Ahad, 3 Oktober 2010

Penrigatan 6 Tahun Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (3)

Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (3)
Disusun Oleh: Ben  (Sekedar Pemerhati konflik di Thailand Selatan) 

A. Pasca Tragedi Tak Bai,
            1. Kebijakan Pemeritah
Pemerintah Thaksin berhadapan dengan salah satu dari sejumlah krisis terbesar sejak dia terpilih mewakili perdana menteri Thailand pada tahun 2001. Pada peristiwa Tak Bai PM Thaksin menolak minta maaf untuk tragedi tersebut, tapi justru menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban tewas. Namun Thaksin mengakui bahwa reputation militer telah ternoda dan menjanjikan pelatihan yang lebih baik.

Komandan Tentara AD Keempat Letjen Pisarn Wattanawongkeeree, yang menguasai Thailand selatan, dilaporkan membela operasi yang dilaksanakan pasukannya, dengan mengatakan bahwa:

“Jika hal yang sama terjadi kembali kami akan melakukan tindak kekerasan lagi untuk membubarkan aksi unjukrasa semacam itu. Namun di masa mendatang kami akan lebih hati-hati dan mengambil pendekatan lebih lunak”( www.gatra.com).  

Pasca targedi Tak Bai, Kerajaan Thailand mengeluarkan kebijakan yang mencakupi undang-undang baru yang memperbolehkan penangkapan tersangka tanpa bukti-bukti awal, atau mengunakan bukti-bukti rahsia dan persidangan secara rahsia.

Dengan hal demikian, Emengency Power Arts Policy yang disetujui oleh Raja Bhumibol Adulyadej dengan memberikan kewenangan bagi Perdana Menteri Thaksin memerangi kelompak geriliyawan Patani di wilayah Selatan Thailand, dan Raja telah mengubah dektrit ini menjadi sebuah hukum. Dengan itu Pemeritah Thaksin akan megarahkan kekuatan militer untuk memerangi kelompok geriliya Patani. Militer juga berwenang menagkap orang yang dicurigai melakukan makar tanpa pembuktian. Namun, kebijakan ini tak sepenuhnya disambut hangat pada sejumlah akademisi, pakar hukum, serta media di Thailand, menilai bahwa dekrit tidak constitutional dan cenderung melahirkan sifat dictator.

Informasi mengenai adanya persetujuan Raja atas penerbitan dekrit darurat disampaikan juru bicara pemerintah, Chalermdej Jombunud, pada hari Minggu 17 Juli 2005. Bahwa Persetujuan Raja disampaikan Sabtu 16 Juli 2006. (Dengan demikian), dekrit itu berlaku (mulai) hari ini (Kompas, 18 Juli 2005).

Setelah mendapat persetujuan Raja. Pejabat keamanan menggelar sebuah pertemuan untuk membahas kawasan mana saja yang akan diumumkan sebagai zona darurat. Zona darurat itu meliputi provinsi di selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Kawasan yang berpenduduk majority Muslim itu telah berada di bawah undang-undang perang sejak Januari 2004, menyusul terjadinya pemberontakan.

Dengan dekrit ini, PM Thailand Thaksin Shinawatra mendapat kewenangan penuh mengambil kebijakan di selatan tanpa ber-consultation dengan parlemen. Dekrit ini juga mengizinkan penahanan tersangka tanpa surat perintah. Mereka juga bisa ditahan dalam waktu 30 hari tanpa proses persidangan. Dalam pelaksanaan awal, Pemerintah Thailand berhasil menangkap 200 orang yang diduga terlibat dalam aksi kekerasan yang terjadi sejak 4 Januari tahun 2004. Hingga kini belum ada keterangan apapun mengenai mereka yang ditangkap.

