Rabu, 24 Julai 2013

Gencatan Senjata Ramadhon Berdarah ..!!

Disusun Oleh: Ben (Sekedar Pemerhati Konflik di Patani)

Apa itu Gencatan Senjata

Gencatan senjata bukanlah kesepakatan damai, meskipun tujuannya adalah pemberhentian bentrokan bersenjata, mencegah terjadinya kekerasan. Pencegahan tersebut mungkin saja tidak jelas sampai kapan berlakunya atau hanya berlaku dalam rentang waktu tertentu. Sebuah perjanjian gencatan senjata tidak mengakhiri perang antara pihak-pihak yang bertikai. Perang akan terus berlanjut dengan segala implikasinya bagi pihak-pihak yang bertikai dan pihak-pihak netral.

Sebuah gencatan senjata adalah penghentian kekerasan dalam suatu rentang waktu yang disetujui oleh pihak-pihak yang bertikai. Gencatan senjata bukan perdamaian parsial atau temporer; gencatan senjata hanya merupakan penundaan operasi militer dalam skala tertentu yang disetujui oleh kedua belah pihak.


فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
“janganlah kalian lemah dan minta damai padahal kalianlah yang di atas dan Allah (pun) beserta kalian, dan Dia sekali-kali tidak mengurangi (pahala) amal-amal kalian”(Q.S. Muhamad: 35).


Isi Statement Gencatan Senjata

Pemahaman umum antara Dewan Keamanan Nasional Thailand dan Barisan Revolusi Nasional (BRN), kelompok inti yang mewakili masyarakat Melayu Selatan Thailand, untuk mencapai Gagasan Perdamaian Ramadan 2013 adalah batu loncatan guna mencapai perdamaian di provinsi itu.

Fasilitator Pemerintah Malaysia untuk Kelompok Kerja Gabungan Proses Dialog Perdamaian (JWG-PDP) di Thailand Selatan, Datuk Seri Ahmad Zamzamin Hashim, mengatakan dia optimistis dan percaya diri bahwa gagasan tersebut akan diperpanjang melampaui periode yang disepakati.

'Gagasan Perdamaian Ramadan adalah bukti bahwa ada cahaya di ujung terowongan. Kedua pihak menginginkan perdamaian di provinsi dan mereka telah menunjukkan komitmen mereka,' katanya dalam konferensi pers di Kuala Lumpur.

Dia mengatakan Gagasan Perdamaian Ramadan 2013 tercapai, menyusul JWG-PDP keempat yang diselenggarakan di Kuala Lumpur bulan Lalu.

Kelompok Pejuang Kebebasan Patani, Angkatan Bersenjata Barisan Revolusioner Nasional (BRN) Melayu Patani sebelum ini cuba mendukung dan mendorong terlaksananya kesepakatan gencatan senjata bilateral dengan Pemerintah Kolonial Siam Thailand. Pernyataan yang datang dari Ahmad Zamzamin Hasyim, yang mewakili Malaysia, fasilitator perundingan negosiasi perdamaian.
  
Dewan Keamanan Nasional (NSC), yang merupakan negosiator utama untuk Thailand mengatakan negaranya pasti menyetujui usulan yang datang dari statament  tersebut, sebab kita harus menghentikan pertumpahan darah yang tersebut terjadi, terlebih saat ini pemerintah dan BRN tengah melakukan perundingan damai.
Pemerintah Thailand berjanji akan mematuhi semua aturan dalam sekepakatan gencatan senjata yang nantinya akan membantu mengatur irama perundingan damai. Lebih lanjut keputusan tersebut akan menumbuhkan sikap saling pengertian atara dua belah pihak," kata Paradhon wakil negosiator utama untuk Thailand.
Tanggal dan Waktu Efektif, Delegasi pemerintah Thailand dan pejuang Patani dari Barisan Revolusi Nasional (BRN) telah menyepakati 40 hari gencatan senjata di provinsi ujung Selatan Thailand, menyatakan periode puasa Ramadan sebagai "bulan bebas dari Senjata".

Periode perdamaian yang disepakati berlangsung dari 10 Juli, awal Ramadhan di Thailand, sampai 18 Agustus, menurut Ahmad Zamzamin Hasyim, yang mewakili Malaysia, fasilitator perundingan negosiasi perdamaian. Penetapan ini sangat penting untuk menyediakan jangka waktu tertentu untuk menginformasikan gencatan senjata tersebut ke pos-pos mereka agar perjanjian tidak dilanggar tanpa sengaja ketika sudah berlaku efektif.

