di kantor polisi Tak Bai. Dalam kondisi terikat dan berpuasa, tubuh-tubuh mereka dilemparkan ke atas truk militer, usai demonstrasi yang digagalkan aparat. Lelah dan siksa mengantarkan mereka menjemput maut.

Saksi mata mengatakan puluhan orang tewas di tempat setelah aparat keamanan mulai menembaki pengunjuk rasa, dan hingga sekarang
lebih dari 60 warga belum kembali ke rumah. Mereka lenyap dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, di Teluk Nangka, warga mengatakan 22 jasad pengunjuk rasa dikubur aparat militer di desa itu dan 38 warga yang cedera dilempar ke Sungai Nara (Maruli Tobing , Kompas,  20 Desember 2004).

Pada awalnya, angka korban dilaporkan hanya 6 orang, kemudian meningkat dengan mendadak kepada 84 orang. Menurut penduduk
 tempatan jumlah korban sebenar melebihi daripada 100 orang. Statistik yang diberikan oleh seorang pemerhatian bebas menjelaskan bahwa 6 orang mati serta merta terkena tembakan, 78 orang mati di hospital, 35 mayat ditemui terapung di dalam sungai dan 1298 orang mengalami kecederaan.

Tentara dan polisi juga melontarkan tembakan dan menyemprotkan air serta melemparkan ‘granat-granat’ gas air mata ke arah pengunjuk
 rasa (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2004). Kebanyakan para korban mati lemas dan beberapa di antaranya mengalami patah tulang leher (Pikiran Rakyat, 28 Oktober 2004).

Sekitar 1.300 pengunjuk rasa diangkut dengan enam truk dengan tangan terikat ke belakang. Para tawanan itu bertindihan hingga lima lapis. Tidak cukup hanya itu, truk ditutup lagi dengan terpal selama perjalanan 5,5 jam menuju Markas Komando Militer IV Wilayah Selatan (Maruli Tobing , Op.Cit).

Pembataian di Tak Bai hanyalah salah satu peristiwa yang dialami masyarakat Muslim. Sebelumnya, 28 April 2004 telah 113 pemuda dan remaja muslim tewas dibantai aparat militer dan polisi karena mencoba menyerang pos-pos keamanan dengan menggunakan senjata tajam.

Munurut wartwan Kompas Maruli Tobing, dari Narthiwat, Thailand Selatan menginvestigasikan bahwa:

Dalam peristiwa yang mirip ‘amok’ tersebut, sebanyak 34 remaja dan pemuda yang berlindung di Masjid Kre Se, Pattani, ikut terbunuh.Dalam kekerasan ini pasukan Thailand juga diperkirakan telah bertindak berlebihan terhadap 113 pemuda Muslim yang tewas. Sekelompok anak muda bersenjatakan parang dihadapi dengan persenjataan berat karena diduga akan menyerang kantor polisi (Maruli Tobing, Op.Cit.).

 Masjid tua peninggalan abad ke-17 ini hancur karena aparat keamanan menembakinya sejak pukul 05.00 pagi hingga 14.10 petang. Ny Sema dan warga lain mengaku menyaksikan helikopter meraung-raung sambil melepaskan tembakan di atas masjid seluas 20 x 25 meter itu. Sementara kendaraan lapis baja menutup rapat jalan masuk dan keluar. Lebih dari 100 anggota militer dan polisi ikut menembaki masjid bersejarah itu.

Peristiwa di Masjid Kre Se dan Tak Bai merupakan cermin bahwa hukum telah mati suri di wilayah selatan. Tetapi ini bukanlah fenomena baru. sejak lama Thailand Selatan mirip daerah tidak bertuan. Di sini yang berlaku hanyalah hukum rimba.

Seperti dikemukakan seorang warga Jerman yang ditemui Kompas di Narathiwat, “keadaannya hampir sama seperti 35 tahun silam”. Warga Jerman ini pernah menjadi pekerja sosial di bidang konstruksi di Thailand selatan tahun 1970-an (Ibid).