Dekrit darurat dianggap menginjak-injak Hak Asasi Manusia. Dengan penerapan dekrit ini mengundang kecaman baik dari kelompok pembela HAM maupun PBB. Kewenangan pemerintah yang dimiliki melalui dekrit itu akan melanggar HAM. Produk hukum itu justru akan membuat conditions keamanan makin runyam. Hingga kini, dekrit ini terus mendapat kritikan dari dalam maupun luar negeri terutama dari kelompok HAM dengan khawatir dekrit ini disalahgunakan.

Mantan Perdana Menteri Anand Panyarachun, dengan mengatakan:

“Masyarakat setempat melihat dekrit ini sebagai license to kill”.

Terdapat juga Anggota Komisi Rekonsiliasi Nasional (NRC), Akhmad Somboon Bualuang, mengatakan bahwa:

“Penetapan daerah darurat hanya melahirkan rasa takut. Rasa takut kini kian menjadi dan masyarakat selatan tidak tahu lagi siapa yang harus dipercaya. Ini akan melahirkan efek negatif dalam jangka panjang yang sulit disembuhkan” (Republika, 11 Agus 2005).

Artinya, bayang-bayang kekerasan terhadap muslim masih berlanjut. Militer Thailand memiliki legality untuk melakukan raid terhadap umat Islam di wilayah itu seperti yang dilakukan selama ini dan untuk memudahkan pemerintah berbuat sesuka hati terhadap umat Islam yang dianggap sebagai geriliya Patani. Meski hal itu akan melanggar HAM.

Bagi umat Islam ini adalah satu kezaliman dan menambahkan lagi penderitaan umat Islam di Selatan Thailand. Dan ia juga melahirkan kemarahan umat Islam di selatan terhadap kerajaan dan ini menjadi punca keganasan di selatan yang sukar untuk dibendungkan. Impact-nya amat buruk sekali terhadap umat Islam. Ia melahirkan ketakutan dan keburukan terhadap umat Islam kerana darurat militer ini dikuatkuasa ke atas umat Islam sahaja.

Para pejabat keamanan Thailand me-recommendation-kan aturan darurat di Provinsi Yala, Pattani dan Narathiwat, serta sebagian wilayah Songkhla. Bahwa Dekrit memperluas kekuasaan pemerintah. Yakni berwenang me-raid, melarang rapat massal, menyensor berita dan publication rahasia, membatasi perjalanan, menahan tersangka tanpa pengadilan, menyita properties, dan meyadap telepon.

Dengan demikian, aparat keamanan melakukan penggeledahan terhadap sekolah-sekolah Islam. Ketua Association Sekolah Islam, para
siswa dan guru sekolah-sekolah Islam merasakan kondisi yang tidak nyaman atas penggeledahan-pengeledahan yang dilakukan oleh pemeritahan dan aparat keamanan itu. Selama penggeledahan itu, aparat keamanan juga melarang media untuk mengambil gambar atau meliput kegiatan tersebut.

Apa yang terjadi di sini, tidak terlepas tokoh-tokoh Islam dan rakyat muslim yang tidak berdosa tersebut telah menjadi Kambing Hitam. Tindakan militer jauh lebih tak bermoral. Mereka bertindak brutal, bahkan tanpa pandang bulu apakah sasarannya anak-anak atau orang-orang tua. Mereka dengan semena-mena masuk ke rumah-rumah, menangkapi orang-orang tidak berdosa secara brutal. Pemerintah melakukan aksi-aksi penangkapan massal terhadap kaum Muslimin, pembekuan dan penghancuran sekolah-sekolah Islam, termasuk penangkapan terhadap sejumlah ulama dan para pemimpin Islam, menyusul terjadinya serangkaian kekerasan di wilayah Muslim Thailand Selatan yang berkelanjutan. 

          2. Daftar Hitam Warga Muslim
Akhir-akhir ini pihak berwenang Thai menggunakan daftar hitam untuk menekan secara sewenang-wenang warga Muslim yang tidak berdosa. Tujuannya agar mereka menyerahkan diri kepada penguasa, setelah mereka didata oleh para pejabat desa.  Kebijakan itu telah meningkatkan ketakutan dan ketidakpercayaan di Thailand Selatan di mana perang antara Muslim dan militer.