Durasinya di masa kini, ketentuan tersebut sering diatur, kemungkinan atas dasar asumsi bahwa kesepakatan damai akan berlangsung dalam waktu dekat. Maka perjanjian tersebut akan berlaku efektif hingga salah satu pihak membatalkannya. Meskipun tidak ada ketentuan yang mengatur hal ini, sangatlah penting bagi pihak yang hendak membatalkan perjanjian tersebut untuk mengumumkan niatnya terlebih dahulu.

Dalam dekade terakhir perjanjian gencatan senjata menjadi semakin penting perannya sebagai perjanjian internasional karena fakta bahwa dalam sebagian besar kasus perjanjian tersebut tidak didahului oleh perjanjian damai seperti yang dahulu berlaku secara universal, namun tetap merupakan sebuah perjanjian yang dapat mengakhiri kekerasan yang terjadi akibat negara-negara yang bertikai.

Batas Demarkasi dan Zona Netral "bebas dari Senjata" mencakup semua provinsi bergolak di Thailand selatan seperti Narathiwat, Patani dan Yala dan lima distrik yaitu Songkhla - Na Thawee, Sadao, Chana, The Pa dan Sabayoi.

"Thailand dan BRN akan bekerja keras untuk memastikan Ramadhan 2013 akan menjadi bulan bebas dari kekerasan untuk menunjukkan ketulusan, komitmen dan keseriusan kedua belah pihak dalam mencari solusi untuk masalah umum melalui platform dialog perdamaian JWG-PDP.

Langkah ini merupakan ujian serius pertama dari upaya mereka untuk mengakhiri kekerasan di meja perundingan.

Para pejuang Patani akan menahan diri dari menargetkan pasukan keamanan, warga sipil Budha dan properti, serta menjamin keamanan non-Muslim di wilayah itu, kata pernyataan tersebut.

Sebagai imbalannya, Thailand akan menahan diri dari "setiap tindakan-tindakan agresif" pada masalah keamanan dan juga menjamin keamanan warga sipil tanpa memandang agama, tambahnya.

Thailand akan terus bertanggung jawab terhadap tindakan pencegahan kejahatan dan pemantauan untuk tujuan keamanan publik.

"Setiap pihak yang melanggar, mengganggu atau menyabot kesepakatan ini akan dianggap sebagai pihak yang tidak mencintai damai dan tidak menghormati statement," klaim pernyataan itu.

Kesepakatan ini rentan dilanggar karena hanya merupakan persetujuan bersama secara verbal dan tanpa penandatanganan hitam di atas putih.

Dewan Keamanan Nasional (NSC), yang merupakan negosiator utama untuk Thailand, pasukan militer dan polis telah berjanji untuk menurunkan serangan mereka pada tersangka pejuang Patani dan memeriksa orang-orang etnis Melayu pada Ramadhan.

Pemerintah juga mengklaim telah mulai menarik tentara dari wilayah itu dan menggantinya dengan polis dalam upaya untuk mengakhiri ketidakpercayaan masyarakat.

Selama periode Gagasan Perdamaian Ramadhan, Dewan Keamanan Nasional Thailand akan menjamin keamanan dan kesejahteraan semua warganya, terlepas apa latar belakang, ras dan agamanya.

Ahmad Zamzamin mengatakan, saat BRN akan memastikan tidak ada kekerasan terhadap pasukan keamanan dan masyarakat, dan pihaknya juga menjamin hak, kebebasan Dan keamanan non-Muslim.

'Setiap pihak melakukan pelanggaran, mengganggu atau menyabotase pemahamanini akan dianggap sebagai pihak yang tidak mencintai perdamaian, dan tidak menghormati aspirasi serta keinginan rakyat Thailand,' katanya.

Ahmad Zamzamin mengatakan Gagasan Perdamaian Ramadhan juga termasuk penarikan personel militer Thailand dari desa-desa etnis Melayu di provinsi Thailand Selatan.

Genjatan senjata adalah perjanjian temporal, akan selesai dengan berakhirnya masa atau dengan merusak perjanjian itu. 