Peristiwa Tak Bai bisa dikatakan sebagai puncak kekerasan yang ditempuh pemerintahan Thailand dan sekaligus menjadi titik balik bagi perjalanan sejarah umat Islam di Thailand Selatan. Rentetan kekerasan sebelumnya juga sudah menewaskan puluhan warga Muslim. Yang terbesar adalah penyerangan ke Masjid Krue Se, April tahun 2004, yang menewaskan 113 orang Melayu Muslim.

Wali Kota Pattani Panya Kittikul, mengungkapkan, para relawan anggota regu pengamanan desa dan Pertahanan Sipil HANSIP di provinsi itu sudah mulai menyerahkan kembali senjata inventory yang sebelumnya dibagikan pemerintah kepada mereka. Alasan pengembalian adalah untuk menjaga agar senjata-senjata itu tidak sampai jatuh ke tangan kaum geriliyawan. Demi keselamatan mereka sendiri, mereka menyatakan ingin menyimpan saja senjata itu di kantor distrik (Kompas, 13 November 2004). Alasannya yang lain, pengembalian senjata itu membuat mereka lebih merasa aman bagi dirinya baik dari perompakan sejata dari geriliya maupun tuduhan pemerintahan terhadap mereka dengan mengatakan mereka bersekongkol sama geriliyawan dengan menyerahkan senjata kepada Pejuang Patani.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Thailand mendistribusikan lebih dari 4.000 pucuk rifle dan amunisi dalam jumlah besar kepada para relawan pertahanan sipil, kepala desa, dan para penjaga keamanan di provinsi-provinsi selatan yang dekat dengan Malaysia. Namun, banyak di antara senjata-senjata itu yang dicuri oleh para gerilyawan Patani.


B. Sikap Pemerintah Thailand dan Kritikan Dunia Internasional

Unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan dan tewasnya sekitar 84 warga muslim Thailand (Siam) di Provinsi Narathiwat, Thailand Selatan, cukup memprihatinkan dan setidaknya pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat telah menyampaikan duka mereka dan berharap pemerintah Thailand di bawah Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dapat menyelesaikan masalah ini dengan lebih bijak dan tanpa kekerasan.

Setakat ini respons kerajaan Thai keatas dunia internasional adalah sangat bersikap keras. Para diplomat internasional kurang memuas atas laporan Menteri Luar Negeri Thailand daripada penjelasan itu. Adanya sesetengah diplomat Barat inginkan penjelasan pristiwa ini lebih lanjut secara detil mengenai tragedi Tak Bai.

Pada pertemuan Forum Keamanan di Bejing, 4 November 2004, yang dihadiri oleh wakil-wakil pertahanan dari forum Asean, delegasi dari Indonesia bertanya kepada Menteri Luar Negeri Thailand untuk memberi keterangan mengenai situasi di Selatan, tetapi pihak Thai mengatakan ini adalah masalah domestik (www.malaysiatoday.net).

Indonesia meng-investigation-kan bahwa Juru Bicara Departmen Luar Negeri (Deplu) -Thailand Sihasak Phuangketkeow yang ditemui di sela-sela pertemuan tingkat menteri luar negeri (AMM) ASEAN di gedung International Cooperation and Training Center (ICTC) di Vientiane, mengatakan pihaknya siap membicarakan dan memberi informasi mengenai isu tersebut dengan rakan-rakan ASEAN namun dengan catatan hal itu dilakukan secara bilateral.

Thaksin Shinawatra, secara mengejutkan 25 November 2004 di Bangkok menyatakan:

“Akan memboikot KTT ASEAN jika conference tingkat tinggi itu mengungkit-ungkit masalah di Thailand Selatan. Kalau isu kekerasan di Selatan diungkit dalam KTT ASEAN, PM Thaksin akan segera kembali pulang (ke Bangkok)”.

 Pernyataan boikot itu keluar beberapa hari sebelum kepala negara/pemerintahan 10 negara ASEAN dan empat mitra dialognya, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru memulai pertemuan puncak mereka di Vientiane pada 28-30 November 2004 (Media Indonesia, 28 November 2004).