Penduduk desa warga Muslim kini hidup dalam ketakutan. Mereka akan dilaporkan ke pejabat district dan pasukan keamanan agar mereka menyerahkan diri atau menghadapi penahanan yang lebih buruk lagi.

Jurubicara pemerintah Suraphong Suebwonglee mengatakan:

“Dia tidak melihat laporan itu dan tidak ber-comment terhadap dugaan itu. Namun dia mengatakan pemerintah telah melakukan tugasnya sesuai dengan konstitusi dan UU Keamanan Nasional” (Hidayatullah, 7 January 2006). 

Bagi yang dipanggil juga tidak disediakan pengacara hukum dan undang-undang itu tidak mengenal hak untuk tetap diam, Peraturan itu juga memberikan kebal hukum bagi para pejabat penegak hukum yang membunuh tersangka dalam menjalankan tugasnya.

Tentara Thai mengakui kepada Human Rights Watch (HRW) bahwa mereka telah mengunjungi desa-desa memakai seragam tempur
kira-kira 4 ribu warga Muslim telah dimasukkan dalam daftar hitam. Diantara mereka ini telah menjadi 'Kambing Hitam'.
 penuh, mengetuk pintu rumah para tersangka yang telah dimasukkan dalam daftar hitam dan mengancam mereka dengan consequence serius jika mereka menolak untuk menyerah secara sukarela. Tidak ada surat perintah penahanan dan tidak ada prosedur hukum bagi mereka yang terkena tindakan itu.

Human Rights Watch mengatakan kira-kira 4 ribu warga Muslim di Provinsi Pattani, Yala dan Narathiwat telah dimasukkan dalam daftar hitam. Daftar itu, menurut pemerintah, ditujukan pada orang yang dikenal anggota kelompok militan, namun para aktivis mengatakan, tindakan juga dilakukan terhadap warga sipil tak berdosa yang ditahan dan diperintahkan agar masuk kamp pendidikan kembali (Hidayatullah,Ibid).

          3. Amnesty International Mendesak Pemerintah Thailand
Pendekatan yang diambil authority Thailand untuk mengatasi pemberontakan di provinsi selatan dianggap terlalu berlebihan. Amnesty
 International dalam laporannya mencatat, authority Thailand tidak segan-segan menahan dan menyiksa orang-orang yang diduga terlibat pemberontakan.

Kompas menginvestigasikan dari kesimpulan Amnesty International itu termuat dalam laporan yang mereka release, 4 januari 2006, bertepatan dengan peringatan dua tahun pemberontakan berdarah di tiga provinsi Thailand selatan, yakni Patani, Yala, dan Narathiwat menerangkan bahwa:

Kelompok pembela HAM di London mendesak pemerintah Thailand, secara consistent meredakan pemberontakan dengan pendekatan hukum. Pemerintah harus mengakhiri kekerasan dan tindakan sewenang-wenang terhadap orang- orang yang dituduh terlibat dalam pemberontakan karena pemerintah memasukkan sejumlah laki-laki Muslim ke dalam daftar hitam dan menuduh mereka bersalah tanpa alasan yang jelas dengan tanpa memberi akses kepada pengacara dan penerjemah.

HAM di London juga menuntut Pemerintah Thailand untuk mencari orang-orang yang dilaporkan hilang atau dihilangkan. Lembaga itu mendesak pemerintah untuk segera mencabut kekebalan yang dimiliki tentara sehingga mereka tidak bisa dituntut secara hukum meski melanggar HAM. Kekebalan itu dinikmati tentara setelah mengeluarkan dekrit darurat pada Juli 2005 (Kompas, 2 Januari 2006).

Amnesty International menyimpulkan, dampak conflict meluas hampir ke seluruh bidang kehidupan warga local, baik di pihak Muslim maupun Buddha. conflict yang meluas telah membatasi kemampuan warga untuk bekerja, melakukan perjalanan, berdagang, dan mendapatkan pendidikan.