Allah berfirman: 

فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“maka, selama mereka berlaku lurus terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku lurus (pula) terhadap mereka” (Q.S. At-Taubah: 7).
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ
“dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (Q.S. Al-Anfal; 58).

Pemerintah Thailand Mengkhianati Perjanjian Damai

Aparat Tentera Karajaan Kolonial Siam Thailand menghianati Perjanjian gencatan senjata, Kesepakatan gencatan senjata, pihak tentara Thailand telah melakukan pelanggaran. Empat hari keadaan kelihatan aman dan damai. Berlaku pembunuhan dua orang dari etnis Melayu terbunuh ditembak tentara Thai yang ganas. Aparat Tentera melanggar lebih dulu menembak penduduk sipil, tepat di seorang Guru TK (Tadika) Babo Lie atau Muhammad Yalee Ali di desa Banang Kuwe daerah Banangsta yang terletak di Provinsi Yala, waktu itu Selasa (16/07). Sebelum ini seorang laki Melayu bernama Tolib Safi-e di tembak dan meninggal dunia sebelum sehari dari penembakan guru TK pada Senin 15/07.

Juru bicara BRN Hasan Toiyib mengklaim Kerajaan Thailand telah melanggar kesepakatan gencatan senjata yang diselenggarakan Kuala Lumpur Malaysia. BRN segera mengadukan kasus tersebut ke Fasilitator Ahmad Zamzamin. Jika tidak ada tindak lanjut, BRN segera akan mengadakan perlawanan kembali terhadap pemerinta Siam Thailand.

Penghianatan Kerajaan Thailand ini dilaporkan ke JWG-PDP oleh Wakil BRN. Bahwa penduduk sipil, Tolib Safi-e dan Muhammad Yalee Ali adalah mangsa yang terbunuh pertama dalam perjanjian gencatan senjata antara Dewan Keamanan Nasional (NSC), yang merupakan negosiator utama untuk Thailand dan Wakil BRN.

Penembakan pasukan aparat tentera Siam Thailand ke arah warga Melayu Patani merupa pelanggaran gencatan senjata. Kerajaan siam Thailand adalah bangsa yang paling mudah mengingkari kesepakatan dan siap menyerang warga Bangsa Melayu Muslim Patani kapanpun Kerajaan Thailand mau menyerang, meskipun gencatan senjata antara telah dilakukan, namun aparat tentera Siam Thailand tetap saja melakukan serangan ke warga etnis Melayu, utamanya kalau Pejuang Patani meninggalkan ribath (siaga jihad) di tanah pusangkanya.

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“jika mereka merusak sumpah (janjinya) sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti” (Q.S. At-Taubah: 12).


Kesimpulan :

Apa yang salah dari perjanjian gencatan senjata? Apakah isinya yang tidak efektif? Sebenarnya Gencatan Senjata itu sangatlah Efektif karna menimbulkan perdamaian yang secara berangsur-angsur dan bisa menimbulkan perdamaian yang sesungguhnya, selama Perjanjian Gencatan Senjata Selalu di terapkan di Negara yang bersengketa. Akan tetapi Kesepakatan perjanjian selalu di langgar, Apa penyebabnya? Karna Setiap Isi Perjanjian Gencatan Senjata tidak di cantumkan Penerapan Memberikan Sanksi kepada pihak yang melanggar perjanjian gencatan senjata yang masih berlaku. Anda dapat melihat dari fungsi dan contoh isi Perjanjian Gencatan Senjata BRN Vs Siam Thailand di atas apakah terdapat Sebuah Sanksi Bagi Negara Yang melanggar Perjanjian? Maka disinilah Peran JWG-PDP sebagai Saksi perlu memberikan Sanksi dari Perjanjian tersebut.

Instrumen Konsultatif dari aturan dalam Perjanjian Gencatan Senjata Kuala Lumpur menunjukkan contoh-contoh komite yang baik yang dibentuk oleh perjanjian gencatan senjata. Namun perlunya ada Komisi Repatriasi Negara-negara Netral untuk mengawasi gencatan senjata dengan memperhatikan kepentingan Masyarakat Sipil; Komisi Gencatan Senjata Militer (dengan tim gabungan) untuk mengawasi implementasi gencatan senjata; dan Komisi Pengawasan Negara-negara Netral (dengan tim inspeksinya sendiri) untuk memastikan kepatuhan kedua belah pihak terhadap aturan-aturan dalam perjanjian gencatan senjata tersebut.