Tentunya hal ehwal dalaman, tetapi di dalam hari-hari dan minggu yang akan datang akan adanya lonjakan paradigma. Thailand mestilah berani untuk menerangkan apa yang telah terjadi di selatan dan apakah jalan penyelesaiannya. Kerajaan Thai perlu belajar beberapa perkara dari pihak Indonesia dan Malaysia mengenai isu-isu sensitif. Pada beberapa kali kedua-duanya telah mengambil inisiatif untuk memberi penerangan kepada rakan-rakan Aseannya mengenai keadaan dalaman negara yang boleh merunsingkan jiran. Indonesia memberi penjelasan kepada kumpulan tersebut mengenai situasi di Aceh secara rela hati dan selepas itu meminta kerjasama.

Menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld yang dalam kunjungan satu hari ke Thailand ketika bertemu dengan PM Thailand Thaksin Shinawatra menerima penjelasan bahwa masalah konflik di tiga provinsi selatan Thailand dengan mengadakan pembicaraan selama sekitar 30 menit dengan PM Thailand Thaksin Shinawatra. Bahwa Thailand merupakan sekutu lama AS dan menjalin hubungan militer yang dekat dengan Washington.

PM Thaksin memberikan keterangan kepada Rumsfeld tentang aksi perlawanan kelompok Islam di Selatan Thailand yang mayoritas penduduknya warga Muslim dalam aksi kekerasan tersebut, yang menurut Thaksin, murni sebagai masalah dalam negeri dan tidak ada kaitannya dengan terorisme internasional (www.k)apanlagi.com.

Rasa prihatin juga diungkapkan Pemerintah Amerika Serikat. Juru bicara Deplu AS, Edgar Vasquez, mengatakan:

“Amerika Serikat sangat menyesal berlanjutnya kekerasan berdarah di Thailand Selatan. Dari Washington mendesak pihak berwenang Thailand bertanggung jawab atas perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para tawanannya dan mendesak pemeritah Bangkok agar melakukan penyelidikan sepenuhnya atas peristiwa penangkapan 1.300 Muslim yang menyebabkan tewasnya umat Muslim itu yang berakhir dengan kematian 78 warga Muslim” (Pikiran Rakyat,  28 Oktober 2004).

Keprihatin Malaysia atas insiden yang terjadi di Thailand Selatan. PM Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi juga menawarkan bantuan apabila diperlukan untuk meredakan konflik di Thailand Selatan antara rakyat setempat dengan pihak penguasa daerah dan mengharapkan Pemerintah Thailand dapat segera mengatasi krisis tersebut. Demikian juga PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi menginstruksikan Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar untuk mencari informasi mengenai hal itu (Ibid).

Pemerintah Indonesia menyatakan berduka atas kematian 78 orang setelah terjadi unjuk rasa di Provinsi Narathiwat, Thailand dan peristiwa ini mendapat perhatian besar di dalam negeri. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Marty Natalegawa, mengatakan:

“Pemerintah Indonesia berharap dan percaya Pemerintah Thailand akan melakukan investigasi atas peristiwa ini. Proses seperti itu sangat penting, karena Indonesia tidak ingin melihat adanya lingkaran kekerasan, atau munculnya masalah baru sebagai akibat tindakan repressive Pemerintah Thailand”.

PP Muhammadiyah mengutuk keras perlakuan aparat Thailand itu. Mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, menyatakan:

“Tragedi pada Ramadhan itu harus disebutkan sebagai kejahatan kemanusiaan. Muhammadiyah mendesak Thailand agar menindak keras dan concrete aparat keamanannya yang telah melakukan pembantaian” (Ibid).

Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Shihab mengutuk terjadinya peristiwa itu. Menurutnya:

 “Thaksin harus minta maaf kepada dunia muslim. Bahwa yang terjadi di Narathiwat itu bukan kejadian tidak sengaja. Kalau ini yang pertama kali, bisa dikatakan hanya insiden, ini sudah yang ke berapa kali, ini berarti kesengajaan untuk membantai umat muslim di Thailand Selatan” (Tempo, 05 November 2004).