B. Tuntut Warga Menyelidiki yang ‘dihilangkan’ 
 Sebelum ini, Pemerintah Thaksin dikecam karena memberi fakta yang tidak tepat berhubungan kejadian peristiwa Tak Bai. Bahwa jumlah kematian yang disebutkan oleh pemerintah hanya 80-an orang.

Namun hasil investigasi Utusan Malaysia (Zukiflee Bakar, Utusan Malaysia, 10 April 2006) di selatan Thailand, oleh penduduk muslim Selatan kehilangan anggota keluarganya setelah kejadian tragedy berdarah di Tak Bai pada bulan oktober 2004. Masyarakat Melayu di selatan Thailand beranggapan bahwa setelah terjadi kerususha, mereka semua diamankan oleh pihak keamanan. Ternyata jumlah sebanyak seribu jiwa disahkan hilang secara mysterious dengan melalui kesepakatan warga-warga desa di wilayah selatan.

Dengan hal itu pernah Pemerintah Thailand mengatakan, lebih dari 1.000 orang ditangkap setelah terjadi bentrokan di Narathiwat. Mereka akan ditahan sampai tujuh hari di bawah Undang-Undang Militer (Pikriran Rakyat, 27 Oktober 2004).

Fakta membuktikan setelah berakhir tragedi berdarah itu, para orang tua menunggu anaknya selama dua tahun tidak pernah pulang. Ada juga sebagian wali meminta agar diberikan kesempatan bertemu dengan anaknya sekiranya anak mereka masih dibawah tahanan oleh pihak keamanan dan menunjukkan makam jika anaknya sudah benar meninggal. Ini sama sekali tidak ada kepedulian dari pihak pemerintah dengan mudah mengatakan jangan khawatir kami akan membebaskannya tapi kini sudah dua tahun juga tidak pulang.
Akta tahanan pasca tragedi Tak Bai yang ‘dihilangkan’(Adenan Berahim, Utusan Malaysia, 10 April 2006).

C. Exodus Massal 131 Orang Penduduk Melayu Muslim di Thailand Selatan
            1. Penyebab
Pada tanggal 30 Agus 2005 terdapat 131 pelarian masyarakat Muslim Selatan Thailand menyeberangi perbatasan dan masuk ke wilayah Negara Bagian Kelantan, Malaysia timur laut. Mereka yang masuk ke wilayah Malaysia secara illegal menyatakan keselamatan diri mereka terancam di Thailand Selatan, bahwa wilayah mereka sedang dilanda konflik. Dalam 131 orang terdapat lelaki, perempuan dan kanak-kanak yang melaporkan bahwa tidak selamat meninggalkan di desa mereka, sehingga mereka mencari perlindungan untuk menjamin keamanan mengungsi di Negara Kelantan.

Pemerintahan Malaysia memutuskan untuk memberi mereka tempat berlindung sementara sambil menunggu siasatan status mereka serta alasan melarikan diri ke negara tetangga. Malaysia juga menyatakan kekhawatiran terkait dengan adanya kemungkinan akan lebih banyak lagi warga Thailand yang melarikan diri dengan menyeberangi perbatasan. Apa yang sudah jelas adalah bahwa masalah yang ada di empat provinsi Muslim di (Thailand) Selatan harus diselesaikan segera sebelum persoalannya merembes ke wilayah Malaysia.

Dari investigsi kompas menjelaskan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) juga mendesak Malaysia agar tidak men-deportation mereka sampai selesainya kegiatan wawancara, yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada risiko hidup mereka akan terancam jika kembali ke Thailand. Apakah mereka memang membutuhkan perlindungan bawah mandat PBB. Jika menilai kehidupan kaum Muslim itu terancam, mereka akan diberi kartu identiti yang menyatakan bahwa mereka berada di bawah perlindungan UNHCR (Kompas, 7 September 2005).