Dalam proposal gecatan senjata yang diajukan oleh Fasilitator perundingan negosiasi perdamaian di Kuala Lumpur Malaysia, sayangnya gencatan senjata antara Pemerintah Thailand dan BRN tidak ada pihak yang akan diawasi oleh Komisi Pengawasan Internasional, OIC, Badan ASEAN, EU, atau Badan Khas yang di wakili Fasilitator untuk gencatan senjata tersebut. Alhasil, sangat jarang dalam perjanjian gencatan senjata ada sanksi bagi pihak yang melanggar perjanjian tersebut.
 
sumber:
 http://dangerofpatani.blogspot.com/2013/07/gencatan-senjata-ramadhon-berdarah.html
info tambahan:
http://www.ambranews.com/berita-hangat/siapa-yang-melanggar-perjanjian/
http://www.ambranews.com/
http://kembaralisan.blogspot.com/2013/07/maut-ketika-menunggu-beduk-berbunyi.html
http://kembaralisan.blogspot.com/
http://amanpattani.blogspot.com/2013/07/penoreh-getah-ditembak-mati.html
http://amanpattani.blogspot.com/

Khamis, 4 Julai 2013

Bahasa Melayu penentu perjalanan hidup

Setahu saya, masih tidak ramai orang Jepun yang mempelajari bahasa Melayu. Oleh itu, izinkanlah saya menceritakan bagaimana seorang warganegara Jepun dapat bertemu dengan bahasa Melayu, dan bagaimana pula tertarik dengan bahasa ini sehingga melanjutkan pelajaran di Malaysia. 