Usman Hamid, Coordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk tindakan authority keamanan Thailand terhadap warga Patani Thailand Selatan, dengan mengungkapkan bahwa:

“Kasus pembunuhan massal terjadi di Thailand Selatan yang menewaskan sekitar 78 warga Patani tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan juga bisa dilihat sebagai genocide. Kejahatan seperti ini masuk dalam jangkauan jurisdicy universal. Oleh karena itu, kejahatan ini harus diajukan ke Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court-ICC) guna menuntut pertanggung- jawaban criminal PM Thakshin” (www.kontras.org).

KontraS mengecam pernyataan authority Thailand yang menyatakan bahwa kematian 78 warga Thailand Selatan merupakan kebrutalan aparat keamanan. Sama sekali tidak masuk akal juga menyatakan alasan penyebab kematian adalah akibat sesak napas. Apalagi kematian itu terjadi dalam jumlah yang besar.

Kebijakan-kebijakan Thaksin dianggap kurang adil terhadap warga dan merembet memengaruhi kehidupan relation keagamaan antara penganut Islam dan penganut Buddha yang selama ini cukup baik. Bahkan, ketidakmampuan Thaksin menghentikan segera tindak kekerasan di Thailand Selatan sempat membuat “ketegangan politik baru” dan menodai kebersamaan ASEAN dalam memerangi terorisme yang segera diprotes Kuala Lumpur dan Jakarta, ketika menuduh bahwa para militan Islam di Thailand Selatan mendapat latihan dan dikendalikan dari pemimpin yang ada di Malaysia dan Indonesia (Kompas, 7 Febuari 2005).

C. Pandangan Domestic Terhadap Tragedi Tak Bai
            1. Tanggapan Pemerintah
Di tengah kecaman itu, PM Thailand Thaksin Shinawatra memperbaiki pernyataannya dengan mengatakan pasukan keamanan telah membuat kesalahan dalam mengatasi demonstrasi ribuan umat Muslim di Thailand Selatan itu. Tapi, Thaksin tetap meyakini pernyataannya semula bahwa kematian 84 warga muslim melakukan aksi demonstrasi di depan kantor (balai) polisi Tak Bai itu karena puasa.

Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, langsung meninjau lokasi kejadian didampingi Menteri Pertahanan Jenderal Sumpan Boonyanun, Menteri Dalam Negeri Bhokin Bhalakula, dan Sekretaris Perdana Menteri, Yongyut Tiyapirat. Kata PM Thaksin kepada wartawan setibanya di Pattani:

“Ini biasa seperti ini (this is typical), ini mengenai tubuh-tubuh (orang) yang dibuat lemah karena puasa. Tidak ada yang melukai mereka” (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2004).

Thaksin juga menolak minta maaf untuk tragedi ini, tapi menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban tewas (www.gatra.com). Hal demikian juga PM Thaksin mengatakan kepada Muslim Thailand:

“Bahwa saya Perdana Menteri tahu semua yang terjadi di selatan, dan Saya tidak mendukung secara absolute penyiksaan warga. Namun warga harus menuruti aturan” (Kompas, 27 Oktober 2004).

Sebagian dari pejabat pemerintahan Thailand juga menyatakan bahwa:

“Para korban tewas bukan akibat kekerasan karena tidak ada bukti kekerasan pada jasad korban”.

PM Thailand meminta pembentukan sebuah commission independent untuk meneliti sebab-sebab terjadinya tragedi Tak-Bai, dan tidak akan ada seorang pun pejabat resmi pemerintah yang akan menjadi anggota dalam komisi tersebut. Komisi ini akan menyerahkan hasil-hasil penelitiannya selama satu bulan setelah kejadian tragedi tersebut.

