Rabu, 10 Ogos 2011

بغكوك بري سموا.. كجوالي هركا ديري دان كمرديكأن

Bangkok Beri Semua, Kecuali Harga Diri dan Kemerdekaan
by jawa pos

Jawa Pos – Mengunjungi Pattani, Jantung Komunitas Muslim Melayu di Thailand yang Sedang Bergolak. Sudah puluhan tahun Bangkok mengerahkan tentara besar-besaran dan dana miliaran baht ke Thailand Selatan, namun kekerasan masih terus terjadi. Sejumlah tokoh yang ditemui di Pattani berpendapat, konflik tak berhenti karena memang bukan itu yang diperlukan.
Laporan oleh: Abdul Rokhim dari Pattani, Thailand
Mengelilingi Kota Pattani, satu hal yang harus diakui, infrastruktur amatlah baik. Jalan luas dan mulus. Sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, dan fasilitas umum dibangun dengan megah. Di kota berpenduduk tak sampai satu juta itu tersedia pusat perbelanjaan Big C Superstore dan puluhan diler mobil serta kedai seluler. Namun, apa yang tampak di mata itu bisa menipu. Beberapa warga Pattani dari kalangan pengusaha, mahasiswa, dan tokoh masyarakat yang ditemui Jawa Pos mengaku resah dengan naiknya eskalasi konflik akhir-akhir ini.
Nattapong Suwanmongkol, 56, pengusaha penjual mobil bekas, mengakui konflik Patani secara tak langsung mengusir warga Thai nonmuslim keluar dari Pattani dan kota-kota yang bergolak lain, seperti Yala dan Narathiwat. Mereka takut terhadap tindak kekerasan, termasuk kepada warga nonmuslim, yang terus meningkat. “Rasa curiga membakar warga karena pemerintah tak pernah menjelaskan siapa pelakunya. Kami seperti diikuti bayang-bayang gelap yang bisa merusak bisnis dan membunuh keluarga kami setiap saat,” keluh penganut Buddhis itu saat ditemui di tempat usahanya, Minggu (23/3).
Nattapong yang pernah dilibatkan dalam tim nasional rekonsiliasi Thailand Selatan bentukan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra itu menilai, ada kesan tentara menangkap orang hanya untuk menenangkan warga dan menunjukkan bahwa mereka mampu. “Tapi, setelah penangkapan, kekerasan semakin sering. Sekarang orang tak percaya lagi. Setelah bom di Hotel CS Pattani, bisnis terus memburuk,” kata Nattapong yang gerai dilernya berada di dekat Hotel CS Pattani. Saat ini Nattapong hanya menjual tiga sampai lima mobil dalam seminggu. Padahal, sebelum 2004, saat konflik meluas akibat tragedi Tak Bai dan darurat militer, jumlah itu dulu ludes hanya dalam satu hari. “Beberapa teman sudah menutup usaha dan pergi ke utara. Jika tak ada tanda-tanda membaik, sebaiknya saya juga pindah,” kata bapak empat anak itu.
Apa yang dirasakan Nattapong sesuai dengan data Pemerintah Thailand. Tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi di selatan hanya 1,8 persen tahun lalu. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional 4,3 persen. Ada 108 pabrik tutup sejak 2004 dan 10,8 persen penduduk selatan berada di bawah garis kemiskinan. Bukan hanya di sektor bisnis. Kemunduran juga terjadi di bidang pendidikan. Kampus Prince of Songkhla University (PSU), universitas terbesar di Pattani, mencatat kini 90 persen mahasiswanya muslim. Padahal, dulu sebelum konflik, mahasiswa dari seantero Thai yang berbeda agama datang studi ke sana. Tak heran, pemandangan di kampus PSU Pattani sekarang mirip dengan kampus Indonesia. Banyak mahasiswi berjilbab, ada masjid, ada banyak tempat salat, serta makanan semua halal. Sangat berbeda dengan wajah kampus-kampus di Bangkok. “Mahasiswa nonmuslim yang bertahan di sini umumnya juga hanya menghabiskan sisa waktu belajar. Sedangkan mahasiswa baru nonmuslim belakangan ini hampir tak ada,” kata Nur Imani, 21, mahasiswi tingkat akhir Jurusan Fisika, saat ditemui sedang browsing internet di taman kampus PSU.
Ismail Ali, 37, seorang dosen PSU ditemui di tempat yang sama membenarkan adanya rasa takut yang menghantui mahasiswa nonmuslim. “Sebelum 2004, orang Melayu dan Siam biasa hidup berdampingan. Baru setelah itu (Insiden Tak Bai yang menewaskan banyak warga muslim), rasa saling curiga berkembang di antara kedua golongan. Apalagi jika mereka tak saling kenal,” kata direktur kajian Islam PSU yang mengaku sering diajak berdialog pemerintah Thailand itu. Rusdi Tayeh, 51, timbalan (wakil) ketua Majelis Umat Islam Pattani, mengungkapkan, keadaan sekarang sebetulnya bukan hanya membuat tak nyaman warga nonmuslim. “Kalau boleh, muslim di sini juga ingin pergi. Tapi, ke mana? Ke Bangkok tak lebih baik karena tak merasa sebagai negeri sendiri. Ke Malaysia kendati agama dan budaya sama juga mengundang masalah, karena negaranya berbeda. Apalagi, Malaysia cukup tegas terhadap pendatang haram,” katanya saat ditemui di kantornya, belakang masjid besar Pattani yang berdiri megah.
Rusdi yang pernah menjadi takmir masjid di kompleks Polri Jogjakarta (saat menuntut ilmu di IAIN Sunan Kalijaga) itu mengatakan, pemerintah Thailand berusaha men-Siam-kan rakyat Melayu di Thailand Selatan yang berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa dari sekitar 63 juta penduduk Thailand. Menghadapi kebijakan itu, kata dia, rakyat keturunan Melayu dengan identitas budaya dan agama berbeda melihatnya sebagai bentuk penindasan kolonial. “Kami adalah bangsa dengan identitas Melayu yang sangat berbeda dengan bangsa Siam. Ini fakta sosio-historis dan sudah ada jauh sebelum terbentuknya kerajaan Thailand,” ujar Rusdi merujuk penyerahan wilayah Thailand Selatan yang dikuasai Kerajaan Pattani kepada Kerajaan Siam oleh Inggris pada 1902.
Menurut Ahmad Khamil, 45, kepala sekolah Islam Mahad Attarbiyah, Pondok Bandar, Pattani, karena Kerajaan Pattani diserahkan secara paksa kepada Kerajaan Siam, dengan sendirinya bentuk hubungan kerajaan Thailand dengan rakyat di bekas Kerajaan Pattani (Pattani, Yala, dan Narathiwat), tidak berbeda dengan kekuasaan penjajah atas rakyat yang dijajah. “Hak-hak rakyat di negeri jajahan diabaikan. Lowongan kerja di pemerintahan hanya terbuka untuk pegawai rendahan. Sedangkan pembangunan sekadar lipstik yang menyentuh daerah ini,” kata Khamil yang pernah menjadi staf Prof Dr Amien Rais saat riset doktor di UGM Jogjakarta dulu.
Untuk mengekspresikan agama dan budayanya, lanjut Khamil, rakyat Melayu selalu mendapat halangan. “Untuk bekerja di jawatan rumah sakit, muslimah kami dilarang keras memakai jilbab. Bahkan, saat menghadiri pertemuan nasional di Bangkok, selalu ada imbauan untuk tidak memakai kerudung, peci, atau baju muslim,” kata pengelola sekolah yang mendidik 2.500 murid itu. Menurut Khamil, bangsa Siam selalu menganggap masyarakat muslim Melayu sebagai warga bodoh dan terbelakang, hanya karena kami memakai sarung, berkopiah, atau menggunakan serban. “Padahal, itulah identitas kami dan kami juga lulusan perguruan tinggi,” kata calon peraih gelar PhD dari Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Islam Antara Bangsa Malaysia, bahkan dari timur tengah Universitas al-Azhar, Madinah pun ada, itu dengan nada tinggi.
Karena itulah, sumber masalah di Thailand Selatan kini tidak lagi terbatas pada konflik antara kelompok miskin yang cemburu dengan kelompok kaya dan berkuasa di utara, tetapi sudah mencakup perlawanan terhadap penghapusan peradaban yang diyakini ratusan tahun.
Masuknya unsur agama dalam konflik ini merupakan hal yang tidak terhindarkan. “Identitas Melayu mencakup agama Islam, sementara pemerintah Siam beragama Buddha,” ujar Rusdi yang mengetuai bidang pendidikan di hampir 300 sekolah Islam di seluruh Pattani. Meski demikian, baik Khamil maupun Rusdi membantah bahwa konflik di wilayah Thailand Selatan sudah berubah menjadi perang agama. “Apa yang terjadi di sini semata-mata menyangkut perjuangan suatu bangsa yang ditindas,” ujar Khamil. Perjuangan rakyat Pattani, lanjut dia, mempunyai landasan historis, budaya, maupun etnis. Sebab, di Thailand Selatan, baik agama, budaya, maupun bahasa rakyat Pattani berbeda dengan masyarakat Siam yang berkuasa. Ini berbeda dengan kasus Aceh yang ingin memisahkan diri dari negara yang pemimpinnya juga muslim serta sama-sama menggunakan bahasa Indonesia.
Lantas apa solusi terbaik untuk konflik di Thailand Selatan? Tiga intelektual muslim Pattani mempunyai pandangan hampir sama. Ismail Ali mengatakan, pemerintah Thailand harus mulai realistis. Hingga Januari 2001, kata Ismail, pemerintah masih yakin tak ada gerakan separatis di Thailand Selatan. Semua baru terkejut setelah terjadi serangan dan perampokan senjata dalam jumlah besar di sebuah markas tentara, 4 Januari 2004, lalu dilanjutkan serangan masif dan terkoordinasi pada 28 April. “Pemerintah tak lagi bisa membantah, serangan-serangan itu dilancarkan kaum pemberontak dan bermotif politik untuk merdeka,” ujarnya.
Khamil dan Rusdi menambahkan, persepsi masyarakat muslim telanjur mengalami transformasi akibat berbagai peristiwa kekejaman yang dilakukan rezim Bangkok selama ratusan tahun. “Kami melihat sendiri ribuan pengunjuk rasa di Tak Bai diangkut dengan posisi tiarap dan tangan terikat ke belakang disusun bertindihan hingga lima lapis dalam satu truk menuju markas militer di Songhkhla,” cerita Rusdi. “Mereka memperlakukan warga keturunan Melayu melebihi binatang. Hal yang mustahil mereka perbuat terhadap warga Siam. Kami ingin semua ini berakhir. Satu-satunya cara adalah dengan kemerdekaan,” lanjutnya.


Khamil mengakui, tragedi Tak Bai beberapa lalu merupakan kebangkitan kesadaran rakyat keturunan Melayu di Thailand Selatan atas penindasan yang dialami mereka selama ini. “Mereka bisa memberi kami semua jalan yang lebar dan gedung-gedung megah, tapi kami tidak diberi kemerdekaan dan harga diri,” ungkapnya. Tragedi Tak Bai yang mengakibatkan 80 lebih warga muslim tewas membuat rakyat Thailand Selatan menuntut kemerdekaan. Mereka menagih dengan bom, serangan sporadis, bahkan pembunuhan pejabat.
Aparat keamanan Thailand mencatat ada 2.633 serangan terhadap personel militer di kawasan selatan sepanjang tahun lalu. Angka itu meningkat dari jumlah serangan tahun sebelumnya yang hanya 1.324. Untuk meredam serangan, aparat keamanan Thailand sudah menahan 3.000 orang.(Jawa Pos)

2 ulasan:

  1. tidak ada hal yang kita dapat tuntut kepada Siam kecuali mesti buat seperti cerita ini
    http://www.ambranews.com/arikel/sejarah/anak-jantan-dari-patani/

    BalasPadam
  2. Assalamualaikum Kepada semua Umat Islam Pattani Langkasuka,

    Perjuangan yang sebenar adalah kembali kepada sejarah asal Pattani Langkasuka.Empayar Kerajaan Islam Pattani yang di perintah oleh Raja Islam yang Berdaulat. Tempoh 100 tahun perjanjian Inggeris-Siam 1909 sudah berkahir. Bersatuhatilah para pejuang,carilah Pewaris Raja Pattani Langkasuka ini yang masih ada. Mulakan langkah berdoa kepada Allah supaya dipertemukan dengan Pewaris ini,bertemulah dengan guru-guru Mursyid/Ulama dan kumpulkanlah mereka serta dapatkan nasihat dari mereka bagaimana ingin mencari Pewaris ini. Masanya sudah hampir tiba. Kebangkitan Empayar Kerajaan Islam Pattani Langkasuka sudah makin hampir. Kebangkitan Empayar ini akan menjadi pencetus kebangkitan Pemerintahan Islam dunia berlandaskan ALQuran&Sunnah.Sistem Demokrasi Berparlimen dan Pilihanraya ciptaan Yahudi Nasrani akan terhapus. Kekejaman Bangsa sukhothai terhadap umat Islam akan berakhir.Bencana banjir sebagai petunjuk,Rajanya sudah 2 tahun mengalami kesakitan. Ayuh umat Islam Pattani Langkasuka bangun,jangan dibuai mimpi dengan sistem pecah dan perintah yang telah diterapkan oleh Sukhothia dan Yahudi Nasrani ini. Sistem kajian mereka yang telah berjaya memusnahkan seluruh Negara Islam di dunia selama ratusan tahun ini. Yakinlah dengan IzinAllah,Patatani Langkasuka akan menjadi pencetus kebangkitan Empayar Islam di akhir zaman ini. Sejarah telah membuktikan Islam telah memerintah 3/4 dunia suatu waktu dulu. Allahuakhbar,allahuakhbar,Allahukhbar.Amiin dari JejakYangHilang

    BalasPadam