Saya mula belajar bahasa Melayu di sebuah universiti swasta di Jepun yang bernama Universiti Keio. Sebelum ini saya sama sekali tidak mengenali bahasa Melayu. Saya hanya mengenali Malaysia sebagai negara pengeluar getah dan timah yang utama di dunia.
Saya memasuki Fakulti Pengurusan Dasar, iaitu fakulti baru yang ditubuhkan di sebuah kampus baru yang bernama Shonan Fujisawa Campus, atau kependekannya SFC. Di kampus tersebut semua pelajar dikehendaki mengambil satu subjek bahasa asing. Pada ketika itu, kursus bahasa asing yang ditawarkan di kampus tersebut ialah bahasa Inggeris, bahasa Perancis, bahasa Jerman, bahasa China, bahasa Korea dan bahasa Melayu.
Kebanyakan bahasa asing yang ditawarkan merupakan bahasa yang lazim dipelajari di Jepun, tetapi ada satu bahasa yang agak pelik, iaitu bahasa Melayu. Di sekeliling saya juga tidak ada orang yang boleh bercakap bahasa Melayu atau pernah mempelajarinya. Saya pula  suka sesuatu yang lain daripada yang lain, lalu saya pun membuat keputusan untuk mengambil kursus bahasa Melayu.
Jurusan saya ialah pengurusan dasar, bukan bahasa Melayu, kerana bahasa Melayu hanya ditawarkan sebagai subjek bahasa asing yang dipelajari secara intensif sahaja. Tetapi saya tidak berbakat dan tidak juga berminat dalam bidang pengurusan. Saya lebih tertarik dengan bahasa Melayu, dan minat saya terhadap bahasa Melayu pun semakin bertambah.
Guru yang banyak menolong saya dalam pembelajaran bahasa Melayu pada zaman universiti saya ialah seorang guru Melayu yang bernama Encik Saiful Bahari Ahmad, yang kita bahasakan sebagai ‘sensei’ atau ‘Cikgu Saiful’.
Anak Melayu kelahiran Batu Pahat ini merupakan generasi pertama yang dihantar ke Jepun di bawah Dasar Pandang ke Timur. Beliau bukan sahaja mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Melayu, tetapi juga telah menguasai bahasa Jepun dengan baik. Bahasa Jepunnya begitu bagus sehingga ramai orang menyangka bahawa beliau ialah orang Jepun. Rupa paras beliau yang beribukan seorang wanita keturunan Cina juga menyebabkan orang ramai beranggapan demikian. Beliau dapat menerangkan kemusykiran yang timbul tentang bahasa Melayu dengan menggunakan bahasa Jepun yang sangat jelas.
Pada ketika itu kami serba kekurangan dalam kelengkapan pelajaran, termasuk kamus bahasa Melayu-bahasa Jepun, buku teks dan bahan-bahan lain. Tetapi kehadiran beliau sebagai penutur asli bahasa Melayu yang boleh berbahasa Jepun dapat meyakinkan semua pelajar.
Suasana dalam kelas juga amat seronok, kerana setiap pelajar diberikan ‘nama Melayu’nya,  dan nama itulah digunakan dalam pergaulannya, baik dalam kelas mahupun di luar. Dalam kelas kali pertama, Cikgu Saiful menuliskan nama-nama Melayu, dan menyuruh pelajar memilih satu nama Melayu yang disukainya.
Saya memilih nama Badiuzzaman, kerana diberitahu bahawa nama itu diambil daripada seorang pujangga. Ada juga meminta nama yang tersendiri. Misalnya, ada seorang teman saya yang nama asalnya ‘Tamae’. Dia meminta namanya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. ‘Tamae’ bermaksud ‘mutiara’, dengan itu, dia pun mendapat nama ‘Mutiara’.
Setelah mendapat nama Melayu masing-masing, suasana di dalam kelas juga bertambah seronok dan berasa lebih mesra. Kami begitu mesra dengan ‘nama Melayu’, sehingga kadang-kadang kami terlupa akan ‘nama Jepun’ kawan-kawan! 
Keistimewaan Cikgu Saiful ialah kesungguhan beliau untuk memajukan bakat anak muridnya. Contohnya, setiap cuti tahunan, beliau akan membawa anak muridnya ke kampung kelahirannya, iaitu Kampung Teluk Buluh di Daerah Batu Pahat, Johor. Para pelajar akan berada di kampung tersebut selama lebih kurang tiga minggu, dengan ditempatkan di rumah keluarga angkat masing-masing. Peluang ini amat bermakna bagi pelajar, kerana di Jepun hampir tidak ada peluang untuk menggunakan bahasa Melayu kecuali di dalam kelas. Di samping itu, kami juga berpeluang untuk didedahkan kepada penggunaan bahasa Melayu yang sebenar.
Saya suka melawat rumah-rumah orang kampung, dan bersembang-sembang dengan mereka. Mereka juga menyambut kami, anak angkat Jepun, dengan begitu baik. Kami pun memanggil ahli keluarga angkat dengan panggilan mesra, seperti ‘datuk’, ‘ibu’, ‘kakak’, ‘adik’ dan sebagainya. Kami juga dipanggil dengan nama Melayu masing-masing. Pendek kata, kami diterima sebagai anggota kampung.