Bahwa PM Thaksin Sinawatra hanya memenuhi ambition politik ketika menindas minority muslim Patani, tidak berdasar semangat Budhis yang cinta damai. Thaksin juga pandai bermuka manis untuk menutupi kekuasaannya yang bertangan besi. Misalnya beberapa hari setelah peristiwa Tak Bai menyebarkan ribuan “burung kertas” dari pesawat udara untuk mengkampanyekan perdamaian di Thailand Selatan. Jutaan origami berterbangan dari sejumlah pesawat tempur di angkasa provinsi-provinsi selatan Thailand, seiring tuntasnya misi perdamaian Pasukan AU Kerajaan Thailand di wilayah tersebut. Kerajinan tangan origami berbentuk burung Merpati, yang terbuat dari kertas-kertas yang dilipat cantik dan menarik itu mengekspresikan harapan segera berakhirnya kekerasan di wilayah Thailand selatan yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Pemerintah juga mengklaim-ada sekitar 120 juta burung Merpati yang melambangkan perdamaian dan reconciliation, dibuat dari lipatan-lipatan kertas. Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, terkait dilancarkannya kampanye damai itu, mengaku telah memperoleh efek psikologis yang positif dari upayanya untuk meyakinkan warga provinsi-provinsi selatan Thailand bahwa:

 “Mereka adalah bagian dari masyarakat Thai dan pemerintah perduli terhadap mereka”. Thaksin juga mengatakan: “Akan lebih mudah saat ini bagi pemerintah untuk memulihkan perdamaian di kawasan yang diwarnai pergolakan itu”.

Dari pandangan masyarakat muslim di Selatan Thai, mungkin baik karena burung kertas berbentuk merpati itu dimaksudkan sebagai ajakan
perdamaian. Namun, bagi warga setempat yang mayoritas Muslim, hal itu bisa dipahami lain. Ribuan burung kertas yang dijatuhkan dari udara bisa dianggap sebagai pernyataan perang. Bisa merujuk pada Surat Al-Fiil dalam Alquran yang bercerita soal burung Ababil yang menjatuhkan batu dari neraka untuk memusnahkan pasukan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka'bah.

          2. Tanggapan Para Ulama dan Aktivis Islam
Anggota masyarakat Islam mengutuk langkah-langkah pasukan keamanan dalam menangani kerusuhan. Para aktivis Islam juga menuduh pasukan keamanan Thailand menggunakan taktik penanganan yang terlalu keras di wilayah selatan, termasuk menyerang masjid yang mengakibatkan 32 warga Muslim tewas dalam kerusuhan 28 April 2004.

Sejumlah tokoh dan aktivis Islam yang diwawancarai Kompas (Maruli Tobing, www.kompas.com) di Provinsi Yala dan Narathiwat berpendapat dengan mengatakan bahwa:

“Keadaan demikian sudah dirasakan rakyat di wilayah selatan Thailand sejak kerajaan Siam mencaplok kerajaan Pattani tahun 1902. Kami adalah bangsa dengan identity Melayu yang sangat berbeda dengan bangsa Siam. Ini merupakan fakta sosio-historis dan sudah ada jauh sebelum terbentuknya kerajaan Thailand”, ujarAbdul Samad.
  
“Bahwa watak kolonial pemerintah pusat terhadap rakyat di wilayah selatan, tampak kasatmata dalam penanganan unjuk rasa di Tak Bai. Manusia disusun bertindihan hingga lima lapis. Mereka memperlakukan warga turunan Melayu melebihi binatang. Hal yang mustahil mereka perbuat terhadap warga Siam, tutur seorang aktivis Islam lulusan al-Azhar, Cairo.

“Namun agar hubungan tersebut tetap tampak serasi dari luar, Pemerintah Thailand menggunakan teror terhadap warga yang mempertanyakan hak-haknya. Setiap saat warga bisa dijemput pada malam hari. Rumahnya dikepung puluhan aparat keamanan dengan tuduhan separatis Islam. Peristiwa seperti ini menimbulkan ketakutan bagi warga lainnya”, tutur seorang aktivis Islam lulusan IAIN Yogyakarta.

Demikian juga ungkapan pemimpin agama dari Desa Teluk Manak, Narathiwat, Qori Abdullah berusia 60 tahun, mengatakan:

“Permintaan maaf Thaksin tidak berarti karena beratus-ratus umat Islam telah dibunuh dengan kejam. Bahwa pada saat ini kepercayaan umat Islam terhadap kerajaan Thaksin semakin genting karena mereka keliru dengan tindakan kebrutalan aparat keamanan yang tidak berperikemanusiaan” (Zukiflee Bakar, http://www.mail-archive.com/it-kelantan@yahoogroups.com/msg00615.htm). 