 Menurut Sri Setianingsih Suwardi dalam Jurnal Hukum Internasional, Universiti Indonesia (UI), dapat menerangkan bahwa Pengungsi adalah :

Pengungsi yang meninggalkan wilayah negaranya dan menuju wilayah negara lain yang disebabkan adanya gangguan keamanan atau karena alasan politik dalam negeri yang merugikannya dimana mereka terpaksa mengungsi keluar wilayah negaranya, mereka membutuhkan pertolongan (relief), bantaun (assistance) juga perlindungan (protection).  Perlindungan yang dibutuhkan oleh pengungsi adalah: pertama, mereka tidak akan dikembalikan kenegara asal (non-refourlement) dan kedua, ditempat baru mereka mendapat jaminan untuk dapat menikmati hak-hak asasinya yang tidak dapat dinikmati di tempat asalnya (Jurnal Hukum Internasional, UI, Volume 2 No.1 Oktober 2004, 24).

Apa terjadi insiden exodus massal ini munculnya setelah seorang Imam Masjid di Desa Lahan dalam Daerah Sungai Padi, Narathiwat terbunuh. Namun, hal tersebut penduduk desa telah merasa dan yakin pelaku di balik peristiwa tersebut adalah pihak aparat pemerintah yang bertangguang jawab dalam tragedi ini. Tragedi ini untuk intimidation atau menakut-nakuti dengan ancaman secara tindakan yang keji pada penduduk desa. Tektik ini biasanya dilakukan oleh kekuasaan pemerintah, karena tanpa duka bisa apa saja aparat keamanan ingin bertindak dan lakukan.
         
Seperti mana peristiwa penyerangan di Tanjung Lima yang terdapat dua orang tewas dan dua terluka berat, lalu 2 tentera ikiut tewas digebuki masaa (Saksi, No.17 tahun VII 11 Mei 2006, hlm.14). Setiap kali ada pembataian dan penembakan di desa-desa, pemerintah tidak ada yang bertanggung jawab. Pada fakta dalam kekerasan dan pembataian di dua desa tersebut, penduduk desa melarang pihak keamanan mendekati dan mesiasatkan mayat tersebut. Hal yang sama dalam tragedi ini penduduk desa melarang wartawan pers dan media Thai mengambil keterangan, karena penjelasan media Thailand tidak menjelaskan pada kebenaran dan fakta setiap kali memberi keterangan oleh penduduk desa terhadap peristiwa kejadian.

Ketakutan terasa mencekam bagi warga desa Lahan. Mereka bahkan merasa menjadi objek tindakan radical ketika pemerintah merespon kelompok separatis. Untuk memerangi wilayah selatan, pemerintah menggeledah rumah warga dan dilaporkan juga membunuh warga.  Dengan kematian seorang imam masjid di desa Lahan, penduduk warga desa meyakinkan bahwa aparat pemerintah bertanggung jawab atas penembakan ulama setempat mereka (www.).republika.com
   
Perlakuan discriminatory dari pemerintah memang kerap dirasakan warga selatan Musilim. Kerusuhan demi kerusuhan masih terjadi. Thailand Selatan tidak lagi masuk hitungan kota yang damai. Sebagian warga memilih pergi tinggal desa-desa mereka itu.  

            2. Tuduhan Pemerintahan Bangkok Terhadap Pengungsi
Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menuduh ada pihak tengah berusaha menginternasionalisasikan kerusuhan di Thailand Selatan. Thaksin juga menyatakan:

“Setidaknya sebagian dari mereka yang melarikan diri ke Malaysia terlibat dalam kegiatan pemberontakan di Thailand Selatan”.

Kompas menginvestigasikan bahwa PM Thaksin mengatakan:

“Sebagian dari mereka adalah para militan yang menyamar. Dengan berbagai cara, mereka berusaha menginternasionalisasikan isu kerusuhan.