Biasanya kami dibawa ke sana selepas tamat kursus bahasa Melayu, iaitu cuti semester setelah selesai tahun pengajian kedua. Tetapi oleh sebab amat selesa dengan kampung, ada ramai, termasuk saya sendiri, yang mengunjungi kampung tersebut berkali-kali.
Kebetulan kami juga berpeluang menyambut hari Raya Aidilfitri di kampung berkenaan. Saudara-mara orang kampung juga balik ke sini, ada yang dari Kuala Lumpur, ada yang dari Singapura dan berbagai-bagai tempat yang lain. Mereka juga mengajak kami untuk melawat rumahnya, dan peluang kami untuk mengembara juga semakin luas. Jika saya ke Kuala Lumpur atau Singapura, saya tidak menginap di hotel, tetapi meminta ‘tumpang’ di rumah saudara orang kampung yang dikenali.
Permintaan kami tidak pernah ditolak, sebaliknya kami selalu disambut dengan baik.  Satu lagi pertolongan yang diberikan oleh Cikgu Saiful ialah beliau tidak jemu membetulkan karangan pelajar. Saya ingin memajukan kemahiran menulis dalam bahasa Melayu, lalu saya cuba menulis karangan dalam bahasa Melayu. Tajuk karangan pula saya pilih sendiri, seperti masalah sosial di masyarakat Jepun, budaya Melayu, keistimewaan bahasa Melayu dan sebagainya.
Tiap-tiap karangan yang saya serahkan kepada Cikgu Saiful dibetulkan dengan teliti dan diberikan ulasan olehnya. Ini merupakan sumber semangat yang penting bagi saya. Saya masih menyimpan karangan-karangan tersebut. Jika dibaca sekarang, karangan-karangan itu ada banyak kelemahan, tetapi inilah titik permulaan dalam bidang penulisan bagi saya.
Ketika saya berada di Jepun, saya juga cuba mencari pelajar-pelajar pertukaran dari Malaysia yang sedang menuntut di Jepun untuk berkawan dan berbual-bual dengan mereka. Antara mereka yang paling rapat dengan saya ialah golongan bekas guru. Mereka melanjutkan pelajaran di Jepun untuk menjadi guru bahasa Jepun di Malaysia kelak. Mereka lebih berusia daripada saya, tetapi mereka menerima saya dan beberapa kawan-kawan saya sebagai ‘member’ mereka.
Sebelum tamat pengajian peringkat sarjana muda, saya telah pun mengambil keputusan untuk melanjutkan pengajian di Malaysia. Tetapi pada peringkat awal agak kelam kabut, kerana ada terlalu banyak perkara yang perlu ditentukan. Belajar di universiti mana? Belajar apa? Dan belajar di bawah siapa?
Jalan untuk melanjutkan pelajaran di Malaysia terbuka secara kebetulan juga. Kunjungan ke Malaysia telah menjadi acara biasa bagi saya. Apabila saya ada di Jepun, saya bekerja sambilan untuk menyimpan wang. Wang yang disimpan itu dihabiskan dengan tiket kapal terbang ke Malaysia dan perbelanjaannya. Kejadian yang saya tidak dapat dilupakan berlaku ketika saya melawat Malaysia, tetapi tidak ingat entah kali keberapa, kerana saya datang ke Malaysia sebanyak 10 kali semasa saya menuntut di universiti.
Pada satu ketika, saya dan kawan-kawan orang Jepun mengikuti beberapa orang Kampung Teluk Buluh yang melawat saudaranya di Batu Pahat. Kami telah lama mengenalinya, kerana dia selalu ke kampung tersebut. Dia dipanggil Kak Nik. Sambil berbual-bual, Kak Nik pun bertanya adakah saya masih ingat nama penuhnya.
Di Johor, tidak seperti di Kelantan, orang yang bernama Nik tidak begitu ramai. Oleh itu jika kita sebut ‘Kak Nik’, semua orang di kampung tahu siapa orang yang dimaksudkan. Saya juga tidak terlupa nama penuhnya. Sebagai gurauan, saya menyebut nama pakar linguistik yang saya hormati dan minati, iaitu Nik Safiah Karim.
Buku Tatabahasa Dewan, hasil penulisannya, saya sudah habiskan tidak kurang daripada dua kali pada ketika itu. Setelah membaca buku tersebut dan buku-buku serta artikel-artikel beliau yang lain dalam majalah, journal dan surat khabar, saya menjadi peminat setianya. Saya juga amat tertarik dengan gaya penulisannya dan jelas dan teratur.
Alangkah terkejut saya apabila Kak Nik menjawab gurauan saya dengan mengatakan bahawa itu nama saudaranya. Mula-mula saya tidak percaya sama sekali apa yang dikatakannya.
Kak jangan bohong, tak baik tahu!” kata saya.
Aku tak bohong pun.” Kak Nik jawab dengan tenang.
Saya memberitahu kepada Kak Nik betapa saya kagum dengan insan yang bernama Nik Safiah Karim, dan saya menuntutnya untuk menunjukkan buktinya yang jelas bahawa Kak Nik, kawan baik saya ini memang saudara kepada ahli bahasa yang saya hormati.
Dia pula bertanya, “Engkau nak cakap dengan dia?”
Saya berdebar-debar, kerana tidak pernah menyangka ada peluang untuk bercakap dengan orang yang saya amat minati. Kegilaan saya pada ketika itu bukan kepada Ella, Fauziah Latif atau Erra Fazirah, tetapi kepada ahli bahasa ini! Secara spontan saya menjawab “Nak!”.
Kak Nik pun mengangkat gagang telefon, dan menelefon ke rumah saudaranya. Kak Nik bercakap dengan orang yang berada di hujung talian dengan loghat Kelantan, dengan nada yang begitu mesra. Tentulah Kak Nik ini saudara kepada ahli bahasa yang terkenal ini...        Kepada orang yang ada di sana, Kak Nik berkata “Ini ado oghe Jepong hok nok kecek denga Mok Cu.” Lalu Kak Nik menyerahkan gagang telefon kepada saya.
“Nah, ini saudara aku.” Oleh sebab terlalu teruja, saya hampir tidak ingat apa yang saya bercakap dengan idola saya pada ketika itu. Tetapi saya sempat menyatakan keinginan saya untuk berjumpa dengan beliau, dan saya menyerahkan gagang telefon semula kepada Kak Nik dengan hati yang amat gembira, kerana beliau juga sudi berjumpa dengan saya apabila saya ke ibu kota kelak.
Saya sempat berjumpa dengan Prof. Nik Safiah Karim sebanyak dua kali di kediaman beliau di Petaling Jaya. Pada kali pertama, beliau menyambut saya dengan mesra, dan saya pun menyatakan hasrat saya untuk melanjutkan pelajaran di Malaysia. Beliau memberi galakan dan semangat.
Setelah itu saya belajar bahasa Melayu lebih rajin daripada sebelum itu. Beberapa bulan kemudian, saya melawat beliau sekali lagi, dan memberitahunya bahawa saya ingin belajar di Akademi Pengajian Melayu (APM), Universiti Malaya (UM). Beliau bertanya tentang apa yang hendak dikaji, dan saya memberikan keterangan yang agak lanjut tentangnya.
Setelah mendengarnya, beliau mengatakan bahawa beliau sanggup menjadi penyelia saya. Perasaan gembira saya pada ketika itu mungkin tidak perlu diterangkan lagi. Setelah tamat pengajian di Jepun, saya pun menyerah borang permohonan untuk kursus sarjana di APM, UM dengan menulis nama penyelia yang dicadangkan, yang sanggpu menerima seorang lagi pelajar dari Jepun.
Begitulah bahasa Melayu telah menentu perjalanan hidup saya. Tetapi bukan itu sahaja. Bahasa Melayu amat bermakna bagi saya, kerana melalui bahasa Melayu lah saya mengenali agama Islam, dan akhirnya memeluk agama suci ini. Saya bukan dipengaruhi oleh pendakwah atau ahli agama tertentu, tetapi tertarik dengan cara hidup orang Melayu yang berasaskan ajaran agama, yang mementingkan hubungan keluarga, kesucian diri dan kesederhanaan. Kalau tidak mempelajari bahasa Melayu, kemungkinan besar saya tidak berpeluang mengenali agama Islam.   
Oleh sebab bahasa Melayu begitu penting dalam perjalanan hidup saya, kadang-kadang saya terasa kurang senang dengan sikap sesetengah orang Melayu yang tidak setia kepada bahasanya sendiri, tidak seperti sikap terhadap bahasa di negara jiran.
Saya juga berpeluang untuk ke Indonesia beberapa kali. Saya tidak pernah belajar bahasa Indonesia secara formal, tetapi saya tidak mengalami sebarang masalah berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia. Saya juga amat senang hati setiap kali ke Indonesia kerana semua orang Indonesia bangga dengan bahasanya sendiri. Apabila mereka tahu saya ‘bisa berbicara bahasa Indonesia’, mereka pasti menunjukkan rasa gembira, walaupun bahasa yang saya bertutur itu bukan bahasa Indonesia, tetapi bahasa Melayu.
Kadang-kala keadaan yang sebaliknya berlaku di Malaysia. Izinkanlah saya menceritakan beberapa peristiwa kecil untuk menunjukkan bahawa masih ada segelintir manusia Melayu yang tidak setia kepada bahasanya.  
Apabila saya sedang menuju ke suatu tempat di Kuala Lumpur, saya tidak dapat mencarinya. Kebetulan ada seorang wanita Melayu berlalu di situ. Saya memberi salam, lalu memintanya untuk tunjukkan jalan ke tempat berkenaan dalam bahasa Melayu. Jawapan yang diberikan ialah “OK, you go straight, and then turn left, you’ll find...” Saya berkata “terima kasih”, tetapi jawapan yang diberikan ialah “welcome”.
Kejadian yang seterusnya berlaku di imigresen di Lapangan Terbang Antarabangsa Subang. Lelaki Melayu pertengahan umur yang bertugas di situ bertanya dalam bahasa Inggeris.  
“What’s the purpose of your visit?” Saya menjawab dalam bahasa Melayu, “Saya mahu melanjutkan pelajaran di Universiti Malaya. Ini suratnya”, sambil menunjukkan surat tawaran dari universiti berkenaan.
Dia bertanya lagi, “So where’s your visa? You don’t have a student visa!” Saya memberitahunya bahawa saya akan memohon visa kemudian. Pegawai berkenaan juga bertanya soalan ketiga dalam bahasa Inggeris juga. Oleh sebab saya tidak berapa pandai berbahasa Inggeris, lalu saya pun meminta beliau untuk bercakap bahasa Melayu.
“Encik boleh tak cakap bahasa Melayu, sebab saya tak berapa faham bahasa Inggeris.” Tetapi dia tetap enggan, dan dengan nada yang kasar berkata,
“I speak English for you because you are a foreigner!”
Itu memang baik bagi orang asing yang tidak boleh berbahasa Melayu. Tetapi apa rasionalnya penutur asli bahasa Melayu bercakap bahasa Inggeris dengan orang asing yang lemah bahasa Inggerisnya, tetapi boleh bercakap bahasa Melayu? Saya pun mula naik radang, lalu berkata, “Takkan semua orang asing pandai cakap bahasa Inggeris! Lagi pun bahasa Melayu bahasa kebangsaan dan bahasa rasmi Malaysia. Apa salahnya saya cakap Melayu?”
Dia pula terus bermuka masam, dan mula melambat-lambatkan urusan, dengan bertanya itu dan ini, soalan yang hampir tidak ada kena-mengena dengan urusan imgresen, semuanya dalam bahasa Inggeris. Jawapan saya tetap dalam bahasa Melayu. Setelah selesai urusan di sana, saya mengambil pasport yang diserahkan tanpa megnucapkan terima kasih kepadanya.
Satu lagi pengalaman sedemikian berlaku apabila saya membentangkan kertas kerja dalam satu seminar tentang bahasa dan sastera Melayu. Kesemua kertas kerja dan pembentangan adalah dalam bahasa Melayu. Setelah selesai pembentangan, disediakan minum pagi. Ada seorang wanita Melayu yang juga pembentang kertas kerja mendekati saya dan memuji pembentangan saya dengan berkata,
“Your Malay is very good. I was so impressed by your presentation! Where did you study Malay?”
Saya gembira kerana pembentangan saya dipuji oleh orang, tetapi tidak gembira kerana pujian itu tidak diberikan dalam bahasa yang saya gunakan dalam pembentangan tadi. Saya pun menjawab soalannya dalam bahasa Melayu.
Bukan itu sahaja, apabila menonton berita televisyen di Malaysia, ahli politik bukan Melayu lebih banyak menggunakan bahasa Melayu, manakala ahli politik Melayu pula ramai yang  tidak menggunakan bahasa Melayu, atau mencampuradukkannya dengan bahasa Inggeris. Saya tidak pernah melihat ahli politik Jepun menjawab soalan wartawan tempatan dalam bahasa asing. Tetapi di Malaysia, soalan yang diajukan dalam bahasa Melayu kerap kali dijawab dalam bahasa asing. Satu keadaan yang sungguh menghairankan.
Sebenarnya banyak lagi kejadian yang boleh melemahkan semangat orang asing yang ingin mempelajari bahasa Melayu, kerana bahasa yang kami pelajari dengan sungguh-sungguh tidak pula diutamakan oleh sesetengah penutur aslinya sendiri.
Saya berharap bahasa yang begitu bermakna bagi saya tetap berkembang di persada dunia. Saya juga akan terus berusaha untuk mengambil bahagian dalam usaha mengembangkan bahasa Melayu, kerana saya terhutang budi kepada masyarakat Melayu, terutamanya guru-guru dan sahabat-sahabat saya dalam mempelajari bahasa Melayu. Tetapi pada masa yang sama, masyarakat Melayu juga perlu menukar perspektif yang negatif terhadap bahasa Melayu.
Saya ingin melihat bahasa Melayu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bahasa-bahasa utama di dunia. Dari segi kemampuan bahasa itu sendiri, saya yakin tahap itu sudah pun tercapai. Ini perlu disertakan dengan sikap penutur yang penuh bangga dengan bahasanya sendiri. Saya berasa bangga dengan bahasa Melayu yang selama ini saya pelajari. Tetapi kenapa pula masih ada orang Melayu yang tidak bangga dengan bahasa Melayu, sedangkan bahasa Melayu ialah bahasa ibunda mereka? 

dari: http://www.deepsouthwatch.org/dsj/4443