          3.  Tanggapan Tokoh Akademik - Politik
Hari-hari ini, nama wilayah Patani menjadi bahan pemberitaan hangat di surat-surat kabar, radio maupun televisi di banyak negara. Adalah insiden yang terjadi menewaskan sekitar 84 penduduk Muslim Patani membuat perhatian di dalam negeri dan macanegara sontak beralih ke kawasan di selatan Thailand tersebut.

Sebenarnya gejolak di Patani sudah berlangsung lama. Umat Muslim sebagai kaum minority di negeri Gajah Putih--dan banyak mendiami Patani, Yala dan Narathiwa--sejak lama mengeluhkan adanya diskriminasi dalam sektor bisnis, pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Kendati sudah menempati wilayah itu berabad-abad, mereka tetap mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat.
Menurut Chayan Vaddhanaphuti, tokoh antropologi dari Universitas Chiang Mai di Utara Thailand memberikan bukti bahwa:

“Pemerintah tidak harus memaksakan kebijakan yang berlaku untuk kelompok minority lainnya dapat diterima oleh warga Muslim di Thailand Selatan. Mereka mempunyai sejarah khusus dan merupakan mayority di sana. Mereka kurang mengembangkan tolerance dalam soal ini. Bahwa pejabat pemerintah dan para bureaucrat punya andil dalam membuat kegelisahan warga Muslim di negara itu yang menyinggung kepekaan budaya dan agamanya” (Republika, 5 Nopember 2004).

Beberapa tokoh akademik Thailand berpendapat bahwa pemerintah perlu membuat peraturan yang mengatur perpaduan sosial dan etnik jika Thailand ingin memelihara citranya sebagai negara yang tolerant di antara negara tetangganya seperti Myanmar, Indonesia, Malaysia bahkan Filipina. Memang sejauh ini tidak terjadi kerusuhan antar etnik di Thailand, namun terjadi sejumlah kasus yang mirip kerusahan antar suku.

Direktur Pusat Informasi Perdamaian di Universitas Thammasat di Bangkok Chaiwat Sath-Anand, mengatakan:

“Bahwa Pemerintah Thailand harus kembali kepada karakter masyarakat Thailand yang lentur untuk meng-accommodation perbedaan sosial dan budaya tersebut. Bagaimana pun, Pemerintah Thailand harus memutuskan tiang utama kebijakannya mengenai kelompok minority dalam hal assimilation dan integration untuk suatu kebijakan dimana warga Muslim diterima sebagai warga dengan identity budaya berbeda yang hidup di Thailand” (Ibid).

Consequence-nya, warga Muslim di Selatan merasa budaya mereka selama ini ditekan dan mereka mengasingkan diri. Demikian menurut mantan Menteri Luar Negeri Thailand, Surin Pitsuwan dengan mengatakan:

“Penting untuk memberikan jaminan kepada warga Muslim di Selatan bahwa budaya mereka akan dihormati, agama dan tradisi mereka dilindungi dan partisipasi mereka diharapkan. Mungkin itu akan menyelesaikan masalah” (Ibid).  

Menurut Direktur Eksekutif Partai Demokrat Surin Pitsuwan (Kompas, 22 Mei 2004) menilai pembunuhan yang terjadi di Thailand selatan terhadap kaum Muslim merupakan bentuk ketidakpekaan dari pemerintah. Sejak lama pihak oposisi sudah mengingatkan tentang adanya kesalahan penanganan di Thailand selatan, tetapi peringatan itu dianggap angin lalu oleh pihak PM Thaksin. Ujar Surin, yang juga mantan Menteri Luar Negeri Thailand, mengatakan: 

“Kalau kita lihat dari sejarah, Patani merupakan daerah yang sejak awal independen. Masyarakat di sana sebenarnya tidak anti terhadap pembangunan. Hanya saja, mereka menginginkan agar pembangunan itu dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan mereka agar masyarakat di sana tidak hanya menjadi penonton pada akhirnya”.

Oleh karena itu, Surin berpendapat, apa yang seharusnya dilakukan di Thailand selatan bukanlah sekadar pembangunan, tetapi kemauan dari pemerintah untuk mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat di sana dan apa yang mereka butuhkan, adalah pengertian, simpati, dan sensitivity dari pemerintah tentang apa yang mereka butuhkan.

Surin melihat, apa yang hendak dilakukan PM Thaksin murni hanya pendekatan seorang chief executive officer (CEO). Persoalan yang muncul ke permukaan hanya dilihat dari kacamata bisnis, tanpa mau memerhatikan persoalan psikologis apa yang terjadi di sana.
Menurut Surin bahwa:

“Pemerintahan Thaksin cenderung populist. Ia cenderung memberikan apa yang ia pikir diinginkan masyarakat, tanpa memerhatikan consequence yang mungkin ditimbulkan”.

          4. Tanggapan Keluarga Korban dalam Tragedi Tak Bai
Tindakan aparat keamanan sudah membunuh ribuan umat Muslim Melayu dengan berkeinginan untuk menghalang masyarakat muslim dalam melakukan suatu perlawanan atas perlakuan aparat yang jelas sudah berada jauh dari batas kemanusiaan.

Keluarga korban yang tewas dalam tragedi Tak Bai akibatkan pambantaian antara aparat keamanan dengan masyarakat yang berdemontrasi di depan kantor distrik, mereka menolak permohonan maaf Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Mereka menganggap tindakan aparat keamanan sebagai kebrutalan yang tidak bisa dimaafkan.

Dari Email Protected menginvestigasikan bahwa rakyat muslim tidak bisa menerima atas peristiwa dalam kejadian itu dan ini merupakan kezaliman yang pantas untuk tidak dimaafkan, sebagaimana ungkapan-ungkapan keluarga terkorban dalam tragedi tersebut berpandapat bahwa, Daud Tok Chu, 63, dari Desa Gajah Mati yang kehilangan dua orang anak dalam peristiwa itu dengan tegas berkata:

“Masyarakat Muslim Melayu tidak akan percaya terhadap pernyataan Thaksin bahwa siasat akan dilanjutkan untuk mengetahui puncak dan penyebab kematian dalam tragedy tersebut. Apa yang perlu disiasatkan? jika semua korban yang tewas terdapat luka-luka dipukul dan terdapat bekas luka tembakan, termasuk kedua jenazah anak saya terdapat cedera serius dan tubuh terkena tembakan’.

Mat, 65, berkata:

“Peristiwa di Masjid Krisek sebelum ini, Thaksin pernah meminta maaf atas kejadian itu, tetapi tidak berapa waktu berselang aparat keamanan sudah mengulangi lagi kekerasan yang menewaskan umat Muslim. Bahwa permintaan maaf Thaksin atas kejadian ini merupakan sandiwara semata-mata demi melindungi kesalahan oleh aparat keamanan”.

Adapun seorang korban yang berhasil diselamatkan dalam peristiwa berdarah ini mengatakan bahwa:

“Polis dan tentara telah bertindak brutal terhadap para demonstran dan memasukkan mereka ‘seperti batu-bata’ ke dalam truck yang telah memakan waktu selama lima jam dalam perjalanan. Semua orang dipaksa untuk tiarap di belakang truk. Kami saling bertindihan antar satu sama lain tanpa ada ruang untuk bernafas”.
    
Menuurt Maudin Awae, 20, menceritakan pengalaman yang mengerikan tersebut:
     
“Bahwa dia berada di lapisan kedua antara lima lapisan tahanan demontrasi di dalam sebuah truck yang lain. Banyak tahanan yang menjerit meminta pertolongan. Mereka meminta kebenaran untuk berdiri tetapi pihak aparat keamanan tidak mempedulikan sedikitpun. Mereka menginjak-injak kami,” kata Maudin (Zukiflee Bakar, Op.Cit ). 
Insyaallah Akan ada sembungan berikut ke- (3)

sumbur: Patani Fakta Dan Opini 
http://www.facebook.com/notes/patani-fakta-dan-opini/peringatan-6-tahun-tragedi-tak-bai-di-narathiwat-thailand-selatan-ke-2/155248254498563

Tiada ulasan:

Catat Ulasan