Hal demikian juga, Menteri Luar Negeri Thailand Khantathi Suphamongkhon menyatakan:

“Mereka yang lari ke Malaysia itu adalah warga tak bersalah. Mereka yang melarikan diri ke Malaysia adalah para warga tidak berdosa. Mereka mendengar desas-desus yang tak sesuai dengan fakta sebenarnya” (Kompas, 3 September 2005).

Menurut Menteri Hukum Chidchai Vanasathidya bahwa:

“Kelompok yang sengaja memanfaatkan peristiwa ini untuk mencapai kepentingannya, dan menurutnya bahwa kasus ini merupakan isu domestik yang harus pemerintahan Thai yang menyelesaikan sendiri” (Republika, 7 September 2005).

            3.  Tanggapan Malaysia Terhadap Pengungsi Dari Thailand Selatan
Malaysia menyerukan kepada Thailand agar menjamin keamanan warga Muslim di provinsi-provinsi selatannya. Pemerintah Kuala Lumpur juga menyatakan tidak akan segera menyerahkan kembali 131 warga Muslim Thailand yang melarikan diri ke wilayah Malaysia. Ke-131 warga Muslim Thailand itu, termasuk di antaranya 43 anak-anak, yang ditahan polisi Malaysia di Negara Bagian Kelantan dengan tuduhan melintas batas secara tidak sah. Mereka mengaku takut ditangkap dan disiksa pasukan keamanan Thailand, yang telah terlibat kontak tembak dengan kaum gerilyawan.

Kompas menginvestigasi bahwa Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar kepada para wartawan di Kuala Lumpur dengan mengungkapkan bahwa:

“Ini bukan sekadar persoalan menangkap dan mengirim mereka pulang ke negara asal. Pemerintah Malaysia juga perlu melakukan penyelidikan sendiri dan tidak bisa begitu saja mengusir orang asing. Bahwa Malaysia siap memberi tempat berteduh sementara bagi para pendatang ilegal Thailand jika situasi di Thailand Selatan belum stabil. Namun, mereka yang tidak memiliki dokumen perjalanan tidak akan diakui sebagai pencari suaka”( Kompas, Op.Cit). 

Menurut S.Prakash Sinha mendefinisi tentang pengungsi diatur dalam perjanjian internasional secara umum yang meliputi elemen-elemen sebagai berikut:

1. Alasannya haruslah didasarkan pada alasan politik. 2. Permasalahan politik yang timbul adalah permasalahan antara negara dan warga negaranya. 3. Ada keadaan yang mengharuskan dia meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya secara sukarela atau tidak secara tidak secara sukarela. 4. Kembali ke negaranya atau ke tempat tinggalnya tidak mungkin dilakukan atau tidak ditoleran disebabkan karena sangat berbahaya untuk dirinya atau miliknya. 5. Ia harus meminta status sebagai pengungsi di lain negara dan 6. Ia tidak mendapatkan kewarganegaraan baru (Jurnal Hukum Internasional, UI, Ibid, 27).

Hasil investigasi Republika bahwa Gabenur Negeri Kelantan, Nik Aziz Nik Mat, menyatakan:

“Semestinya pemerintah Thailand tidak memberlakukan dekrit keadaan darurat dengan memberikan kewenangan bagi aparat keamanan untuk melakukan penggeledahan maupun penangkapan tanpa pembuktian jelas. Berapa ramai muslim selatan Thailand yang datang ke Kelantan akan disambut dengan baik (Republika, Op.Cit.).

Seharusnya Pemerintah Thailand membangun rasa saling percaya dengan kaum minority Muslim dan tidak memanfaatkan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah di Thailand Selatan yang disengsarakan berbagai aksi kekerasan.

Dan Insyaallah Akan ada sembungan Yang Terakhir.....

sumbur: Patani Fakta Dan Opini
http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/patani-fakta-dan-opini/penrigatan-6-tahun-tragedi-tak-bai-di-narathiwat-thailand-selatan-3/156041421085913 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan