Selasa, 25 Mac 2014

Damai Setengah Hati di Patani Darussalan

JUMAT, 28 Februari lalu berlangsung Festival Hari Media Damai 2014 di Universitas Songkhla Nakharin atau Prince of Songkhla University (PSU) kampus Pattani, Thailand bagian selatan. Festival itu untuk mengingati satu tahun Proses Dialog Damai Kuala Lumpur antara Pemerintah Thailand dengan pejuang pembebasan Patani dan Dato Ahmad Zamzamin Hashim dari Kantor Perdana Menteri Malaysia sebagai fasilitator.
Pada tanggal itu setahun lalu, bermula era baru dalam sejarah pergolakan dan konflik bersenjata di  Thai selatan, yang meliputi wilayah-wilayah (provinces) Pattani, Narathiwat, Yala dan sebahagian dari wilayah Songkhla. Sebuah daerah mayoritas Melayu penganut agama Islam yang sebelumnya dikenali sebagai Kerajaan Melayu Patani. Sejak tahun 1902 - negeri yang terkenal sebagai ‘ladang subur’, tempat lahirnya ulama-ulama besar Tanah Melayu – ini jatuh di bawah takluk Siam (kini Thailand).
Konflik bersenjata di Patani fasa terakhir mulai marak sejak sepuluh tahun lalu. Dalam rentang waktu tersebut hampir tidak ada hari terlewatkan tanpa ledakan bom atau salakan senjata api lainnya. Seperti dilaporkan Deep South Watch yang bermarkas di Universitas Songkhla Nakharin kampus Pattani di antara 1 Januari sehingga 22 Desember 2013 tercatat insiden pengeboman sebanyak 320 kali.  Masing-masing di wilayah Pattani 105 kali, Narathiwat 129, Yala 69 dan wilayah Songkhla 17 kali. Itu belum termasuk insiden baku tembak dengan senjata api. Dalam satu dekade ini, sejak Januari 2004, sudah mengorbankan sekitar 5.000 nyawa dari kedua pihak, Muslim dan Buddha.
 Abu Hafez Al Hakim, wakil para pejuang pembebasan Patani yang berbicara lewat klip video pada peringatan satu tahun Proses Dialog Damai KL mengatakan, konflik politik, sejarah, budaya dan sosial di Patani bukan baru terjadi sejak 10 tahun belakangan ini. Tapi ianya merupakan mata rantai dari suatu proses perseteruan entik yang panjang, sudah lebih dari 200 tahun.
Konsensus umum Proses Dialog Damai KL itu ditandatangani Sekjen Dewan Keamanan Nasional Thailand yang mewakili pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan kelompok penjuang pembebasan Patani diwakili BRN (Barisan Revolusi Nasional Melayu Patani). Ini merupakan titik perubahan penting dalam sejarah penyelesaian gejolak politik di Thailand bagian selatan. Perubahan itu terjadi pada momentum yang tepat, saat Malaysia sedang di ambang Pemilu ke-13. Setidaknya, pemerintah Barisan Nasional pimpinan Najib Razak mendapat sedikit untung untuk mengaut suara Melayu konon pemerintah peduli terhadap penderitaan kaum Melayu di seberang perbatasan.
Upacara penandatangan Konsensus Umum Proses Dialog Damai dirasakan sangat terburu-buru, yakni hanya beberapa minggu setelah mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra berkunjung ke Kuala Lumpur untuk menemui wakil pejuang pembebasan Patani. Pada kesempatan itu, Thaksin yang kini bermukim di Dubai menyampaikan permohonan maaf kepada ummat Islam di Thailand selatan di atas kesalahan yang dilakukan aparat keamanan selama dalam pemerintahannya. Termasuk kesalahan paling fatal, yakni pembunuhan kejam yang terkenal dengan Tragedi Tak Bai di Narathiwat dan Tragedi Masjid Krisek di Pattani.
Dalam tragedi Tak Bai seratus orang lebih para demonstran yang menuntut dibebaskan guru agama yang ditahan di Kantor Kepolisian Tak Bai, dibrondong dengan peluru hidup dan ditangkap setelah diperlakukan secara sangat biadab. Sebagian langsung meninggal di tempat. Selebihnya diringkus dan disumbat di belakang truk tentara dengan menyusun tubuh-tubuh tak bermaya itu layaknya seperti ikan sardin. Puluhan orang meninggal karena sesak nafas tertindih tubuh sesama tahanan. Menempuh jarak perjalanan hampir 200 kilometer untuk membawa tahanan ke tempat interogasi di kem tentara Telaga Bakung di Pattani. Kejadian buruk dalam bulan Ramadan 2004 itu sebagai penyulut bara api yang bahang panasnya telah dan sedang dirasakan semua pihak yang terlibat dalam kemelut politik di Thai selatan.
Proses Dialog Damai KL tidak hanya diikuti secara cermat oleh masyarakat regional tapi juga dipantau pengamat hak-hak asasi manusia internasional. Seperti diceritakan Abu Hafez, sejak ditandatangani konsensus umum antar pemerintah Thai dan wakil para pejuang (BRN), kedua pihak duduk di meja rundingan sebanyak 3 kali (Maret, April dan Juli 2013). Di luar pertemuan formal itu, kedua pihak beberapa kali bertemu dengan fasilitator, Dato Zamzamin. Delegasi Thai dipimpin Sekjen Dewan Keamanan Nasional, Paradorn Pattanatabut sementara delegasi BRN diketuai Ustaz Hassan Taib.

Damai Setengah Hati
Sejak awal-awal lagi media massa Thailand secara tidak etis menyiarkan berita Proses Dialog Damai KL dengan maksud tidak baik. Melontarkan kritik-kritik liar, membuat spekulasi tanpa fakta jelas dan menurunkan komentar-komentar bias. Sangat sedikit yang menanggapi proses damai di antara dua musuh yang telah menelan ribuan nyawa itu secara positif. Dan sudah tentu yang kuat menantang adalah orang-orang dari Partai Demokrat, musuh ketat Partai Peua Thai pimpinan PM Yingluck Shinawatra.
Partai Demokrat merasakan benar-benar terpukul karena selama puluhan tahun mereka memerintah, hanya sengsara yang dirasakan masyarakat Melayu di bagian selatan negara itu. Dan, yang lebih dikhawatirkan seandainya dialog damai itu benar-benar membuahkan hasil positif seperti yang diharapkan, Demokrat akan kehilangan suara yang sangat besar di rantau yang sedang bergolak itu.
Proses Dialog Damai KL mulai tampak ada sedikit keraguan setelah kedua pihak tidak bisa mematuhi kesepakatan untuk mengurangi kekerasan selama 40 hari bermula pada awal Ramadan 2013, yang dikenali dengan Inisiatif Damai Ramadan (Ramadhan Peace Initiative). Pada tahap awal, inisiatif yang dibuat sepihak oleh fasilitator ini dinilai cukup baik, tetapi akhirnya berantakan di tengah jalan.
Sebab dalam inisiatif yang diumumkan pada 12 Juli 2013 itu disebutkan bahwa masing-masing pihak – para pejuang bersenjata pembebasan Patani dan tentara Thai – harus menahan diri dengan mengurangi tindak kekerasan. Menanggapi hasrat baik tersebut, BRN spontan menyambut dengan menyatakan, mereka tidak hanya akan mengurangi kekerasan bahkan akan berhenti sama sekali tembak menembak selama bulan Ramadan. Tentu saja dengan syarat, tentara pemerintah harus ditarik balik ke kamp masing-masing. Selama tempo tersebut tentara Thai tidak boleh lagi berkeliaran di tengah-tengah masyarakat Melayu.
Namanya saja inisiatif yang dibuat secara terburu-buru dan pra-matang, dalam minggu pertama saja aparat keamanan sudah menembak mati beberapa pemuda aktivis perjuangan. Itu tidak hairan, kerana terdapat beberapa kelemahan dalam inisiatif tersebut. Di antaranya tidak disebutkan secara jelas siapa yang akan memantau keadaan di lapangan selama ‘gencatan senjata’ tersebut. Masyarakat juga tidak menerima informasi yang tepat tentang terma yang disepakati. Seperti kalau ada pelanggaran harus diadukan ke pihak mana. Karena tidak tahan diserang sepihak, akhirnya pejuang bersenjata membalas dengan menyerang anggota keamanan Thai. Inisiatif Damai Ramadan pun bubar dengan masing-masing pihak saling menyalahkan.
Bagaimana pun kesepakatan untuk duduk semeja masih menjadi hasrat bersama. Agar pembicaraan lebih terarah, melalui pesan YouTube, pada 6 Agustus 2013, pihak BRN mengajukan Tuntutan Awal 5 Perkara untuk dijadikan agenda perbahasan. Untuk lebih jelas tentang isi tuntutan itu, panel pejuang menghuraikannya dalam 25 halaman. Yang dirasakan berat bagi pihak Thai untuk menerima tuntutan awal itu di antaranya disebutkan bahwa Bangkok harus mengakui ketuanan bangsa Melayu di atas bumi Patani yang dijajah secara mutlak sejak 1902.
Yang tidak kalah penting, proses dialog damai mesti mendapat perkenan (endorse) dari parlemen Thai dan ianya menjadi salah satu agenda nasional. Juga harus mengangkat status Malaysia sebagai mediator, bukan hanya sekadar fasilitator. Wakil-wakil badan atau organisasi seperti Asean, OIC dan LSM asing harus dilibatkan sebagai observer. Semua yang diminta BRN itu ditolak mentah-mentah oleh Bangkok. Seperti dikatakan Paradorn, kerana yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu masalah internal negeri Thai, tidak harus dilibatkan pihak luar.
Tak jelas apakah dialog damai KL akan diteruskan atau dihentikan di tengah jalan, tergantung keadaan. Sebab sejak beberapa bulan lalu pemerintahan pimpinan Yingluck sedang digoyang kelompok oposisi. Untuk mengatasi kekalutan itu, pemerintahan Yingluck sempat pula menggelar pemilu, Februari lalu, yang diboikot oposisi dengan restu istana. Padahal sebelum itu, Yingluck terlanjur membubarkan kabinet bahkan kini dia hanya sebagai penjabat perdana menteri.
Gelombang demonstrasi menuntut Yingluck (sebagai pimpinan kelompok baju merah) supaya menyerahkan tampuk kekuasaan kepada apa yang dikenali sebagai PDRC  (People’s Democratic Reform Committee). Gerakan ini bisa juga ditafsirkan sebagai kekhawatiran berlebihan oposisi, juga pihak istana, tentang masa depan institusi monarki di Negeri Gajah Putih itu. Suthep Tuaghsuban, dalang pengunjuk rasa ‘kelompok baju kuning’ sangat berambisi untuk mengusir Yingluck dari Government House. Selain untuk merebut kuasa politik, pengerahan massa berbulan-bulan yang melumpuhkan sebagian kota Bangkok itu dilihat lebih sebagai upaya untuk menjaga survival sistem monarki berparleman, serta mengelak kemungkinan Thailand akan berubah menjadi negara republik setelah Raja Bhumipol Adulyadej meninggal kelak.
Selain masalah bangsa Melayu Patani yang menuntut kemerdekaan di bagian selatan, isu yang cukup hangat sejak akhir-akhir ini adalah tentang kemungkinan etnik minoriti di Thailand bagian utara juga akan menuntut kemerdekaan. Menurut sejarah, pernah wujud Kerajaan Lanna dengan pusat pemerintahan di Chiang Mai, yang kini dijajah oleh Bangkok. Itulah di antara faktor yang membuat situasi politik di Thailand hari ini kacau-bilau. Ini dapat juga dilihat sebagai karma terhadap dosa masa lalu Thai yang suka ‘merampok’ hak milik orang lain, termasuk ‘mengangkangi’ bumi bangsa Melayu Patani.
Apakah Proses Dialog Damai KL akan diteruskan ataupun dihentikan, tergantung sejauh mana nawaitu dan keikhlasan pihak Thai untuk menyelesaikan hutang sejarah dengan bangsa Melayu Patani. Seperti dikatakan  Abu Hafez, para pejuang Patani sudah beberapa kali terlibat dalam perbicaraan damai non-formal dengan pihak-pihak yang mengaku sebagai wakil pemerintah Thai dan sejumlah LSM asing. Pertemuan pernah berlangsung di Pulau Langkawi, Bogor, Geneva dan sebagainya. Tapi semuanya tak lebih dari muslihat Thai belaka, untuk sekadar mengetahui sejauh mana kekuatan persenjataan para pejuang kemerdekaan Patani.
Menurut Abu Hafez, sekiranya kini pejuang pembebasan Patani memilih perlawanan bersenjata, itu tidak lain kerana pada masa lalu pemerintah Thai tidak mau mendengar rintihan rakyat. Pemimpin masa lalu Patani sudah cukup lama berjuang lewat petisi di parlemen dan badan hak-hak asasi manusia, yang sering berakhir dengan ditahan atau dipenjarakan. Sebagian dibunuh atau terpaksa meminta suaka di luar negeri. Bahkan keadaan seperti itu masih tetap berlangsung sampai saat ini.
Sama halnya dengan Proses Dialog Damai KL yang berusia setahun itu, boleh jadi akan meninggalkan kenangan dalam lembaran sejarah sekiranya pihak Thai masuk gelanggang dialog hanya  karena terpaksa atau dengan setengah hati. Sebab seperti diketahui, dialog damai itu sendiri merupakan salah satu target Bangkok untuk menghentikan sebarang perlawanan bersenjata di bagian selatan sebelum masuk 1 Januari 2015, saat bermulanya  Asean Economic Community.
Kalau itulah yang diinginkan pihak Thai, berarti proses dialog damai itu hanyalah sekadar untuk menghentikan perlawanan bersenjata di Patani, tidak untuk mengembalikan hak-hak dan kedaulatan pribumi yang dijajah sekian dekade lamanya.[]

Penulis: Ahmad Latif (Kelantan, Malaysia)
- See more at:1-  http://atjehpost.com/articles/read/1602/Damai-Setengah-Hati#sthash.H7Vy49e6.dpuf
2- http://www.deepsouthwatch.org/dsj/5483 (thai)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan